Ranjiel, Fadhol, dan Samudra kini berada di ruangan Pak Herman, mereka berdiri di depan meja dan tidak menundukkan kepala sama sekali. Ketiga cowok itu terlihat bodo amat dengan ucapan dari bibir Pak Herman, mereka hanya mengangguk, tetapi tidak dengan hati yang ikhlas.
Razka yang melihat kelakuan sang adik tak bisa banyak berkomentar, ia cukup tahu jika nakalnya sang adik memang sebanding dengan otak yang luar biasa. Cowok itu mengembuskan napas pelan, ia kemudian maju dan berbisik kepada Pak Herman.
“Kamu yakin, Razka?” tanya Pak Herman.
Razka mengangguk, tidak ada gunanya ia memberikan saran jika dirinya saja tak yakin.
Ranjiel menatap kakaknya aneh, ia bisa melihat jika rencana jahat sang kakak sedang berjalan mulus. Tapi, apa rencana Razka kali ini? Kemarin Razka menyembunyikan kunci motornya, dan dia mencari kunci itu seharian. Lalu hari ini, Razka dengan suka rela membantu Pak Herman menangkapnya. Dan baru saja, Razka mengatakan hal-hal yang entah apa kepada Pak Herman.
“Bang, lo rencanain apa lagi?” tanya Ranjiel tanpa peduli pada tatapan Pak Herman. Cowok itu menatap kakaknya jeli, ada sesuatu yang aneh, ada firasat buruk yang tiba-tiba berbisik dan memperingatkan dirinya.
“Manggil Mami ama Papi ke sini, emangnya apalagi?” tanya Razka.
“Buset, niat amat lo ngerjain gue, Bang? Kaset bokep doang loh, nape masalahnya jadi belibet kek kisah cinta lo ama si Juleha?” tanya Ranjiel dengan cepat. Ia menatap tak percaya, awal perkara dirinya dan sang kakak memang karena salah satu kaset DVD porno koleksi Razka rusak, dan saat itu kebetulan kaset itu ada di kamar Ranjiel.
Mungkin bagi Ranjiel sangat tak wajar jika Razka merajuk hanya karena hal tersebut, tetapi bagi Razka, ia tak bisa menerima kerusakan barang koleksinya.
Pak Herman yang mendengar penuturan Ranjiel membelalakkan mata, apa yang baru saja terungkap tentang Ketua OSIS super kalem dan sopan membuat kaget. Razka mengoleksi kaset porno? Razka yang dibanggakan pihak sekolah, disanjung karena moral yang baik, salah satu murid paling berbakat mengoleksi hal seperti itu.
“Razka, kamu?” Pak Herman nyaris tak bisa mengungkapkan kata-kata yang ada di hatinya.
“Satu koper gede, isinya kaset bokep semua, Pak. Kagak percaya? Hayuk dah, main ke rumah sama saya.” Ranjiel menyeringai, sedangkan Razka menatap ke arah lain. Seharusnya dia tahu, bibir Ranjiel bisa menjadi kompor meleduk, membahayakan dirinya juga.
Razka menatap Ranjiel, ingin sekali ia menendang b****g adiknya itu. Sedangkan Fadhol dan Samudra memilih kesibukan lain, mereka malah menatap ke arah pintu keluar, menunggu keributan Pak Herman, Ranjiel, dan Razka selesai.
“Astaga, tapi ... ya wajar sih, kamu masih muda. Asal nggak usah praktek, tau materi aja.” Pak Herman menatap Ranjiel. “Nggak kayak kamu, praktek jalan, materi juga jalan.”
Razka segera tersenyum menang, sedangkan Ranjiel menatap Pak Herman dengan tatapan kaget. “Pak, kok pilih kasih?”
“Kasih itu siapa? Saya nggak kenal,” sahut Pak Herman.
Ranjiel merasa gusar, kenapa sekarang Pak Herman seakan bersatu dengan kakaknya untuk memojokkannya? Apa Pak Herman bosan dengan hidupnya yang tenang.
“Iya, Pak. Saya juga Cuma nonton, daripada saya nyobain, kan bahaya.” Razka bersedekap, sedangkan Ranjiel masih tak bisa menguasai keadaan.
“Ranjiel, Samudra, Fadhol, kalian bertiga saya hukum. Pungut sampah di seluruh lingkungan sekolah, lalu hormat bendera.” Pak Herman terlihat bahagia hari ini, ini menjadi kali pertama ia berhasil menghukum Ranjiel dan kedua temannya. Pria paruh baya itu berdiri, ia menatap ketiganya yang malah menatap datar padanya.
“Pak, gunanya OB apaan ya?” Tanya Samudra.
“Bersih-bersih,” sahut Pak Herman.
“Lalu, kita bertiga ini jadi apa di sekolah?” tanya Ranjiel.
“Murid, emang kenapa?” tanya Pak Herman.
“Kan ada OB, kenapa harus nyuruh kita yang kerja.” Fadhol menyeringai, sedangkan kedua temannya mengacungkan jempol.
Pak Herman menelan kasar ludahnya, benar-benar sulit menghadapi tiga cecunguk itu, mereka memang ahli dalam membelokkan haluan, dan membuat orang lain masuk ke jurang.
“Ya udah, sana kalian hormat bendera.” Pak Herman kembali mengembuskan napasnya, kali ini mereka tidak akan punya alasan.
“Pak, ini hari apa?” tanya Ranjiel.
“Jumat, kenapa lagi? Kamu nggak liat kalender?” tanya Pak Herman.
“Upacara kan hari senin, Pak. Bapak nih, ngaco, jumat malah hormat bendera. Hari kemerdekaan juga bukan sekarang,” balas Samudra.
Razka menepuk dahinya. “Mending panggil orang tua saya dan Ranjiel aja, Pak. Masalah ini, mereka bisa yang ngatasin Ranjiel.”
“Saya mau aja, tapi kamu juga tahu, adik kamu ini termasuk satwa terlindungi.” Pak Herman ingat sekali jika Ranjiel dan anggota GAS lainnya mendapatkan perlindungan dari Kepala Sekolah, belum lagi status anak-anak GAS yang orang tuanya menjadi donatur tetap di sekolah tersebut.
“Pak, saya bukan satwa.” Ranjiel merengut.
“Diem kamu, lidah saya juga suka typo kayak lidah kamu.” Pak Herman terlihat kesal, ia benar-benar selalu menjadi orang paling bersalah dalam berbagai bidang.
“Ya udah, balik sana kalian ke kelas. Saya mau menyendiri dulu,” ujar Pak Herman.
“Cie, yang galau. Padahal niatnya mau ngehukum akoeh,” ujar Ranjiel sambil berlalu pergi.
Jam istirahat telah tiba, kini saatnya Ranjiel berkeliling sekolah dan mencari mangsa baru. Ia bosan dengan selir-selirnya yang lain, sedangkan Lia sedang mengerjakan tugas ekskul yang diikuti.
Ranjiel menuju ke lapangan basket, di sana ia melihat teman-teman sekolahnya yang sedang bermain. Cowok itu bersedekap, ia berdiri cukup jauh dari kerumunan.
Suara sorak-sorai cewek-cewek terdengar ribut, nama cowok idola mereka disebut sekeras mungkin. Sedangkan para cowok yang entah dari kelas mana sedang menunjukkan kebolehan masing-masing. Mereka bersaing, menebar pesona dan terlihat murah senyum.
Ranjiel bosan dengan pemandangan itu, ia akan merebut pesona semua cowok itu. Ranjiel segera maju, ia menerobos kerumunan dan menangkap bola basket yang nyaris masuk ke ring. Semua orang terdiam, kejadian itu begitu cepat.
Ada sepuluh orang cowok yang sedang bermain, masing-masing tim dibagi menjadi lima orang. Mereka semua menatap Ranjiel, sedikit tak suka karena permainan terganggu.
“Lo semua, lawan gue.” Ranjiel memainkan bola basket di tangannya.
“Sombong banget lo,” ujar salah satu dari cowok yang tadi bermain.
Para cewek malah berbisik, mereka cukup mengenal Ranjiel, bahkan semua orang di sekolah tahu jika Ranjiel salah satu anggota GAS, dan semua orang juga tahu jika Ranjiel sangat dekat dengan Ovi, persahabatan mereka sudah ada sejak kecil.
“Kalo kita menang, lo ngasi apaan?” tanya cowok lainnya.
Ranjiel memutar bola basket pada jari telunjuknya, ia menatap cowok asing yang bertanya.
“Kalo kalian menang, gua kasi apa aja yang kalian mau.” Ranjiel tersenyum manis.
Salah cowok terlihat bersemangat, cowok itu segera maju. “Lo seriusan?”
“Emangnya muka gue kayak lagi becanda?” Ranjiel balik bertanya.
“Oke, kalo kita menang, lo harus mutusin Lia dan biarin dia jadian ama gue.”
Ranjiel menatap tak suka, ia akan membuat pelajaran bagi mereka yang menginginkan Lia. Semua orang terbungkam, bahkan tak ada yang berani mengembuskan napas secara terang-terangan.
Cowok itu menyeringai, ia segera melempar bola basket ke arah belakang. Semua orang mengikuti arah jatuhnya bola itu, dan menahan napas saat bola tersebut sukses masuk ke dalam ring.
Suara pantulan bola basket terdengar, Ranjiel melepas seragam sekolah dan mengenakan kaos putih polos.
“Gue setuju aja, tapi kalo gue menang, lo semua keluar dari sekolah ini.”
“Sombong bener ini orang, kalah nangis lo, Njing.” Salah satu dari mereka tertawa kecil.
“Biar adil, lo gue kasi keringanan. Lo bisa ajak temen lo, siapa aja buat main lawan kita.”
“Gue sendiri bisa ngalahin kalian, kenapa harus bawa temen?” tanya Ranjiel.
“Songong banget lo, kita Cuma nggak mau dikatain nggak adil.”
“Kan gue yang mau, sisi nggak adilnya di mana?” tanya Ranjiel lagi.
“Susah ngomong ama orang sombong, matinya juga bakalan nguburin diri sendiri.”
“Anjelina Jolie, lo ngapain di mari? Mau kontes kecantikan?” tanya seseorang dari balik kerumunan.
Semua orang menatap ke arah sumber suara, sedangkan Ranjiel tersenyum.
“Teh Oreo, ada yang kau minta gue putus ama Yaya nih, menurut lo, hukuman buat mereka apaan?” tanya Ranjiel.
“Hahaha ... keluar dari sekolah dong, tapi harus malu duluan.”
Cowok-cowok yang tadi meminta Ranjiel untuk mencari teman satu tim segera menatap jeli, matilah mereka, Theo datang dan akan semakin bahaya jika tiga cowok GAS lainnya juga datang.
Mereka tak pernah tahu jika Ranjiel bisa bermain basket, karena selama ini informasi tentang Ranjiel hanya ada di masalah renang. Cowok-cowok itu mulai ragu, mereka saling menatap, meminta persetujuan satu dengan yang lain.
“Kalian belom tanding aja udah pucet,” komentar seseorang, suaranya terdengar merdu.
“Rhe, ngapain lo di mari?” tanya Ranjiel.
“Mau jadi penonton dong, apa perlu gue kabarin anak-anak GAS buat nonton?” tanya Rhea. Ia sudah mendengar semua yang Ranjiel ucapkan, ia juga mendengar permintaan cowok-cowok itu kepada Ranjiel.
“Daripada basa-basi kenapa nggak mulai aja?” tanya Ranjiel.
Theo segera berdiri di samping Ranjiel. “Kalian bakalan kalah, siapin surat pengunduran diri dari sekolah, cari sekolah baru. Kalian punya waktu lima menitan buat ngatur itu.”
“Nggak perlu, kita bakalan menang. Jumlah aja kita lebih banyak. Elo, dan elo, kalian bakalan kalah.” Salah satu dari cowok itu terlihat kesal, ia segera maju.
“Gue bakalan jadi wasit,” ujar seseorang. Ia segera melangkah ke arah Ranjiel, mengecup pipi Ranjiel.
Semua orang hanya bisa terpaku, Lia datang, Lia juga terlihat sangat percaya jika Ranjiel dan Theo akan memenangkan pertandingan.
“Kalo Anjiel sama Theo kalah, gue mau pacaran ama orang yang tadi mau pacaran ama gue. Tapi, kalo kalian kalah, kalian harus keluar dari sekolah. Kalian pikir gue apaan? Gue bukan barang taruhan, dan gue yakin pacar gue bisa ngalahin kalian, bahkan kalo Theo nggak bantuin dia.”
“Oke, deal!” ujar kesepuluh cowok itu.