Dua minggu sudah Ranjiel dan Lia menjalani masa SMA. Mereka juga sudah mulai sibuk dengan pelajaran masing-masing dan menjalani rutinitas pada ekskul yang berbeda. Ranjiel mengambil ekskul renang, sedangkan Lia mengambil musik.
Hari ini Ranjiel pulang lebih dulu, ia benar-benar merasa malas mengikuti pelajaran yang dijelaskan oleh guru fisika. Dengan bermodal otak jenius miliknya, Ranjiel melakukan taruhan dengan guru tersebut.
Rumus hitungan pada fisika ia selesaikan dengan rumus matematika dan juga rumus ekonomi. Guru yang sempat berdebat dengan Ranjiel tak bisa berkutik saat Ranjiel mendebatkan tentang jawaban akhir sebagai penentu.
Cowok ganteng itu baru saja tiba di parkiran motor, ia bersenandung kecil dan tersenyum puas. Ia sudah mengabari sang pacar jika harus pulang lebih dulu, kedua orang tuanya kembali pergi, sedangkan Razka, kakak laki-lakinya sudah memastikan diri tak akan pulang ke rumah.
Ranjiel bersiul, ia memainkan kunci motornya dan baru sampai di parkiran sekolah. Tetapi belum sempat ia merasa puas, seseorang segera menghampirinya. Ranjiel diam, ia agak aneh melihat tingkah temannya itu.
“Njiel ... bantuin gue!” seru Vivi, salah satu anggota GAS sekaligus pacar sahabat Ranjiel, Theo.
“Lo kenape? Bukannya Teh Oreo lagi nyariin lo?” tanya Ranjiel. Cowok itu bersedekap, ia menggelengkan kepala dan menatap penampilan Vivi. Berantakan, rambut tidak teratur, dan terlihat sangat buru-buru.
“Kali ini aja, bantuin gue!” seru Vivi sekali lagi.
Ranjiel menutup telinga, suara Vivi benar-benar menusuk gendang telinganya kali ini. “Bantu apaan, Pipi?”
“Lo mau kemana?” tanya Vivi.
“Mau balik lah.” Ranjiel memutar bola matanya jengah, memang ia harus kemana di jam seperti ini jika tidak kembali ke rumah.
“Gue ikut! Please!” ujar Vivi sembari meraih tangan Ranjiel.
Ranjiel mengangguk, ia kemudian menaiki motornya dan menatap Vivi. “Hmm, ya udah ... buruan naik.”
Ranjiel hari ini tidak membawa helm, ia sangat terburu-buru pagi tadi dan langsung berangkat. Setelah Vivi naik ke boncengannya, Ranjiel langsung melaju dengan sepeda motornya.
“Peluk Vi, itu juga kalo lo nggak mau jatoh.” Ranjiel tahu sahabatnya merasa enggan.
“Ya udah, kalo jatoh jangan bawa-bawa nama gue depan si Theo.” Ranjiel segera menambah kecepatan pada kendaraannya. Cowok itu bisa merasakan Vivi yang dengan cepat memeluk pinggangnya.
“Lo mau bunuh gue?” tanya Vivi sedikit kesal.
“Lo mau gue bunuh?” tanya Ranjiel.
“Nyebelin lo!” tegas Vivi yang masih memeluk pinggang Ranjiel.
Ranjiel tak peduli, cowok ganteng itu segera menyalib beberapa kendaraan yang ada di depannya. Ia bahkan tak peduli pada rambu lalu lintas, melaju tanpa henti dan tetap memantau jalanan di depan sana.
“Lo gila! Kenapa harus nerobos lampu merah?” Suara Vivi terdengar panik di belakang sana.
Ranjiel tak merespons, ia hanya fokus pada jalanan yang sedikit padat saat ini. Ranjiel membelokkan motornya, ia segera menambah kecepatan saat jalanan itu terlihat kosong.
“Anjiel! Jangan ngebut,” ujar Vivi lagi.
“Aelah, Vi, lo takut amat. Yaya malah suka gue ajak ngebut gini.” Ranjiel tak peduli, ia tetap melaju dan Vivi memeluknya semakin erat.
“Makanya, sesekali ajak si Theo naik motor. Mobil terus mana seru,” ujar Ranjiel.
Vivi diam, dan Ranjiel tak ingin mengusik sahabatnya itu lagi. Cowok itu tetap fokus pada jalanan, ia kemudian memasuki area perumahan mewah dan menuju pada rumah milik keluarganya.
Ranjiel menghentikan motornya di depan pagar tinggi berwarna hitam, pada ujung-ujung pagar itu memiliki bentuk yang runcing. Ranjiel mengeluarkan ponselnya, kemudian pagar terbuka secara otomatis. Cowok itu kembali menjalankan motornya, memasuki pekarangan rumah yang luas dan sangat asri.
“Mami ama Papi lo nggak di rumah?” tanya Vivi.
“Mami ke Paris lagi, kalo Papi ke Riau.” Ranjiel menghentikan motornya, ia mencabut kunci dan menahan motor itu dengan kedua kakinya.
“Turun Vi, udah nyampe kita.”
“Njir, gue keenakan meluk lo.”
“Ati-ati demen lo,” sahut Ranjiel.
“Demen sama lo? Mending gue jadi perawan tua.”
Ranjiel menahan tawa. “Lo udah nggak perawan lagi, Marimar.”
“Sialan!” bentak Vivi. Cewek itu langsung turun dan berdiri beberapa langkah dari Ranjiel.
Ranjiel segera turun dan menggunakan standar dua pada motornya, rumah bercat putih dengan pilar tinggi dan besar itu benar-benar terlihat sepi. Lagi-lagi Ranjiel menekan beberapa tombol pada ponselnya, pintu segera terbuka dan Ranjiel masuk bersama Vivi.
“Sepi bener. Pembokat pada kemana?” tanya Vivi.
“Mbok Rum balik kampung, anaknya sakit. Mang Tarno juga nggak nginep lagi di sini, pan udah di kasi rumah ama Mami taun kemaren.” Ranjiel dan Vivi kini berada di ruang tamu. Ruangan itu begitu luas dengan sofa berwarna merah pada bagian tengah, ada beberapa foto keluarga dengan ukuran besar, lukisan, ada pula guci-guci mahal.
Pada bagian atas di hiasi lampu kristal besar, lalu tak jauh dari ruangan itu terlihat ruang tempat nonton keluarga. Di sana ada foto masa kecil Ranjiel, tentu saja foto itu bersama Shappira dan juga Ovi.
“Lo jelek bener pas bocah,” komentar Vivi.
“Ye, ganteng gitu di bilang jelek, apalagi si Theo yang lebih parah dari gue.” Ranjiel melirik Vivi, ia bisa melihat jika Vivi tak terlalu nyaman saat nama Theo di sebut.
Ranjiel kembali melangkah ke arah tangga, cowok itu segera bersiul dan menaiki beberapa anak tangga.
“Eh, lo mau kemana?” tanya Vivi yang melihat Ranjiel menaiki anak tangga.
“Kamarlah. Lo mau ikut?” tanya Ranjiel yang berhenti melangkah dan menatap Vivi.
“Gue ikut! Gila aja gue lo suruh terdampar di mari.”
“Ya udah,” sahut Ranjiel.
Vivi dan Ranjiel segera menuju lantai dua rumah Ranjiel. Tak kalah luas dan mewah dari lantai satu, suasana juga sangat tenang. Banyak pula foto-foto yang tertempel pada dinding, beberapa gelas kristal terlihat dalam lemari kaca.
“Koleksi Mami lo nambah lagi, kemaren pas gue ama Lia belanja bareng dia di Paris juga beli.”
“Mami mah gitu, katanya infestasi.”
“Iye, daripada lo, infestasinya Cuma kaset porno doang.”
“Vi, lo kenapa lari dari Theo?” tanya Ranjiel.
“Ada aja. Lo nggak perlu tau,” sahut Vivi.
Ranjiel hanya mengangguk, ia kemudian menuju kamarnya dengan Vivi yang masih mengikutinya. Cowok itu membuka pintu kamar, ia kemudian masuk bersama Vivi.
Kamar Ranjiel di d******i dengan warna hitam pada dinding. Ada lemari kaca yang besar dan tinggi, di isi dengan banyak piala, mendali dan juga sertifikat. Pada bagian sudut ruangan ada kulkas kecil, dan sepuluh komputer juga tidak ketinggalan.
Kamar Ranjiel sangat luas, bahkan lebih luas daripada ruangan praktik kolam renang sekolahnya. Sofa tersusun pada bagian kiri, rak buku yang ada pada bagian kanan, lalu ada empat pintu yang jelas menjadi batas pada ruangan lain.
Ranjiel segera melempar tasnya ke atas meja, ia kemudian menghempaskan tubuhnya pada kasur dengan posisi telentang.
“Lia sering nginep ya?” tanya Vivi.
“Hum, pakaian dia malah banyak di lemari gue.” Ranjiel segera duduk, membuka sepatutnya dan menyimpan sepatu itu pada tempat penyimpanan di dekat pintu kamar mandi. Cowok itu kemudian membuka baju, memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.
“Badan lo boleh juga, tapi masih bagusan badan Theo.” Vivi segera duduk pada sofa dekat pintu kaca menuju balkon.
“Lo nggak mau mandi, Vi?” tanya Ranjiel.
“Gue nggak bawa baju ganti.”
“Pakek aja punya Yaya. Keringetan gitu, mirip orang miskin lo lama-lama.”
“Bangke lo,” ujar Vivi kesal.
Ranjiel tak peduli, cowok itu menuju meja komputernya dan segera menyalakan benda itu. Ranjiel menatap layar komputer dan segera memeriksa beberapa e-mail masuk.
“Gue mandi dulu deh,” ujar Vivi.
“Ntar di dalam kamar mandi, lo masuk aja ke pintu yang cat item. Itu walk in closed gue, baju Yaya ada di lemari kanan.”
“Iya, Anjeli.” Vivi segera pergi dan Ranjiel melanjutkan kegiatannya.