BAB 3

1855 Kata
   Sepulang sekolah. Ranjiel dan Lia berjalan bersama, mereka bergandengan tangan dan menuju area parkir yang terletak agak jauh dari gedung utama. Tujuan keduanya setelah ini adalah kedai ice cream, permintaan Lia adalah segalanya untuk Ranjiel, bahkan Ranjiel pernah nyaris membunuh orang hanya untuk melindungi pacarnya.       Ranjiel berasal dari keluarga pengusaha perkebunan sawit. Ayahnya memimpin perusahaan besar dan memiliki banyak cabang. Kebanyakan dari kebun milik keluarga Ranjiel berada di daerah Kalimantan dan kepulauan Riau. Ibu Ranjiel adalah seorang desainer, memiliki butik dan toko perhiasan di beberapa negara.    Sedangkan Lia, cewek manis itu berasal dari keluarga yang bergerak dibidang hukum. Ayahnya seorang pengacara, begitu pula dengan ibunya. Keluarga Lia yang lain juga merupakan petinggi kepolisian serta TNI. Tidak heran jika Ranjiel sangat menjaga Lia, ia pernah berjanji kepada keluarga sang pacar demi mendapatkan restu.    “Anjiel, Mama tadi telfon. Katanya Yaya boleh nginep, tapi Anjiel dilarang macem-macem.” Lia merangkul lengan Ranjiel, cewek itu membenarkan letak kacamata pada wajahnya dan melirik sang pacar.    “Kan Babang Anjiel udah janji,” ujar Ranjiel.    “Iya, tapi Anjiel sering grape-grape melon Lia. Kan geli,” balas Lia.    Ranjiel mengulum senyum. “Tapi nenen boleh nggak? Anjiel laper nih.”    “Anjiel m***m! Mama bilang jangan, ntar Anjiel keblablasan.” Lia merengut, sedangkan Ranjiel menatap pacarnya bingung.    “Yaya kan pernah curhat ama Mama. Kata Mama kalo Anjiel macam-macam lagi, Anjiel nggak boleh pacaran ama Yaya.”    Mendengar penuturan pacarnya membuat Ranjiel berhenti melangkah, ia lupa jika Lia sangat dekat dengan calon mertua, dan seharusnya ia mengatakan jika hal yang mereka lakukan saat berdua tidak perlu untuk diceritakan.    “Anjiel kok mukanya pucet?” tanya Lia.    “Kok Yaya cerita sama Mami Mertua? Ntar kalo kita disuruh putus gimana?” Ranjiel tak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, Lia memang memiliki sisi kekanak-kanakan dan itu tak pernah berubah sejak dulu.    “Mama bilang nggak apa-apa sih. Tapi jangan sampe main yang di bawah,” sahut Lia.    Ranjiel menelan ludahnya kasar. Ia mengedipkan mata beberapa kali, dan akhirnya jiwa Ranjiel kembali. “Yaya! Aduh, kenapa harus cerita ke Mami Mertua? Njirrr Yaya bikin gemes, sini Anjiel gigit pipinya.”    “Yeeee ... yang cerita sama Mama siapa? Yaya Cuma nakutin Anjiel aja.”    Ranjiel sekarang benar-benar merasa gemas, cowok itu segera menarik Lia dan melumat bibir Lia di depan banyak orang. Ia tak peduli pada tatapan beberapa murid yang secara terang-terangan menyalahkan sikapnya, Lia pacarnya dan ia bisa melakukan apa saja.    Lia yang mendapat lumatan lembut itu segera membalas tak kalah hangat. Cewek itu memeluk pinggang Ranjiel dan tersenyum saat Ranjiel melepas lumatan bibir mereka.    “Yaya nakal, tunggu aja Babang Anjiel kasi hukuman.” Ranjiel tersenyum.    “Eh, Semvak Piraun, masih di sekolah anjir pakek acara ciuman depan umum.” Suara seseorang membuat Ranjiel menatap gemas. Ia melihat Tuti yang kini bersedekap dan tersenyum tanpa malu.    “Eh Tukang Halu, kalo jones ya jones aja. Kalo mau ciuman sono beli gigolo, biar bisa ikkeh ikkeh kimochi. Dasar jelek, item, dekil, anak haram lo.” Setelah mengatakan itu, Ranjiel segera menarik tangan Lia untuk menjauh.    “Ihhh ... Yaya kan belom maki-maki si Tuti.”    “Jangan, entar jeleknya Tuti nularin Yaya.” Ranjiel dengan cepat membawa sang pacar pergi bersamanya. Memang, sejak dulu Ranjiel atau anggota GAS lainnya sangat bermusuhan dengan Tuti.    “Anjiel, Tuti masih suka tuh ama Anjiel.” Lia berhenti melangkah, kini mereka sudah sampai di dekat motor Ninja berwarna merah milik Ranjiel.    “Terus?” tanya Ranjiel agak cuek.    “Nggak mau gitu balas perasaan dia?” tanya Lia.    “Nggak!” seru Ranjiel.    “Tapi kasian Tuti,” ujar Lia.    Ranjiel menatap pacarnya. “Cintaku, jangan bahas Tuti yah. Babang Anjiel nggak suka ama dia, Babang Anjiel juga nggak akan pernah suka ama si Tuti. Sampe kiamat, dan kalo cuma Tuti cewek yang kesisa, Babang Anjiel bagusan bunuh dia aja.”    “Babang Anjiel kan banyak pacar, kenapa nggak tambahin Tuti jadi koleksi?” tanya Lia lagi.    Ranjiel menatap Lia. “Astaga, kayaknya perlu manggil Pendeta buat Doa Pelepasan. Dedek Yaya udah kena peletnya Tuti, ya Tuhan, sembuhkan pacar hamba.”    “Ya Tuhan, siapa cowok ini? Dia bukan Ranjiel pacar hamba, nggak mungkin pacar hamba yang berlumuran dosa bisa menyebut nama Engkau ya Tuhan.”    Ranjiel mendelik kesal, ia melihat jelas pacarnya yang kini melipat tangan dan menutup mata. Ranjiel langsung mencium pipi Lia, membuat cewek itu langsung membuka mata dan memegang pipinya.    Memang Ranjiel sering mencium pipinya, tapi rasanya selalu saja manis dan mendebarkan bagi cewek manis itu. Lia mengedipkan matanya beberapa kali, ia tak bisa bereaksi sekarang.    “Anjiel, kok manis sih?” tanya Lia semenit setelah kejadian itu. Ia menatap Ranjiel, pipinya merona.    “Udah bengongnya?” tanya Ranjiel yang sejak tadi sudah menaiki motornya. Cowok itu memberikan helm berwarna pink kepada Lia dan tersenyum.    “Belom. Coba cium pipi Yaya lagi,” ujar Lia sambil mendekati Ranjiel.    Ranjiel menatap Lia. “Mau di bibir nggak?”    Lia refleks menjauhkan wajahnya, ia segera meraih helm yang Ranjiel berikan. “Anjiel nakal!”    “Sayang Anjiel, pacar Anjiel yang manis. Naik cepet, peluk erat-erat. Babang Anjiel mau ajak Yaya jalan-jalan.”    Lia tersenyum, ia memberikan helm pada Ranjiel. “Pasangin, Yaya nggak bisa pasang helm.”    “Pacar Babang Anjiel manja banget, gemes pengen cium lagi.” Ranjiel segera memasangkan helm milik Lia, ia tersenyum kala Lia menatapnya.    “Kita mau ke mana?” tanya Lia.    Belum sempat Ranjiel menjawab, ponselnya berdering. Cowok itu segera merogoh saku jaketnya, ia menatap layar datar yang menampilkan nama ‘Opik Kumis’.    “Siapa yang nelfon?” tanya Lia.    “Si Opik. Biarin aja deh, palingan juga nanya yang nggak penting.” Ranjiel segera memasukkan ponselnya lagi.    “Naik, Dedek Yaya. Betah amat jadi tiang,” sindir Ranjiel yang sejak tadi menunggu pacarnya untuk naik ke atas motor.    Lia segera naik, ia memeluk Ranjiel dan menyandarkan kepalanya pada bagian belakang cowok itu. “Anjiel, Yaya laper nih. Mau ice cream ... tapi nanti suapin.”    “Iya, entar Anjiel suapin pakek bibir.”    “Yaya ciusan ini!” tegas Lia sambil mencubit pinggang Ranjiel.    “Ih, ih, pacar Babang Anjiel nakal.”    “Jalan!” titah Lia.    “Siap, Kanjeng Ratu.” Ranjiel segera menyalakan motornya dan meninggalkan parkiran sekolah. Cowok itu melirik Tuti yang sedang bicara dengan satpam sekolah, ia melihat interaksi kedua orang itu tidak biasa.    “Anjiel kok diem?” tanya Lia.    “Coba Dedek Yaya ambil HP Anjiel, terus kirim pesan ke Samud. Suruh selidikin satpam sekolah kita,” ujar Ranjiel.    Lia segera menuruti keinginan Ranjiel, cewek itu sudah tahu semua tentang Ranjiel, bahkan kode keamanan ponsel pacarnya.    Ranjiel memelankan motornya, ia sengaja ingin berlama-lama bersama Lia dan menikmati suasana kota Jakarta yang selalu padat.    “Udah Yaya chat ke Samud. Dia Cuma buka tapi nggak bales,” lapor Lia.    “Pegang aja HPnya, terus peluk. Babang Anjiel mau ngebut,” ujar Ranjiel.    Lia segera menuruti kemauan Ranjiel, ia segera memeluk Ranjiel dan motor melaju dengan sangat cepat.    Lia sudah terbiasa membelah jalanan kota bersama Ranjiel dengan kecepatan di atas rata-rata seperti sekarang. Bagi Lia berboncengan dengan Ranjiel adalah hal paling menyenangkan, ia selalu suka memeluk pinggang pacarnya itu.    Lia percaya satu hal, Ranjiel tak akan membawanya dalam bahaya. Lia juga percaya, Ranjiel akan selalu mencintainya dengan tulus.    Semua itu sudah terbukti, Ranjiel tak pernah menyentuhnya secara lebih. Ranjiel selalu menjaganya, dan Ranjiel selalu membuatnya tersenyum.    Ranjiel dan Lia kini berada di kedai ice cream langganan mereka. Kedai itu menjadi tempat yang sangat bersejarah bagi keduanya. Tampat pertama mereka berkencan, bahkan selama dua tahun mereka berpacaran tempat itu selalu disewa guna melangsungkan acara peringatan hari jadi mereka.    Ranjiel dan Lia selalu duduk pada kursi nomor lima. Dekat jendela dan membuat mereka leluasa menatap kolam renang dan taman yang cukup asri.    Ranjiel sedang menyuapi Lia ice cream, dan Lia dengan senang hati menerima suapan Ranjiel.    “Hari pertama sekolah, tadi Anjiel katanya di tegur Pak Herman.” Lia balas menyuapi pacarnya.    Ranjiel menerima suapan itu, ia segera menelan ice cream dan menatap Lia. “Iya, Pak Heran sih yang dateng ke kelas. Yaya, jangan dengerin Venia ya. Inget, Anjiel cuma sayang ama Yaya, nggak ada yang lain selain Yaya.”    Lia mengangguk. “Tante udah balik dari Paris?”    Ranjiel tersenyum, ia kemudian menyuapi Lia lagi. “Belom. Papi masih di Kalimantan, Mami masih di Amerika sekarang. Kayaknya Mami ketemu nyokap si Sharap, kan mereka sering kerja sama dari dulu.”    “Cewek Bang Azka di rumah juga?” tanya Lia.    “Iya. Itu mah tiap malem,” sahut Ranjiel.    Lia mengangguk. “Terus, mereka sering ena-ena?”    “Ya Tuhan, kenapa pacar hamba nanya hal yang udah pasti gitu? Dia kesambet mesumnya si Vivi atau mesumnya Ami? Atau mungkin roh jahat Sharap yang masuk?”    Lia segera menggulung buku ekonomi yang sejak tadi ia baca. Cewek itu segera memukul puncak kepala Ranjiel, tak lupa dengan tatapan kesalnya.    “Ihh ... Dedek yaya. Ini atit,” ujar Ranjiel dengan wajah cemberut. Cowok itu mengelus puncak kepalanya, ia menatap Lia dan menahan tawa saat melihat wajah kesal pacarnya.    “Suapin ice cream!” tegas Lia.    “Siap, Kanjeng Ratu.” Ranjiel segera menyuapi Lia, dan tersenyum saat cewek itu menerima suapannya.    Ranjiel terpaku, ia melihat ice cream yang tak sengaja mengotori sudut bibir Lia, cowok itu segera berdiri dan menjilat bibir pacarnya.    Lia yang mendapat perlakuan demikian salah tingkah, ia tak bisa bereaksi bahkan saat Ranjiel menjauhkan wajah darinya.    “Anjiel,” panggil Lia.    “Apa?” tanya Ranjiel.    “Anjiel mau bikin Yaya mati ya?”    “Kenapa? Apa yang sakit?” tanya Ranjiel.    “Jantung Yaya tiba-tiba cepet, terus napas Yaya agak berat.”    Ranjiel ingin sekali melumat bibir manis pacarnya. Ia sangat gemas dan mati-matian menahan diri agar tak menerjang Lia dan membuat Lia terus mendesah di bawah tubuhnya.    “Anjiel,” tegur Lia.    “Pulang yuk, Anjiel mau manja-manja ama Yaya nih.” Ranjiel yang sudah gemas meminta secara terang-terangan untuk kembali. Ia memberi kode keras dengan menggigit bibir bagian bawahnya, cowok itu melihat jelas jika pacarnya bertambah gugup sekarang.    Lia yang sudah berdebar sejak tadi benar-benar merasa nyaris mati. Wajah ganteng pacarnya sangat menggemaskan, bibir Ranjiel selalu terasa manis.    Lia ingat ciuman pertamanya dengan Ranjiel, saat pertama Ranjiel meremas buah dadanya dan menyusu seperti bayi. Lia merasakan tubuhnya bergetar, ia ingat saat itu benar-benar menyenangkan.    Ranjiel mendekatkan wajahnya, ia tersenyum saat Lia balas menatapnya. “Yaya kenapa?”    “Eng ... Yaya cuma ingat pas pertama kita pacaran.”    Ranjiel yang sudah merasa gemas mencium pipi Lia lagi. Cowok itu segera berdiri, menarik tangan Lia dan merogoh sakunya. Ranjiel meletakkan uang di atas meja dan segera membawa tas sekolahnya dan Lia.    Lia menatap Ranjiel, ia masih dalam posisi duduk dan tak bisa memikirkan apa pun. Yang ia tahu Ranjiel baru saja mencium pipinya, Lia masih berusaha normalkan detak jantungnya bahkan tidak berdiri saat Ranjiel menarik tangannya.    “Yaya, ayuk pulang. Mau Babang Anjiel serang di sini?” tanya Ranjiel.    “Emang Anjiel mau ngapain?” tanya Lia yang nyaris mendapatkan kesadaran.    “Mau nenen, mau nindih Yaya, mau manja-manja.” Ranjiel menyeringai saat Lia kembali salah tingkah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN