BAB 2

1732 Kata
   Setelah menghabiskan waktu di kantin bersama sang pacar, Ranjiel memilih masuk ke dalam kelas dan bermain game. Cowok ganteng nan menyebalkan itu bahkan tak peduli pada tatapan teman sekelasnya, mungkin murid yang tidak mengenalnya berpikir jika Ranjiel sangat keterlaluan, dan mereka yang mengenalnya lama tidak akan memikirkan kebiasaan buruk Ranjiel untuk membolos.    Seorang cowok yang duduk pada barisan paling belakang dekat jendela mendekat, ia menghampiri Ranjiel yang duduk pada pojok paling belakang barisan pintu masuk.    "Jiel, lo tau nggak kalo Wali Kelas kita namanya lucu," ujar Samudra Rizky Vandari, salah satu anak buah setia Ranjiel dan menjadi pengikutnya sejak SMP.    Samudra selalu berusaha mendapat kelas yang sama dengan Ranjiel, dan Samudra sangat berguna bagi Ranjiel untuk melancarkan aksi jahilnya di sekolah.    Ranjiel sama sekali tak melirik, ia hanya fokus pada ponselnya. "Siapa emang?"    "Pak Gino Prasetyo," sahut Samudra.    Ranjiel tertawa kecil. "Aelah, bagus amat tu nama. Panggil Pak Gigi Nongol aja, baru dah ngepas."    Samudra memutar bola matanya jengah, cukup tahu jika semua nama akan memiliki sebutan nyeleneh dari bibir junjungannya itu.    "Ada korban baru kagak? Gatel tangan gue," ujar Samudra.    "Belom ada. Nape lo? Baru juga hari pertama udah gatel aja tu tangan." Ranjiel yang bosan bermain game menutup aplikasi pada ponselnya. Cowok itu menatap Samudra, ia mengembuskan napas pelan saat bertatap mata dengan bawahannya.    "Denger-denger, musuh bebuyutan GAS ada di mari. Lo udah ada rencana buat tu bocah?"    "Ngomongin apaan lo bedua? Serius amat," tanya Fadhol yang segera bergabung.    "Tau tuh, si Samud-Samud Kecil, tangannya udah gatel ae."    "Kan gue tanker buat lo, wajar aja nanya kerjaan." Samudra mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana, sedangkan Ranjiel langsung merebut rokok dari tangan Samudra.    "Widih ... Sampo Mbak Erna mainan lo sekarang," ledek Ranjiel.    "Sampoerna kampret, itu lidah doyan banget typo." Fadhol menggulung buku, dan memukulnya ke kepala Samudra.    "Eh Dodol Garut, nape jadi pala gue yang kena?" tanya Samudra.    Fadhol menatap. "Ha ... ha ... ha ... lo pan tanker si Anjiel, nggak usah ngamuk kalo gue lampiasin keselnya gue ke elo."    Di saat ketiganya sedang bicara banyak hal, seorang guru segera masuk ke dalam kelas. "Ranjiel Kiandra Putra, ikut saya ke ruang BK."    "Ngapain ke ruang BK, Pak?" tanya Ranjiel.    "Jangan banyak ngebantah kamu. Saya dapat laporan dari Pak Gino kalo kamu bolos," ujar guru itu.    "Kalo Bapak mau marah dan nasehatin saya, kenapa nggak di kelas? Capek jalan ke tingkat empat."    "Kamu pikir saya nggak capek nemuin kamu ke lantai satu?"    "Kalo capek ngapain masih kesini?" tanya Ranjiel.    "Kamu!"    "Apa?"    Paruh baya berkumis itu menatap Ranjiel tajam, dia adalah Pak Herman, guru yang bertugas di ruang BK. Kakinya melangkah ke arah Ranjiel, ia menarik napas panjang. "Kenapa kamu bolos?"    "Nemenin pacar makan di kantin," sahut Ranjiel.    "Emang pacar kamu nggak bisa makan sendiri?" tanya Pak Herman.    "Saya juga mau makan, Pak." Ranjiel menatap malas guru di depannya, cowok itu tersenyum tanpa rasa bersalah.    "Tapi kita udah punya jam istirahat! Kamu pikir sekolah ini punya nenek moyang kamu? Sekolah juga punya aturan!" tegas Pak Herman.    "Kalo saya mendadak bodoh gegara lapar, Pak Heran mau tanggung jawab?" tanya Ranjiel yang sempat membaca name tag pada baju guru itu.    "Nama saya Herman, bukan Heran!"    Ranjiel meraih ponselnya, ia segera memotret Pak Herman dan tertawa kecil. "Pak, ganteng-ganteng jangan doyan ngamuk. Ntar makin tua, jodoh makin jauh, terus umur makin pendek."    "Astaga ... kamu bener-bener nyebelin! Kenapa Razka punya adik kek kamu gini?"    "Ya mana saya tau, saya kan masih kecil."    Pak Herman benar-benar kehabisan kata, guru itu hanya menatap kesal pada Ranjiel. Matanya melotot, dengan jelas ia melihat sebungkus rokok pada tangan muridnya itu.    "Udah bolos, baju nggak rapi, sekarang rokok. Kamu bener-bener bikin darah tinggi saya kumat!" tegas paruh baya itu.    Ranjiel mengeluarkan sebatang rokok, ia kemudian meminta korek dari Samudra yang masih ada di dekatnya. Di bakarnya rokok itu, menghisapnya dan mengembuskan asapnya pada Pak Herman.    "Bapak pasti ngerokok Gudang Garam. Nih coba rokok Sampoerna, lebih halus dan brasa enak."    "RANJIEL ... LARI KELILING LAPANGAN SERATUS KALI!"    "Nggak mau," balas Ranjiel yang masih dengan santai mengisap rokok pada tangan kirinya. Ranjiel bukan perokok, tapi karena bosan ia mencoba hal itu dan menggunakannya untuk membuat Pak Herman semakin naik darah.    "Tunggu aja Pak Hutapea manggil kamu," ujar Pak Herman yang melangkah keluar ruangan. Ia tak sanggup menghadapi Ranjiel, ia benar-benar kesal dan mulutnya mendadak masam.    "Lo ... gila," ujar Fadhol.    Samudra tertawa lantang, sedangkan murid lain hanya bisa diam dan menatap Ranjiel.    "Apa lo semua liat-liat? Naksir?" tanya Ranjiel. -Kelas X IPS-2-    Lia sedang duduk bersama teman-teman sekelasnya. Cewek cantik dengan gigi rapi itu tersenyum manis kala mendengar candaan para penghuni kelas, banyak teman baru yang ia dapatkan, ada pula beberapa teman lama yang sudah mengenalnya saat SMP.    "Lia, gue tadi nggak sengaja lewat kelas X IPA-2 dan gue denger Pak Herman lagi marah-marah." Heni terlihat begitu bersemangat ketika bercerita, sedangkan Lia mulai tertarik karena itu kelas sang pacar.    Heni adalah teman baru Lia, berasal dari SMP yang beda dengannya dan mereka berkenalan saat memasuki kelas yang sama.    "Emang ada apaan?" tanya Tari.    "OMG ... kalian kenal kan ama Ranjiel. Itu loh ... adeknya Kak Razka, Ketua OSIS kita." Heni memegang pipinya, merasa begitu terpesona dengan cowok ganteng beberapa belas manit lalu yang ia lihat.    "Emang kenapa ama si Ranjiel? Bukannya dia cowok elo, Lia?" tanya Tari dengan sengaja. Tari adalah teman satu SMP Lia, dan Tari sangat-sangat tahu bagaimana hubungan Ranjiel dan Lia.    "Ah ... oh, lo ngomong apaan, Tar?" tanya Lia.    Heni yang melihat gelagat Lia merasa tak nyaman, ia baru saja memuji pacar orang lain, dan sialnya itu pacar Lia.    "Jangan bilang lo masih sama, ngebiarin Ranjiel punya banyak pacar." Tari menatap Lia penuh selidik, ia tak pernah setuju dengan kebebasan yang Lia berikan kepada Ranjiel.    "Lia, seriusan lo pacaran ama Ranjiel? Kalo iya, kok bisa-bisanya lo biarin Ranjiel pacaran ama cewek lain?" tanya Heni.    Lia bersandar pada kursinya, cewek itu mengembuskan napas dan meniup poni yang menutupi keningnya. "Gue tau. Ranjiel itu beda, dia emang pacaran ama banyak cewek, tapi dia sayang dan cinta ama gue doang. Gue biasa aja, kalo ditanya siapa yang begok, ya udah pasti cewek yang mau aja pacaran ama dia padahal tau si Anjiel cuma sayang ama gue."    Heni menutup bibirnya dengan tangan. "Lo gila. Gimana lo tau hati Ranjiel Cuma buat lo doang?"    Tari memutar bola matanya jengah, cewek itu mengembuskan napas dan menatap lekat pada Heni. "Menurut lo, kalo cowok sayang ama lo, apa yang bakal tu cowok lakuin?"    Lia diam, menunggu jawaban Heni. Sedangkan murid lain memasang telinga baik-baik, mereka bahkan sudah menatap tiga cewek yang sedang duduk bersama itu.    "Dia bakal jagain gue, dan dia nggak akan duain gue."    "Tapi Ranjiel itu beda," ujar Lia kemudian.    "Beda?" tanya seorang cewek yang baru saja datang. Ia segera duduk dan menatap Lia.    "Lah iya. Ranjiel itu bener-bener beda, dan lo nggak akan nemu cowok kek Ranjiel." Lia tersenyum menang.    Heni semakin bingung, ia menatap Venia yang baru saja bergabung. Sejak MOS, Venia sangat gencar mendekati Ranjiel, dan Venia pernah menyatakan perasaan kepada Ranjiel.    "Lo udah di terima ama Ranjiel?" tanya Lia.    "Oh ... jelas. Gue pacar Ranjiel, dan gue udah deket banget ama Ranjiel."    Heni dan Tari menatap geram. "Venia, lo kalo mau buat masalah jangan di sini!"    "Emang ini kelas nenek lo? Suka-suka gue dong, gue berhak ngomong ama si Lia. Gue juga mau minta dia buat putusin Ranjiel, Ranjiel Cuma milik gue." Venia menggebrak meja, matanya menatap tajam ke arah Lia.    Lia yang mendapat tatapan intimidasi dari Venia hanya menatap malas, Venia benar-benar menggali kuburannya sendiri sekarang.    "Lo itu nggak bisa muasin Ranjiel, Ranjiel bertahan ama lo Cuma karna dia kasian doang!" tegas Venia.    "Lo mau tau berapa banyak selir Ranjiel selain lo?" tanya Lia.    "Gue tau dia punya banyak selir, tapi gue bakalan buat Ranjiel putus ama semua pacarnya termasuk ama lo."    "Ya udah, coba aja kalo lo bisa." Lia terlihat sangat tak peduli, ia malah tersenyum saat Venia terus menatapnya tak suka.    "Heh, Venia! Hak lo apa? Lo itu Cuma selingkuh doang, malah mau ngelawan yang sah. Nggak malu lo ama tai?" tanya Tari.    Warga kelas terus memerhatikan tingkah Venia, dan mereka merekam jelas bagaimana kejadian itu dengan ponsel masing-masing. Ada yang kaget dengan redaksi Lia yang terlalu santai, ada yang bersemangat dengan kejadian itu, dan murid cowok di kelas itu menatap Venia tak suka.    "Heh, Tari. Lo nggak ada urusan yah ama gue, bagusan lo diem aja!" tegas Venia.    Lia segera berdiri, tangan kanan cewek itu dengan cepat melayang.    Plak ...    Suara itu terdengar begitu keras, semua orang menatap tak percaya saat Lia berdiri dengan angkuh.    "Ven, lo bangga banget yah udah ena-ena ama Ranjiel. Nggak malu lo? Apa lo nggak punya duit buat beli kaca?"    "Lo-"    Plak ...    "Lo bisa maki-maki gue, tapi jangan harap lo sentuh Tari atau temen gue yang lain. Asal lo tau, gue nggak peduli lo pacaran ama Ranjiel atau ena-ena ama Ranjiel."    Venia mengangkat tangannya dan segera melayangkan tangan itu cepat. Sedangkan Lia menatap tajam tanpa berniat untuk menghindar.    Saat tangan Venia nyaris mengenai wajahnya, dengan cepat Lia menahan tangan cewek itu. "Lo mau nampar gue? Yakin nggak mau liat ke belakang dulu sebelum lanjut?"    "Nggak perlu!" tegas Venia.    Lia segera melepaskan tangan Venia, dan Venia menatap jengkel saat tangannya terhempas kasar.    "Tampar," ujar Lia.    Venia segera melancarkan aksinya, tapi naas saat tangannya di tahan seseorang.    "Gue udah bilang, bagusan lo liat ke belakang sebelum nampar gue." Lia tersenyum manis, ia mengedipkan matanya beberapa kali dan itu begitu menyebalkan untuk Venia.    "Venia, kita putus!" ujar seseorang di belakang Venia.    "Anjiel, Yaya mau ice cream!" seru Lia penuh semangat.    Venia tak sanggup bergerak, ia dengan jelas mendengar suara Ranjiel di belakangnya.    "Jiel, ta-tapi!" tegas Venia.    "Samud, gue kasi ni sampah ke elo, lakuin kek biasa ya." Ranjiel segera melepas tangan Venia, ia menghampiri Lia dan tersenyum.    "Yaya nggak apa-apa, kan?" tanya Ranjiel. Beruntung ia dengan cepat datang setelah melihat rekaman CCTV yang di kendalikan oleh Samudra beberapa menit lalu, dan ia sangat bersyukur pacar kesayangannya tidak mendapatkan kekerasan.    "Ranjiel, gua cinta ama lo. Gue lebih guna daripada si Lia!" tegas Venia yang kini diseret Samudra dari kelas.    Ranjiel tertawa pelan. "Yaya, ntar nginep di rumah Anjiel ya. Temenin main game, mau ya .. mau."    "Nggak jadi nginep ama Rini?" tanya Lia.    "Nggak, dia belom seleseiin tugasnya."    Semua warga kelas benar-benar di buat melongo dengan kedekatan Lia dan Ranjiel. Mereka nyaris tak bisa berkedip saat pasangan itu berinteraksi dengan begitu manis. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN