Pokoknya jemput aku besok di RS. Titik! Aku nganbek kalau kakak gak jemput!
Ia baru saja mengirim pesan pada Reifan. Kali ini menekadkan diri. Ya mencoba untuk sesekali tegas. Ia merasa kalau Reifan menyepelekannya hanya karena ia tak pernah marah bukan?
Karena ia tak pernah bisa marah pada cowok itu. Ia terlalu mencintainya. Bahkan sejak belasan tahun lalu. Sejak kapan?
Sejak melihat sosok lelaki yang sering datang ke rumah kakak tirinya. Sejak itu pula ia jadi suka. Ia lupa saat itu apa momennya. Namun terpaku saat cowok itu turun dari motor lalu....
"Alan ada, dek?"
Bertanya Alan. Mungkin sederhana. Tapi senyuman khas Reifan yang ramah dan tampak penyayang itu yang membuatnya terpaku. Maklum, hubungannya dan Alan kurang baik kala itu. Ayahnya juga bukan tipe yang bisa menunjukan kasih sayang. Jadi ketika ada yang memperlakukannya begitu walau hanya dengan senyumannya oke kan? Ia jadi merasa disayang.
Maklum, ayahnya memang tipe yang cenderung dingin. Setidaknya itu yang ia lihat di rumah. Walau tampak berbeda ketika berada di rumah Alan dan bertemu mamanya Alan. Ayahnya terlihat lebih hangat. Ia bisa merasakan kehangatan keluarga ketika berada di rumah Alan. Apalagi, lama-lama Alan juga jadi baik padanya. Ibu kandungnya?
Sibuk. Entah jalan dengan temannya. Arisan. Pekerjaan. Gosip-gosip yang akhir-akhir ini ia dengar juga ibunya banyak jalan bersama brondong. Hal yang sebenarnya membuatnya takut. Karena ia tahu kalau petaka rumah tangga ini...
"Bukan karena Tante Mita. Papa dan mama memang tak bisa saling mencintai karena dijodohkan."
Mamanya bahkan blak-blakan mengatakan itu padanya. Jelas saja membuatnya agak khawatir. Kini ia baru saja keluar dari kamar. Begitu menuruni tangga, ia melihat mamanya yang baru saja pulang entah dari mana.
"Tumben kamu di sini..."
Biasanya ia memang lebih banyak menginap di rumah mamanya Alan. Apalagi mamanya Alan jauh lebih memerhatikannya. Namun terkadang ia juga jaga jarak. Kenapa? Ya kalau mendadak ada rasa benci menguar tentang orang ketiga. Mood-nya memang bisa berubah begitu. Apalagi kan teman-teman di sekelilingnya cukup toksik. Suka berkomentar tentang hidupnya yang dianggap tak wajar.
Ia mengabaikan mamanya. Mamanya selalu mengeluarkan kata-kata yang menurutnya menyakitkan.
"Kapan kamu akan menikah dengan Reifan?"
Ia tentu terdiam mendengar itu. Kakinya mendadak berhenti melangkah.
"Jangan terlalu lama nanti direbut orang," ujarnya lantas terkekeh. "Atau karena dia tidak juga mencintaimu?"
"Mama jangan asal ngomong! Kak Reifan bukan papa dan aku bukan mama!"
Ia langsung emosi kalau mendengar ucapan itu. Kini bahkan menatap mamanya dengan pelototan tajam. Mamanya malah terkekeh santai.
"Responmu sangat luar biasa. Artinya gak ada yang salah kan?"
Ia mengepalkan kedua tangannya. Hari ini, ia lebih bisa menahan emosinya. Lain kali mungkin tidak. Ini yang membuatnya tak betah di rumah. Kakaknya saja rela tinggal di luar negeri bersama sang suami biar rumah tangganya tak dicampuri.
"Mama hanya bicara jujur kok marah. Masih bagus loh mamamu ini memberitahu. Apalagi ini bukan sesuatu yang buruk."
Ia memilih untuk membalik badan. Makin emosi kalau hanya diam di sini.
"Reifan memang bukan papamu. Tapi lihat matanya. Memangnya bakal ada kamu di sana?"
Ia makin marah. Namun memilih untuk melangkah besar-besar. Kemudian masuk ke dalam mobil dan menyetir dengan terburu-buru. Mamanya tertawa. Ia kan sudah bilang dari awal untuk jangan mau menerima perjodohan itu atau akan menyesal sepertinya. Kenapa ia seperti ini?
Karena ia menyadari perilaku Reifan. Reifan terlalu mirip dengan suaminya. Yeah tak akan pernah ia ceraikan. Kenapa? Karena ia tak mau Mita menikmati semua ini sebagai satu-satunya nyonya. Hanya dengan ini, ia bisa menghalangi itu. Dan ia juga menyadari kalau ia sama persis dengan Sofiya. Yang menolak semua perkataan dan meyakini kalau suaminya mencintainya. Tapi apa?
"Sampai sekarang pun, dia bahkan tak pernah melirikku. Mau sebagus apapun aku dibandingkan simpanannya yang sialan itu, dia tak pernah menganggapku ada!"
Ia kesal. Anaknya tentu saja lebih kesal. Sofia menyetir mobil gila-gilaan hingga lambat laun mulai bisa mengendalikan emosinya. Ia berhenti di pinggir jalan dan menangis hebat di sana. Kata-kata mamanya justru membuatnya tak akan mau mundur. Ia malah akan semakin maju. Dan kali ini, ia sudah bertekad untuk bisa menjadi istri Reifan.
"Tahun ini....aku harus menikah!"
Ia tak bisa menahan diri. Walau ya tak mungkin pergi ke kantornya Reifan. Alih-alih ke sana, ia malah pergi ke rumah Alan. Ya rumah yang pintunya selalu terbuka untuknya.
"Hai, kak!"
Hanya istri abangnya yang terlihat. Artinya Alan belum pulang.
"Kak Alan mana?"
"Oh masa gak tahu?"
"Hah?"
"Alan pergi dengan Reifan untuk main golf hari ini."
"Oh...gak ngantor?"
Kakak iparnya itu kembali menatapnya. Walau harusnya sih tak heran. Karena ini bukan kali pertama ia memergoki Sofia tak tahu apa-apa soal Reifan dan ke mana cowok itu pergi. Bukannya mau usil. Tapi saat Reifan dulu berpacaran dengan sahabatnya, Reifan selalu bilang kalau ia pergi ke mana-mana. Ya setidaknya untuk tempat-tempat yang ia rasa tak perlu dirahasiakan.
"Kamu gak tahu?"
"Oh aku tahunya kak Reifan ke kantor. Tapi mungkin berubah pikiran ya? Atau aku yang salah ya, kak?"
Ia pura-pura mengecek ponselnya. Padahal memang tak ada pesan apapun dari Reifan sejak kemarin. Rahma menatapnya. Kasihan sih. Tapi mau gimana? Ia juga tak mau ikur campur.
Hubungannya dengan Shilla saja sudah agak merenggang sejak ia menikah dengan Alan. Ya tahu kalau sahabatnya pasti senang kalau ia menikah. Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, ia smpat keceplosan menyebut kalau ia tahu keberadaan Reifan dari Alan. Dan ya Shilla sadar sih. Reifan tak mungkin menghilang dari Alan. Apalagi Alan menikah dengan Rahma sekitar 8 tahun lalu. Ya makin renggang. Bertemu beberapa kali iya. Tapi itu pun dalam setahun bukan sebulan seperti sebelumnya. Ia juga gak tahu banyak asmara Shilla. Paling ya bertanya pada Intan. Dan jawaban Intan?
"Gak ada. Dia masih betah jomblo."
Intan saja sudah menikah. Ya Ozie dan Diffie sih belum. Jadi kedua cowok itu kan kerja di perusahaan katanya dekat dengan rumah sakit di mana Shilla bekerja. Nah dua cowok itu masih sering menemui Shilla untuk mengajak makan siang bersama.
"Aaah aku yang salah. Ini kan chat-nya yang kemarin."
Ia pura-pura meringis. Rahma tampak menatapnya. Tentu sadar kalau ucapan itu bohong. Entah kenapa, ia selalu peka dengan setiap ucapan maupun bahasa tubuh Sofia. Kapan gadis itu jujur dan berbohong, ia tahu. Entah karena ia sudah lama mengenalnya atau memang Sofia yang mudah terbaca olehnya.
"Eung....aku boleh nanya gak, kak?"
Rahma sedang sibuk di dapur sebetulnya. Tapi ya bukan berarti tak boleh diganggu juga.
"Apa?"
"Kenapa ya kak Reifan ingin ya kakak tahu, hubungan kami tetap rahasia?"
Rahma tampak berpikir. Ia sih tak tahu alasan pasti meski sering mendiskusikan ini dengan Alan. Walau alasan jelas yang terpikir oleh mereka adalah sama.
"Shilla?"
"Memangnya ada yang lain?"
"Tapi udah bertahun-tahun...."
"Bertahun-tahun pun perasaannya gak berubah. Aku masih sering bertemu meski dia di luar negeri, sayang. Tapi hatinya masih sama. Dia gak bisa bohong."
Keduanya sama-sama menghela nafas saat itu.
"Pernah juga aku tanya soal itu."
"Terus?"
"Dia bilang bakalan go public kalau Shilla udah nikah."
"Waaah!"
"Masih nyebut nama Shilla?"
"Enggak. Kalau ngomongin Shilla, dia pasti nyebut 'dia'. Gak berani sebut namanya."
Rahma mengangguk-angguk kala itu. "Memangnya gak bakal patah hati kalau Shilla nikah sama yang lain?"
"Biar hatinya lebih tenang. Dia berasa naggung beban banget kalau Shilla belum bahagia."
"Karena dia yang nyakitin?"
Alan mengangguk.
"Bakalan tetap nikah sama Sofia setelah Shilla menikah?"
Alan mengangguk lagi. "Tapi katanya kalau ada kesempatan kedua entah rumah tangga Shilla berantakan atau ditinggal mati, dia bakal datang lagi."
"Gak mungkin ninggalin Sofia kan?"
Alan menghembuskan nafas. "Dia gak ada lagi alasan buat bersama Sofia. Dia bilang kalau dia sudah menikahi Sofia artinya dia sudah menunaikan janjinya. Jadi kalau pun pernikahan itu berakhir ya mungkin memang harus berakhir."
"Tapi kalau ternyata perasaan Shilla yang berubah gimana? Karena kan pasti Shilla juga gak mungkin sembarang menikah."
Alan menjentikan jarinya. Betul sekali.
"Dia percaya diri banget. Dia bilang waktu itu kalau cinta pertama bakal selalu ada tempatnya."
Dan kini Rahma menatap Sofia. Tatapan yang penuh rasa kasihan. Andai ia tahu kalau pun Reifan menikahinya itu hanya sebatas kewajiban, apa yang akan ia lakukan?
"Coba tanya langsung ke Reifan."
Walau tahu jawabannya, ia juga enggan bicara.
"Kalau gitu, aku mau nanya soal ini, kak."
"Nanya apa, Sof?"
Ia mengulum senyumnya. Penuh pertimbangan walau hanya untuk bertanya satu pertanyaan. Apa sih yang mau ditanyakan?
"Eung.....mantannya kak Reifan, siapa aja sih, kak? Aku penasaran."
@@@