Teman yang Menyenangkan

1179 Kata
Setelah menyerahkan koper pada petugas bagasi, Letta mengantri masuk bus dan mendapatkan giliran paling akhir. Hanya dua orang siswa yang tersisa di depan Letta. Begitu gilirannya tiba, dia mengangguk hormat pada Miss Gretta yang menyambutnya di pintu masuk bus. “Morning, Mam,” sapanya. “Morning. Wah kita bertemu lagi,” jawab Miss Gretta ramah, “Violetta Aachivelli kan?” lanjutnya. Tatapannya terlihat kagum, dan meneliti gadis itu dari atas ke bawah. “Yes, Mam. Violetta Aachivelli, 12th grade,” timpal Letta. Dia cukup terkejut guru yang baru dua kali bertemu itu bisa hapal dengannya. Pandangan gurunya itu sedikit membuatnya tidak nyaman. "Nice to see you, My Princess," gumam Miss Gretta, sembari memeriksa kertas presensi yang terjepit rapi pada clipboard di tangannya. Kemudian dicentangnya nama Violetta. “Nomor kursi 35. Bersebelahan dengan Aleccandro Pruidze, silakan,” terangnya sambil mempersilakan Letta masuk. Senyum ceria di wajah Violetta menghilang. “Oh!" "Ada hal lain yang perlu kau katakan?" tanya Miss Gretta lagi. "Bisakah aku bertukar tempat duduk?" "Nomor kursi ini dibuat dari daftar urutan pengumpulan formulir. Namun jika nanti di dalam kau mau tukar tempat dengan yang lain, silakan. Itu tidak menjadi masalah," jelas Miss Gretta. "Oh, baiklah kalau begitu. Terima kasih, Mam.” "Your welcome my Dear." Miss Gretta bahkan sedikit membungkuk saat Letta lewat. Sikap aneh itu sedikit mengusik Letta, tapi dia punya hal lain untuk dikhawatirkan saat ini. Dengan gontai gadis itu melangkahkan kakinya ke dalam bus. Berharap tempat duduknya bisa ditukar dengan siapa pun asalkan bukan Alec. Letta melepas ranselnya sambil berdoa, melewati riuhnya siswa yang sudah duduk di tempatnya masing-masing. Nomor bangku tertempel di bagian atas sandaran beserta nama pemiliknya, agar para siswa mudah mencari tempat duduk. Perhatiannya langsung tertuju pada sepasang mata lazuardi yang menatapnya tanpa berkedip. Gadis itu mendadak menghentikan langkah dan hendak berbalik pulang. Namun Miss Gretta lebih dulu masuk dan menutup pintu bus. "Ayo, duduklah ke tempatmu," kata gurunya itu. Letta terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Terpaksa dilanjutkan melangkah ke dalam koridor menuju tempat duduk yang akan menyiksa dia sepanjang perjalanan. Namun, saat sampai di sana, Letta mendapati seorang gadis berambut pirang menggelayut manja di samping Alec. Tepat di bangku nomor 35, yang seharusnya menjadi jatahnya. Kenyataan itu membuat Letta merasa girang. Embusan napas lega keluar dari paru-parunya yang tadinya sempat terasa sesak. Dia tersenyum sekilas pada pasangan itu, lalu melanjutkan langkahnya ke deretan bangku belakang bus. Satu-satunya tempat kosong yang tersisa. “Pasti tempat duduk ini adalah milik gadis berambut pirang tadi,” gumam Letta. Tempatnya memang tidak strategis dan berada di atas ban. Namun mendapatkan bagian dekat jendela merupakan anugrah terbaik yang Violetta rasakan. Setidaknya dia tidak perlu memutar otak mencari alasan untuk menghindari Alec. Dia harus melewati seorang gadis berambut hitam yang mengenakan headset. “Permisi,” pinta Letta. Gadis itu mendongak memandang Letta sambil melepaskan sebelah headsetnya. “Ya?" "Bangku di sebelahmu seharusnya untukku. Karena pemiliknya mengambil tempatku," jelas Letta. "Oh ya?" Gadis berambut keriting hitam itu memeriksa nama di sebelahnya. "Pantas saja, dia tidak kesini," gumamnya, kemudian berdiri. "Silakan,” katanya ramah. "Terima kasih." Violetta segera duduk di bangku itu dan tersenyum ramah. “Miriam.” Gadis berambut hitam itu duduk, lalu mengulurkan tangannya. “Letta, Violetta," balas Letta. Mereka besalaman. "Nama yang unik. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kau pasti anak baru," tebak Miriam. "Hu-um." Letta mengangguk. "Fresh from the oven. Seharusnya aku masuk sekolah seminggu lalu, tapi karena surat-surat dan sebagainya, baru masuk kemarin." "I see. Jurusan apa?" tanya Miriam lagi. "Sains-4." "Really? Wow! Otakmu pasti sangat encer. Itu kelas istimewa, tidak sembarangan siswa masuk ke sana. Kau sekelas dengan Alec Pruidze yang legendaris," ujar Miriam dengan mata berbinar-binar. "Oh ya? Entahlah. Aku lebih suka sekelas denganmu Miriam. Dia tidak menyenangkan. Kamu di kelas apa?" "Hahaha, kau becanda! Aku Sains-1." Dengungan yang berasal dari mikrofon membuyarkan keriuhan suara siswa di dalam bus. “Attention please!” sapa Miss Gretta berbicara di mikrorofon. Dia berdiri di lorong depan menghadap para siswa. “Sebelum berangkat, mari kita berdoa agar perjalanan kita kali ini lancar dan selamat hingga kembali ke sekolah.” Setelah hening beberapa saat, “Aamiin!” Seluruh penghuni bus itu serempak mengamini. “Baiklah, kita berada di bus nomor tiga, bus terakhir dalam rombongan ke desa budaya. Ingat-ingat teman satu bangku kalian agar nanti mudah dalam pelacakan. Sooo, enjoy the trip!” jelas Miss Gretta. Letta dan Miriam saling berpandangan dan melempar senyum mendengar penjelasan Miss Gretta. Guru sejarah budaya itu kemudian menekuri kertas yang terjepit di paperclip tanpa mematikan mikrofon. Bus mulai bergerak. Letta melemparkan pandangan ke jendela begitu bus meninggalkan area sekolah. Pemandangan pegunungan Kaukasus di kejauhan selalu berhasil membuat mata Letta terbelalak. Dia rindu pergi ke desa tradisional di Georgia, tempat perkebunan anggur neneknya berada. Biasanya saat panen raya tiba, Letta selalu menemani Granny Ana tinggal di villa perkebunan untuk memanen anggur. Namun karya wisata kali ini membawanya ke desa yang belum pernah dikunjunginya. “Perjalanan menuju situs budaya pertama membutuhkan waktu sekitar empat jam. Jadi, akan sampai di sana sekitar pukul sebelas siang. Menurut rundown kita akan makan siang di situs pertama. Lalu mengunjungi situs-situs di sekitarnya sampai jam 3 sore. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke desa budaya dan chek in di pemondokan. Kamar penginapan akan kita umumkan setelah tiba di Svaveti,” lanjut Miss Gretta lewat mikrofon. Saat tengah menikmati pemandangan, Letta merasakan liontin batu di dadanya bergetar halus. Dengan spontan digenggamnya liontin itu. Dia sedikit panik karena getaran itu semakin kuat dan membuat batu itu menghangat. ”Aku menemukanmu.” Bisikan seseorang bergema di kepalanya. Ia menoleh ke arah Miriam, tapi gadis itu malah memberinya pandangan heran. “Kau dengar sesuatu?” tanya Letta pada Miriam. Teman seperjalanannya itu menggeleng sambil menunjuk earphonenya. Jawabannya jelas tidak. ”Kau tidak akan bisa menghindariku,” bisikan itu pelan tapi jelas. Letta terlonjak berdiri. Miss Gretta melihat ke arahnya diikuti oleh seluruh penghuni di bus. “Ada apa, Violetta?” tanya Miss Gretta. “Tidak apa-apa, Miss. Aku hanya kaget,” jawab Letta sambil duduk kembali. “Baiklah semuanya, saya lanjutkan kembali. Konon desa itu disebut desa penyihir, karena memiliki banyak situs kuno dan legenda mistis. Tapi tujuan karya wisata kita adalah belajar sejarah bangunan kuno. Malam harinya kita akan membuat api unggun dan bercerita tentang legenda desa. Keesokan harinya setelah sarapan, kita akan mengunjungi perkebunan anggur dan mengikuti ritual panen anggur.” Letta yakin dia mendengar sesuatu tadi. Tepat setelah liontin batu di dadanya bergetar. Dirabanya lagi liontin itu, sekarang tak ada getaran sedikitpun. “Kamu baik-baik saja?” tanya Miriam tiba-tiba. “Emm, hanya sedikit gugup,” jawabnya jujur. Suara noise mikrofon terdengar kembali. Miriam dan Letta memusatkan perhatiannya ke depan. Demikian juga dengan seluruh siswa, kecuali sepasang mata hijau milik Alec. Cowok itu mengunci pandangannya pada Letta selagi mendengarkan penjelasan gurunya. “Setelah mengikuti panen, acaranya bebas hingga malam hari. Kalian bisa berjalan-jalan ke rumah warga di sekitar pemondokan. Mereka membuat berbagai macam souvenir dan kalian bisa membelinya sebagai oleh-oleh. Atau mengunjungi situs-situs reruntuhan kuno. Malamnya kita berkumpul lagi dan menginap semalam. Keesokan harinya kita pulang. Jangan lupa buat laporan perjalanan untuk dikumpulkan hari Senin." ”Mr. Pruidze tidak berkedip melihatmu dari tadi,” bisik Miriam pada Letta. Tanpa mengubah pose, Letta berkata balik,” Biar saja. Nanti dia juga capek sendiri.” Miriam terkikik mendengar penuturan Letta. “I like your style, girl!” timpalnya. *** bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN