Teman yang Menyebalkan

1236 Kata
Alec berdiri di tengah lorong mengamati penghuni bus berkapasitas empat puluh delapan penumpang yang sebagian sudah terisi. Tidak sedikit pun dia terkesan. Padahal interior mewah bernuansa biru metaliknya cukup fancy. Di kiri dan kanannya terdapat jok penumpang yang terbuat dari kulit sintetis berwarna abu gelap untuk dua orang. Pada tiap seat masing-masing dilengkapi dengan remote pengatur posisi, lampu baca LED, serta charger. Di ujung lorong, terdapat terdapat toilet yang cukup luas dengan cermin besar di bagian luar. Mengabaikan semua mata yang tertuju padanya, Alec menggerutu lantaran tidak menemukan gadis berambut merah incarannya. Langkahnya semakin berat menuju bangku nomor 36 yang berada di deretan nomor enam dari belakang. Namanya tertempel di kursi sebelah kiri, sementara nama Violetta ada di sebelahnya. Begitu duduk, seat di sebelahnya masih kosong. Bukan salah Alec jika moodnya hancur pagi ini. Matanya susah diajak terpejam semalaman. Akibatnya, kepalanya sedikit pening, dan bahkan pagi tadi, Vaskha telah mendapat satu bentakan. Untung saja sahabat sekaligus saudaranya itu selalu.maklum.akan semua tingkahnya yang kekanakan. Bahkan kadang Alec merasa Vaskha itu seperti seusia ayahnya, tapi dengan sifat yang bertolak belakang—sangat dewasa dan pengertian. "Seharusnya aku tidak ikut, jika Letta tidak ada!" gerutu Alec. Kedua matanya memandang bosan film kartun yang sedang diputar pada dua buah layar monitor besar di depan. Ia berharap Violetta segera datang. Jika tidak, Alec akan turun sebelum bus berangkat. Sambil memainkan ponsel, sesekali diliriknya pintu masuk tatkala ada siswa yang naik. Alec berkali-kali menghela napas berat sebab tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Sampai akhirnya seorang gadis berambut pirang, tiba-tiba berdiri di sampingnya. Cecilia, ratu sekolah yang tidak pernah menyerah mencari perhatiannya. “Hai, Alec! Kejutan besar bisa satu bus denganmu. Boleh aku duduk di sini?” tanya Cecil menunjuk kursi kosong di sebelah Alec–dekat jendela. “Aku dapat nomor 24 di deretan belakang. Rasanya seperti terjepit sampai aku tidak bisa bernapas,” curhat Cecil. Dia memandangi wajah Alec yang tidak merespon. “Pleaseeeee, Alec. Boleh, ya” rayunya manja dan memelas. Disentuhnya lengan cowok pujaannya itu dengan lembut. Alec sangat bosan dengan semua omong kosong Cecil. Ditambah lagi tingkahnya sangat memuakkan. Diabaikannya gadis itu dengan membuang muka ke arah jendela. Saat itulah terlihat sebuah mobil Audi hitam berhenti di seberang jalan. Seorang gadis berambut merah yang mengenakan almamater, keluar dari mobil sambil menenteng sebuah tas punggung dari bahan jeans. Ujung bibir kirinya spontan tertarik ke atas. Sebuah ide mendadak muncul di kepalanya. “Silakan,” ujar Alec dingin. Ia berdiri untuk memberi jalan pada gadis centil itu agar bisa duduk di sebelah. Sebuah hukuman bagi Letta, karena membuat dirinya setengah frustasi gara-gara menunggu. Setelah duduk kembali, Cecilia menggelayut di lengannya sambil terus berbicara. Ia tidak perduli. Perhatiannya terpusat pada jendela, mengamati Letta yang setengah berlari menuju bus sambil menyeret koper bawaannya. Mengetahui dia sudah berada di depan pintu masuk, Alec bernapas lega. Mata hijaunya mematri tiap gerak gerik Violetta yang perlahan memasuki bus. Wajahnya memerah di bingkai beberapa rambut yang lolos dari ikatan ekor kuda. Mulutnya yang mungil sedikit terbuka memberikan akses keluar masuk udara karena napasnya yang sedikit terengah. Mata birunya menyapu semua orang di sekeliling. Begitu menyadari mata Alec terkunci padanya, dia mematung. Suara pintu bus yang ditutup menyadarkan gadis itu untuk terus melangkah maju ke arahnya. Letta berhenti tepat satu langkah di hadapannya, memandangi nomor bangku yang tertempel di atas sandaran. Alec berharap Letta marah karena seat yang seharusnya menjadi jatah gadis itu telah ditempati Cecil. Alec salah! Gadis berkuncir itu menghela napas lega sambil terus berlalu ke belakang. Justru sekarang Alec yang merasa kecewa mendapati kenyataan itu. Terutama setelah melihat Letta tampak bahagia mengobrol dengan rekan seperjalanannya di bangku belakang. Ocehan Cecil dengan suara yang melengking, membuatnya makin kesal. “Shut up and put your hand away from me!” geram Alec tanpa menoleh. Cecilia langsung terdiam mendengar perkataan Alec. Melihat ekspresi datar cowok pujaannya yang sedang menahan amarah, ditariknya tangan dari lengan kekar itu segera. Dia tidak habis pikir mengapa Alec tiba-tiba berubah menjadi dingin kembali. Diam-diam diamati gerak gerik teman seperjalanannya yang berkali-kali menengok ke belakang bahkan saat Miss Gretta sedang menjelaskan di depan. “Ada apa, Violetta?” tanya Miss Gretta tiba-tiba. Spontan Cecil menoleh–seluruh siswa juga–ke arah pandangan guru Sejarah Budayanya itu. Seorang gadis berambut merah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Tidak apa-apa, Miss. Aku hanya kaget,” jawab gadis itu kemudian duduk kembali. Dia menempati jatah bangku lamanya. Ada sedikit penasaran tentang gadis itu tapi ditepisnya. “Baiklah semuanya, saya lanjutkan kembali. Konon desa itu disebut desa penyihir, karena memiliki banyak situs kuno dan legenda mistis. Tapi tujuan karya wisata kita adalah belajar sejarah bangunan kuno. Malam….” Cecil hendak kembali mengarahkan perhatian ke depan saat Miss Gretta melanjutkan penjelasannya. Namun Ia terkejut mendapati Alec masih menoleh ke belakang. Tepat ke arah gadis berambut merah yang berdiri tadi. Dia bertanya-tanya, apakah gadis itu yang membuat Alec berubah? Cecil meyakinkan diri bahwa tidak ada seorang pun yang dapat merebut Alec darinya. Tidak juga gadis itu! "Kamu kenal dia?" tanya Cecil. "Bukan urusanmu," kata Alec Acuh. Setelah beberapa lama mengamati Letta dan tidak mendapat respon, Alec kembali menghadap depan. Dengan kasar diambilnya earphone dari saku celana dan memasangnya di kedua telinga. Setelah memencet beberapa tombol di ponsel, dia memejamkan mata. Musik dari aplikasi yang diputar acak mampu membuatnya sedikit tenang. Biarpun melewatkan penjelasan Miss Gretta tentang karya wisata ini, dia tidak menyesal. Karena tujuan utamanya adalah mengorek hubungan Violetta dengan wanita spesial dari masa lalunya. Lagi pula gadis itu cukup imut dan menggemaskan. Saat sedang kesal atau marah, membuat Alec semakin ingin menggodanya. Ketenangan yang dirasakan Alec tidak berlangsung lama. Cecil di minta ke depan oleh Miss Gretta untuk memimpin acara bernyanyi bersama. Gadis itu memang punya suara merdu dan beberapa kali mendapat juara lomba menyanyi. Dia sering diundang menyanyi di televisi dan menghadiri beberapa acara penting lainnya. Sosial media miliknya menjadi incaran para fans dan orang-orang di Tbilisi. Intinya, semua orang memuja Cecillia Louise Grande, kecuali Alec. "... Toast to the ones here today. Toast to the ones that we lost on the way. 'Cause the drinks bring back all the memories. And the memories bring back, memories bring back you ...." Cecil mengakhiri karaokenya yang disambut dengan tepukan riuh para penghuni bus. Namun, Alec sama sekali tidak tertarik dengan suara merdu gadis itu. Justru semakin dibesarkannya volume lagu yang terdengar dari earphone. Bagi Alec, lagi Cecil terlalu cengeng. "Kamu suka?" tanya Cecil begitu kembali ke bangku di sebelah Alec. Gadis itu sedikit kecewa saat Alec tidak memberi respon. Namun, kegigihannya memang tidak tertandingi. "Kau suka cemilan? Aku membawa beberapa keripik dan juga coklat," ujar Cecil sembari mengambil sesuatu dari tasnya. Dengan senang hati ia membuka keripik itu, laku mengulurkannya pada Alec. "Ini cobalah." Alec bergeming. Sama sekali tidak tertarik untuk berinteraksi dengan gadis cantik di sebelahnya. "Kau haus? Aku ambilkan minum ya?" ujar Cecilia, yang kemudian mengambil minum ke depan. Saat itulah Alec bergeser tempat duduk ke dekat jendela. Dia melemparkan pandangan ke arah jendela. Tidak ada macet seperti di kota, jalanan sempit yang dilalui hanya cukup untuk dua kendaraan berpapasan. Pegunungan Kaukasus yang tadinya terlihat jauh, kini semakin tampak jelas dan terlihat menghijau. Hamparan savannah menggantikan pemandangan rapatnya gedung di ibu kota. Udara pun terasa semakin dingin, padahal masih pukul sembilan pagi. Dari kejauhan sebuah bangunan gereja tua di atas bukit terlihat jelas di jendela. Siluet gunung yang mengerucut dengan ujung berselimutkan salju, membuat pemandangan alam itu tampak lebih indah–dan nyata tentunya–dibanding foto di kartu pos. Alec terpana, lalu melepas earphone.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN