"Kamu mau ke mana ini memangnya?"
Aku nyengir lebar, sambil menatap puas hasil tangan mama. Dia selalu berhasil membuat segala sesuatu menjadi sempurna hanya dengan sepuluh jari tangan. Salah satunya adalah mengepang rambutku menjadi dua bagian.
Lihat, begini saja, aku merasa aku adalah putri tercantik mama. Oh ayolah, Wa, setiap perempuan memanglah tercantik di dalam keluarganya. Untuk itu, kalau sampai ada yang merendahkanmu hanya karena tidak memenuhi salah satu standar yang ditetapkan dunia, maka katakanlah ini: Sori, gue nggak bakat hidup untuk menjadi orang i***t yang selalu sibuk mengikuti maunya manusia.
Meletakkan kaca di atas meja, aku membenarkan posisi duduk untuk memandang fokus ke mama. "Mam, Awa udah besar ya?"
Kepalanya dianggukkan.
"Sudah layak punya pasangan---eh ralat, anak ya?"
"Huhum."
"Udah---"
"Tunggu sebentar." Kedua matanya berbinar, lalu senyum ala pepsodent yang memesona itu berhasil memukauku. "Gala udah lamar kamu? Serius? Di mana? Cerita dong sama Mama. Kamu pasti nggak kece banget kan? Yakan? Mama duga, kamu pasti melongo b**o sambil netesin liur. Euh, Wa. Mama kan sudah ajari, harus kece dalam momen apa pun. Nanti Gala---"
"Maaaaaaam." Aku memohon agar ia berhenti berdelusi. Sumpah ya, Mama selalu bikin aku pengin tepuk jidat sambil putar bola mata, seandainya saja itu nggak dosa. Dan, sekarang, sudah terlanjur. "Gala tuh punya pacar."
"Jadi, dia belum lamar kamu?"
"Nggak akan."
"Akan, Wa. Percaya sama Mama."
"Dia punya pacar. Gala dan Awa itu bestfriend forever yang nggak---"
"Untuk sekarang. Tapi nanti, Mama yakin kalian pasti more than friends." Belum sempat aku bersuara setelah membuka mulut, Mama terlihat buru-buru menambahkan. Ya ampun. "Gala boleh pacaran sama sebanyak apa pun perempuan. Silakan. Kamu pun sama. Sekarang, lagi dandan cantik. Kepang dua andalan Mama. Pakai lipstik pink, pipi merona buat temuan sama cowok lain. Juga silakan. Tapi nanti, suatu saat nanti, kalau masanya sudah tiba, kalian berdua bakalan tersadar satu sama lain, lalu berlari saling menemukan. Dan, ketika momen itu datang, yang kalian pengin lakukan cuma satu: mencari Mama buat bilang 'Oh s**t, Mam! Aku berhutang banyak sama Mama!'"
Aku memandangnya ngeri. Apa ... ini salah satu bagian dari usia tua? Maksudku ... aduh, bagaimana aku menjelaskannya? Mama makin mengerikan akhir-akhir ini. Obsesi dia untuk menjodohkan aku dan Gala semakin brutal. Dia bilang, dia mulai meyakini dan merasa mendapat wangsit kalau aku dan Gala adalah belahan jiwa ketika kami SMA kelas satu. Saat itu, Gala berlari dari lantai 4 di gedung B sampai 200 meter dari area sekolah untuk menemuiku yang terserempet motor.
Aku ingat sekali, mama bilang begini di rumah sakit, "Gala Sayang, jadi menantu Tante kalau sudah besar ya."
Bodohnya, dengan antusias, Gala mengangguk sambil menjawab, "Siap, Tante."
Dan, kamu sudah bisa menebak bagaimana pola hidup kami setelah itu. Gala yang tak pernah berusaha menampik atau menjelaskan pada mama kalau kami ini sahabat bukan pasangan kekasih. Tentu saja hal itu membuat mama selalu maklum pada setiap berita yang kubawa kalau Gala baru saja resmi jadian dengan model-modelnya.
Dan, tahu apa yang Gala katakan ketika aku komplain masalah itu? Ini dia jawabannya: "Iyain aja udah, Wa. Jan kayak orang stres gitu apa. Ntar juga kalau kita udah nemu jodoh, Tante Mira bakalan diem kok. Dia cuma pengin gue menjaga elo dengan baik. Itu doang."
Ah sudahlah, sekarang waktunya aku fokus sama apa yang akan kuhadapi. Tinggalkan Mama bersama dunianya: menginstruksi anak buahnya untuk mendata buah-buahan yang baru datang dari panen kebun di Jogja sebelum dia distribusikan.
Selesai memasang sneakers, aku meraih sling bag dan segera keluar dari rumah. Taksi online yang kupesan sudah siap maka sekarang waktunya berdoa. Ini akan menjadi sesuatu yang baik. Ini akan berjalan sempurna. Ini akan membahagikan.
Ya, semoga mantra itu berhasil bekerja dan tidak membuatku melakukan sesuatu yang memalukan.
Aku tidak boleh lebih bodoh dari Aliqa. Baiklah, Aliqa memang tidak pernah bertindak ... wait! Aku mendapatkan sebuah notifikasi i********: dan ... oh man! Aliqa mengunggah sebuah foto. Setangkai bunga mawar, lengkap dengan sebuah post it yang bertuliskan: Can't you break my head and not my heart? Aliqa, you're the only I wanna love. ---H.
Tunggu, tunggu, tunggu! Aku segera melihat akun yang ia tandai dan ... hahahaha! Aku menang! Dasar bitchy cilik! Ini kan mantannya yang berhasil membuat Aliqa nangis sejadi-jadinya waktu mengetahui cowok itu selingkuh. Iya, aku ingat. Namanya Hattala. Anak Bina Nusantara jurusan Bisnis manajemen. Satu-satunya laki-laki yang bisa bikin Aliqa belingsatan dan nurut kayak orang t***l.
Aha, jadi mereka sudah balikan? Atau, baru akan? Sepertinya aku mencium aroma-aroma permohonan maaf dari sang cowok. g****k banget ya si Hattala itu, mau-maunya dipermalukan sama anak sosmed macam Aliqa. Sedikit-sedikit i********:. Nemu cowok baru dikit---ya ampun! Sebentar, kalau Aliqa beneran balik dengan Hattala, bukankah itu pertanda kalau aku dan Kalingga akan ... Hahaha! Uyeye!
Akhirnya, tidak sia-sia aku mengaktifkan notifikasi postingannya. Aku harus segera mengonfirmasi ini.
"Halo, Mbak. Ken---"
"Bilang sama gue kalau lo beneran balikan sama si Atta! Bilang, Al! Buruan!"
"Ih apaan sih. Berisik. Gue mau---"
"Jangan banyak cingcong. Buruan bilaaaaang! Atau kalau nggak, gue bakalan bilang ke Atta kalau lo lagi dekatin cowok, biar dia nggak jadi mau ngajak lo bal---"
"Bodo amat! Iya!" Suaranya terdengar sangat frustasi. Dan, itu tentu saja membuatku tersenyum lebar. Peduli apa dengan tatapan aneh Bapak sopir. "Dia lagi berjuang buat dapatin hati gue balik. Omaga, Mbaaaaaaak." Euh. Dia kumat alay nih pasti. "Gue harus akui kalau dia satu-satunya yang paling manis. Gue nggak bisa diginiin. Tapi gue harus kuat dan gue nggak boleh langsung bilang 'iya' kan? Gue mau liat usahanya dulu sampe maksimal. Dia harus bayar semuanya. Selingkuh sama cewek yang b aja kan ngeselin. Kalau sampai---"
"Terus Mamashawt lo itu gimana?"
"Siapa itu?"
Kan! Apa kubilang! Untuk kamu semuanya, jangan pernah percaya pada muka polos yang selalu dipamerkan orang-orang. Karena bisa jadi, isi dalamnya adalah medusa macam Aliqa.
"Jadi, Kalingga buat gue?"
Tawanya terdengar. "Ambil aja lagi." Barang kali ah. "Gue baru sadar, kalau Mamashawt itu b aja. Mungkin gue cuma sekadar kagum." Suara kikikannya bikin aku merinding bukan dalam arti yang baik.
"Terus Hattala di mana?"
"Lagi jalan ke sini."
"Ke rumah lo?"
"Iya. Dia kan lagi di Sudirman. Gue minta jemput sekarang dan minta dianterin ke IKEA. Mau foto-foto ala-ala ibu rumah tangga dengan perabotan gitu."
Aku cuma bisa melongo. Sudirman - Kebayoran Baru - IKEA Alam Sutera di Serpong.
"Ntar gue ceritain pokoknya! Gue juga mau nginep di rumah Eyang. Sampai waktu kuliah telah tiba. Dadah, Tante seksi!"
Dan, maksudnya nginep itu ... berarti, nanti, Hattala pulang seorang diri setelah jauh-jauh menyetir?
Aku baru tahu, begini rasanya menyaksikan drama percintaan.
***
Lupakan Aliqa bersama persoalannya itu. Sekarang, mari bantu aku berdoa dengan khusyuk sebab Kalingga adalah milikku sepenuhnya! Kuulangi, sepenuhnya! Bocah ingusan sudah menyerah karena menemukan belahan jiwanya. Ya, aku sih memang yakin, Kalingga bukan tercipta untuk Aliqa. Nggak cocok.
Namun, apakah itu berarti Kalingga untuk Awandini?
Untuk mengetahui jawabannya, mari kita berusaha lebih dulu, baru lihat hasilnya. Kalau memang nanti hasilnya tidak sesu... oh man! Tidak ... tidak ... tidaaaaak! Kalau begini caranya, aku bisa-bisa menghancurkan citra lagi.
Kapan sih dia tampil biasa aja, gitu? Maksudku adalah, aku yakin seratus persen, topi abu-abu yang ia kenakan itu pasti sanggup dibeli oleh siapa pun, tapi kenapa kalau dia yang pakai, seolah benar-benar diciptakan hanya untuknya? Kan nggak adil! Terus itu lagi, kaus putihnya yang biasa aja, sumpah mati itu pasti banyak dijual di luaran sana, kenapa bagus bangeeeeet!
Dan, dan, dan ... Masya Allah, senyumannya kayak yang tropicana banget! Nggak terlalu manis dan nggak akan bikin aku penyakitan. Kalau aku gombalin dia sekarang, kira-kira ke depannya masih bisa ketemu nggak ya?
"Hai, Awa. Kok malah melamun di situ?"
"Melamun? Siapa yang ngelamun?" Aku tertawa pelan, berdeham berkali-kali. "Aku cuma lagi liat-liat suasana. Nggak terlalu ramai ya, Mas."
"Malah enak. Bisa fokus. Buat kamu."
Matilah aku. Dia sungguh-sungguh memesankan kopi lengkap dengan namaku yang tertera. Senyumannya sih manis, semanis aksinya yang kini menyodorkan cup itu ke hadapanku. Semanis tangannya yang terdapat arloji hitam ... ugh, pasti hangat banget kalau tangan itu lagi melingkar memelukku.
"Diminum, Wa."
"Ah? Oh ya ya. Diminum."
Minumlah, Wa, maka setelahnya ranjang rumah sakit adalah tempat terbaikmu. Suntikan infus adalah teman setiamu. Senyuman manis dokter sambil memasukan sesuatu yang dingin ke pantatmu juga bisa menghiburmu, bukan?
Dan, ketika aku benar-benar mulai menyedot minuman keramat itu, aku hanya bisa mengucapkan: selamat datang, wahai nyerinya asam lambung yang tiada tanding.
"Kita belum resmi berkenalan ya." Iya, Kalingga. Kita memang belum kenalan. "Kamu masih kuliah atau?"
"Baru lulus. Baru aja. Baru mindahin toga dan sekarang jadi...." Aduh, Mamaaaaa, dia mulai datang. Perlahan-lahan, kepedihan di lambung itu mulai terasa. "Jadi begini." Apanya yang begini, Wa? "Ya begini nyerinya!"
"Maaf?"
"Aduh, maaf, Mas. Aku....
Dia tertawa. "Kamu kenapa? Gugup? Waktu itu berani banget lho. Atau pertanyaanku agak keliru?"
"Bukan, bukan." Ini sakit, Mas. Banget. s****n. Tuhan. Tolong. "Lanjut lagi."
"Apanya?" Oh man! Dia tertawa kecil, terlihat sangat geli sambil menggelengkan kepala.
Mana mungkin ini terjadi pada seorang Awandini Nimpuna yang Aliqa bilang berganti pacar kayak ganti pembalut!
"Kamu butuh fokus, Wa. Silakan diminum lagi kopinya."
Justru karena kopi ini, sialaaaaaaaaan!
"Kamu mau---"
"Mas aku nggak kuat! Ini sakit!" Jangan tanya bagaimana beberapa orang yang ada di sekitar langsung menoleh ke arahku. Karena aku sungguh tidak peduli. Aku masih ingin hidup, Tuhan. Masya Allah, ini nyeri banget. "Mas!"
"Apanya?!" Mukanya panik. Dia berdiri, menghampiriku. "Awa, jangan buat panik. Hey, kamu kenapa? Apanya yang sakit? Ya Allah, kamu---"
"Bawa aku ke rumah sakit, Mas. Tolong. Aku udah nggak kuat. Aku butuh obat dingin itu, tolooooong."
"Okay, okay!"
Dan, persetan bagaimanapun citra yang kubangun hari ini hancur seketika di mata Kalingga. Sebab yang ada di kepalaku hanya satu: aku masih mau hidup. Dengan atau tanpa seorang lelaki.