Katanya, love at first sight itu memang ada
"Selamat datang, the most beautiful girl in the world, the one and only, Awandini Nimpuna!"
Wakwaw. Itu dia. Satu-satunya keponakan dan berjenis kelamin perempuan, sedang merentangkan kedua tangan, membuka kaki lebar dan begitu pula senyumannya. Seperti katanya di pesan singkat tadi: aku bakal sambut Mbak dengan segala kesempurnaanku. Maka, sekarang aku turun dari taksi online di depan rumahnya, menikmati 'sambutan mewah' itu.
"Apa kabar, Wisudawati?" kikiknya, sambil mengambil alih koper silverku lalu mendorongnya. "Denger-denger, ada yang mau lama nih di sini. Eyang makin bawel ya, Mbak?"
"Bukan lagi." Aku mengangkat tangan. Gadis yang baru merayakan kelulusan di sebuah gedung bersama teman seperjuangan, apa yang diharapkan kalau bukan karir dan asmaranya? "Tiap malam gue ditanya ‘Awa, kamu sudah 22 tahun lho ya, sudah cocok banget itu gendong bayi' atau ‘Awa yang manis, jadi PR-nya KPK enak sepertinya, banyak kerjaan. Kasus terus' hahaha. Gue jawab, 'Mama sayang, lembaga pemerintah nggak kenal PR, tahunya Humas'. How do you think? I'm pathetic, right?"
"You are." Aliqa menutup pintu rumah, membawaku ke lantai 2---letak kamarnya, yang juga akan menjadi kamar kami---dan mengempaskan tubuhnya di kasur. "Gue putus, Mbak."
"Lagi?"
Sekadar pengetahuan, kalau gadis 20 tahun yang sedang tiduran di sampingku ini bukan hanya sekali-dua kali mengatakan hal yang sama. Kali terakhir aku berkunjung ke sini, saat-saat pemerasan mental dan otak---you name it---demi mencari hiburan, ia pun dengan gamblang bilang habis putus. Lalu, seminggu kemudian, storiesgram-nya sudah dipenuhi dengan foto bunga, cokelat dan produk make up lengkap diimbuhi caption ucapan terima kasih dan tanda love. Jadi, kukira dia sudah kembali berhubungan. Nyatanya, kebenaran itu sekarang rusak lagi.
Ya, Aliqa Nasha Bella memang sangat lincah di dunia relationship.
What a life!
"Bunda ke mana, Al?"
"Kafe. Tau deh. Katanya mau main ke rumah Eyang sama Ayah. Nggak tahu tapi."
"Emang Ayah udah pulang?"
"Tadi sih udah. Pergi lagi." Tubuhnya bergerak, berubah posisi menjadi telungkup. "Mbak, gue lagi jatuh cinta. Love at first sight. Menurut lo gimana?"
Love at first sight. Jujur, dari semua ketidakmungkinan di dunia ini, aku menempatkan kalimat itu sebagai yang pertama. Siapa yang percaya bisa cinta pada kali pertama tatap, kalau definisi cinta saja tidak ada yang tahu? Sebab cinta di mataku adalah perasaan kompleks yang baru bisa dirasakan saat sudah lama saling mengenal. Semacam perasaan takut ditinggalkan, takut menyakiti dan sebagainya.
"Gue tahu ini bullshit banget." Aliqa kembali telentang, memainkan kepangan rambutku. "Tapi lo harus percaya, love at first sight itu ada. Ada, Mbak. Di mana lo cuma liat ketawanya, gerak tangannya waktu ngobrol sama orang, senyum ramahnya, dan yang pasti, sorot matanya, walaupun itu belum pernah ditujukan ke gue."
"Wait ... elo lagi bahas siapa? Mantan?"
"No!" Ia mencibir. "Gue nggak tahu namanya siapa. Tapi satu yang pasti, dia selalu duduk di dekat jendela, buka laptop, ngetik entah apa dan pesanannya pasti double espresso dan waffle. Selalu pakai topi marun polos kalau nggak abu-abu. Dan, outfit-nya sederhana banget. Luaran kemeja denim atau kalau nggak jaket kulit. Satu lagi, boots cokelat dan hitam kayak item wajib buat dia."
"You are a stalker!"
"Bukan!"
"Iya!"
Dia terbahak. Menggelengkan kepala dramatis. Astaga! Bagaimana mungkin gadis ini bisa tahu sedemikian banyaknya perihal cowok yang dia bilang tak dikenal.
"Dia kayaknya setiap hari Minggu, pasti ke Me & You. Tapi gue nggak berani nyamperin. Menurut lo gimana?"
"Serahin ke gue." Aku bangkit duduk, menepuk-nepuk paha pelan. "Let's go. Ini Minggu, kan? Kita sampe Me & You malam, pas banget."
"Are you sure?"
Aku mengedipkan mata. "Lo ngerendahin kemampuan gue dalam menaklukan laki-laki?" Apalagi, cowok yang dimaksud Aliqa pastilah masih bocah. "Fyi, meskipun gue nggak punya pacar akhir-akhir ini dan lo terlihat lebih selon, bukan berarti sisi brilian gue akan burung-burung tampan, hilang ya."
"Hahaha. How lucky I am. Punya Onty paling pintar se-Serpong. Btw, lo nggak capek, Mbak, baru sampe lho."
"Serpong-Kebayoran doang. Kuy lah!"
Satu jam kemudian, Aliqa sudah memonyong-monyongkan bibirnya, pamer lipstik yang baru ia beli. Setelah merasa sempurna dengan dress selututnya, ia duduk di tepi kasur, memperhatikanku yang sedang mengepang rambut yang baru beres dengan hairdryer.
Ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sudah lama sekali aku tak mencari hiburan dari aspek percintaan. Jadi, kurasa inilah menjadi awal mula, untuk aku kembali menjajak. Sebab, ada Tante yang handal dibalik kelincahan keponakan dalam bermain asmara.
"Gue pilih ini." Aliqa sudah meraih satu lipstick cream bewarna marun lalu menyodorkannya. "Ck, gue nggak ngerti lagi, di mana ada cewek berkepang dua yang bukannya kelihatan culun malah seksi kayak lo gini. Makan apa sih lo di Serpong?"
Aku tertawa. Mengangkat kedua tangan di udara, lalu menggoyangkan tubuh. "Jaket kulit or denim?" Aku memegang jaket dengan bahan dan warna berbeda.
Inilah salah satu alasan mengapa aku selalu membawa minimal satu koper setiap menginap di sini. Apalagi, kali ini, niatku adalah liburan. Liburan yang sesungguhnya, sebelum aku memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan.
"Denim aja deh." Aliqa berjalan ke lemari besarnya, mengambil sesuatu. Dan ... "Pakai topi putih ini. Oh My God.... sumpah mati gue nggak mau saingan sama lo, Mbak. Pasti kalah. Hahaha. Sneakers, ripped jeans, jaket denim dan topi. Sades, awas aja lo kalau nggak berhasil."
Outfit begini untuk malam hari? Siapa takut!
"Hahaha. Jangan panggil gue Onty paling seksi kalau gitu."
***
"Yang mana, Al?"
"Jam tiga. Arah jam tiga, please, jangan lemot di saat begini, Mbak."
"Ngerti gue ya Allah. Wait." Aku merapikan kepangan di kedua sisi bahu, topi yang mungkin saja miring dan merapatkan jaket. "Gue oke, kan?"
"Yup. Gih, demi gue. Lo nggak akan nyesel, sumpah. Kalau namanya berhasil lo tahu, The Naughty Pallete-nya Kylie gue beliin. Kalau ditambah nomor WA, Sugar Lip Set juga. Janji."
Aku memgembangkan senyum lebar. "Dapat duit dari mana lo?"
"Jangan panggil Ayah dan Bunda pasangan pengusaha kalau buat produknya Kylie doang gue nggak sanggup."
"Hahaha. Bisa, bisa. Gue jabanin. Lihat ya."
Aku mengembuskan napas, menoleh ke kiri dan kanan. Minggu malam, syukurlah tak seramai malam Minggu, sebab aku agak khawatir kalau ini bakalan memalukan. Bukannya tak percaya diri, tetapi aku sungguh-sungguh ketika mengatakan kalau aku libur dari dunia macam ini sejak mulai mengerjakan skripshit.
Dan, kali ini, aku harus kembali berhadapan dengan makhluk paling nggak peka lagi. ya ampun, Awa, take a breath. Aliqa bukan sekadar keponakan, dia adalah partner in crime. Apapun; (1) Mengendap-endap ke club walau berakhir muntah parah dan itu menjadi pengalam pertama dan terakhir, sebab Aliqa takut akan ancaman mbak Ghina yang akan menempatkannya di Banyuwangi (bersama orang tua mas Reza); (2) Menyelamatkanku dari amukan mama saat tahu kalau menginap di rumah mbak Ghina---mama Aliqa---hanyalah alasan agar aku bisa pulang malam.
Juga, ada The Naughty Pallete yang nggak tahu gimana Aliqa nanti akan mendapatkannya.
"Hai." Aku sudah duduk persis depan laptop yang icon-nya sedang menyala. Menoleh ke kiri-kanan. "Bol---" Mampus to the jungle.
Ucapanku terhenti hanya di ujung lidah. Kutelan saliva berkali-kali agar tenggorokan tak kekeringan dan berakhir sakit.
Aliqa benar.
Sorot matanya tajam tetapi teduh dan ia memiliki bola mata hitam kelam.
Senyum tipis yang begitu ramah, padahal aku mengganggu waktu sendirinya.
Kerutan di kening itu akibat mungkin sekarang dia berpikir aku cewek gila yang akan meminta pertanggungjawaban.
Kedua alis hitam mengerut dan semakin terlihat bingung.
Dan, yang pasti, kalau Aliqa memanglah sangat istimewa. Bagaimana tidak, kalau saat tadi kukira cowok yang ia taksir ini adalah bocah ingusan sepertinya. Nyatanya ... oh man! Yang di depanku ini terlihat sangat manly sekaligus seksi! Ada bulu-bulu tipis yang kayaknya malu banget buat tumbuh di area kumisnya. Jugaaaaa, itu lhoooo, di dagu-dagunya.
Tuhan, ya ampun, jantungku berdebar.
Sekali lagi, Aliqa benar, love at first sight itu memang ada.
Bukannya melakukan misi, aku malah terus melongo di tempat. Hingga kulihat ia melepas topi marunnya, menyugar rambut, lalu tangannya ia lambai-lambaikan di depan wajahku. "Ah, hai."
"Ada yang bisa kubantu?"
Suaranya ... "Ada. Ada. Ada. Ng, sebentar." Aku memejamkan mata sesaat, merapatkan jaket, dan melepas topi. Lalu, memasang wajah semanis mungkin. "Aku butuh sedikit bantuan. Kalau kamu berkenan, bisa pinjam aplikasi ojek online? Hapeku mati, dan aku harus pulang."
Senyumannya....
Maaf, Aliqa ....
Kita mengalami hal yang sama.
"Sekarang?"
"Ya. Sekarang. Boleh?"
"Tentu. Silakan."
Dengan cepat, aku mengambil ponsel dan mengetikkan nomorku (Lihat aja, Al, Tantemu yang seksi ini pasti bisa save nomor dia. Cukup lihat), lalu kutekan dial, berharap kalau nomornya segera masuk dan ....
In my dreams, you're with me. We'll be everything I want us to be. And from there—who knows? Maybe this will be the night that we kiss....
Crap. Manusia i***t mana yang berani mengganti mode silent menjadi dering di ponselku?!
Aku meringis. Spontan mengangkat ponselnya dan kukembalikan sementara tanganku yang lain merogoh tas dan mengambil milikku. Kulirik, Aliqa sedang melayangkan tinju sambil melotot dan dengan cepat kubalas jari tengah. Awas saja kalau dia berpikir ini adalah momen mudah.
Dia harus tahu, kalau rasanya... aku melongo saat mendengar suara tawa dari cowok di depanku. Ia sampai menggelengkan kepala, memperhatikan layar ponselnya. Beberapa detik kemudian, sebuah panggilan kembali masuk di ponselku. Dengan pelan, aku mengangkatnya. "Hal-halo...."
"Halo." Oh! Cowok di depanku sedang menempelkan ponsel di telinganya sambil tertawa pelan. Bahunya pun bergetar. "Dengan siapa?"
Aku menggigit bibir. Memang benar. Kalau kita sudah lama tak melakukan sesuatu, harusnya latihan sangat diperlukan. Agar tak terjerumus seperti diriku saat ini. "Ak-aku. Hai. Sori. Aku Awa."
"Dikatakan oleh Awa, bahwa ia membutuhkan pinjaman aplikasi ojek online untuk pulang. Dan, sekarang masih butuh?"
Aku tertawa. Ini lucu. Kami kayak dua orang t***l yang ngobrol di telepon padahal hadap-hadapan. "Sori. Hapeku ternyata nggak mati."
"Oke." Dia mematikan sambungan. Memangku dagu dengan tangan di atas meja. Aku malah gugup setengah hidup. "Dan, sekarang?" Ia menggeser laptopnya sedikit.
"Aku pergi. Sori." Secepat kilat, aku meraih topi dan berjalan mejauh, tetapi ....
"Awa."
"Ya?"
"Yang kamu bawa mug kopiku. Ini topi kamu."
Again, mampus to the jungle. "Ha ha ha." Aku tertawa miris. Lalu, kembali mendekatinya untuk menukar kopi dengan topi. Really, Wa? Mug dan topi nggak terasa bedanya? "Thank you."
Ia mengangguk. "Dan, omong-omong, kamu bisa menyimpannya dengan nama Kalingga Alankar di daftar kontak."
"Sumpah?"
Dia kembali tertawa. "Lain kali, aku ajari cara yang tepat dan jitu gajak stranger kenalan. Oke?"
Seketika, senyum lebarku meredup, digantikan degup jantung yang menggila.
Aliqa ... kamu harus mulai paham, kalau dunia memang sangatlah kejam, Sayang. Dan, dalam definisi itu, perseteruan antara tante dan ponakan, sungguh sangat dimaklumi.
tbc