Katanya, Sahabat Segalanya. Itu Cuma Mitos Belaka

1777 Kata
 "Awa, tolongin Bunda. Bunda nggak tau harus gimana. Bunda bingung." Di pagi hari, nyawamu belum sepenuhnya terkumpul (meskipun kamu sudah mandi), lantas kedatangan seseorang yang secara tiba-tiba dan langsung menangis. Well, apa yang akan kamu lakukan? Niatku yang semula akan bersantai sambil menunggu perjanjian yang dimaksud Cakra, kini harus tersisihkan karena perempuan cantik di depanku ini masih tersedu. Mukanya panik, aku nggak kalah heboh. Rambutnya acak-acakan, padahal biasanya dia nggak pernah ketinggalan nge-blow. "Sebentar, sebentar. Bunda pelan-pelan. Kenapa? Kok nang---eh ini kok malah nubruk gini?" Ya ampun, ada apa dengan saraf bundanya Gala ini? Kata Mama, saat ia mengantar makanan itu, bunda Anggia sedang sangat bahagia. Menyambut dengan senyum ramah seperti biasa. Ya walaupun, minus ayah Dirga yang katanya lagi keluar kota. Laki-laki paruh baya satu itu, memang jarang banget di rumah kecuali hari besar. Nah, kalau begitu, bukankah artinya tidak ada masalah serius yang harus membuatnya menangis sekarang? "Ga-Gala nggak hubungin kamu, Sayang?" Aku menggeleng kaku. Kemudian, setelah sadar, dengan tergesa aku menuntun bunda untuk duduk di sofa. Harusnya aku menawari minuman dan selama membuatnya, aku meminta mama---hih, mamaku itu pagi-pagi begini sudah nggak ada di rumah! Rambut boleh nyaris putih, usia boleh banyak angka, tapi badan tetap nggak bisa diam. "Kamu coba telepon Gala dong, Sayang. Tante udah coba dari semalam tapi nggak diangkat. Tante kira dia bakalan ke sini, ternyata nggak ada." Sebetulnya aku belum paham dengan situasi saat ini. Namun, melihat kondisi bunda yang sepertinya nggak sepele, aku mengangguk saja. Mempercepat gerak jari, aku menelusuri kontak dan mencoba menelepon si bodoh. Awas aja kalau dia adalah penyebab dari semua ini, aku akan.... Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah sesaat lagi. Aku mengerut bingung. "Tumben nih anak hapenya nggak aktif. Dia matiin telepon kalau naik gunung doang kan, Bunda?" Kepalanya mengangguk pelan. Diiringi isak tangis lagi. Haduh, ini aku harus gimanaaaaa? "Aku coba lagi, Bunda. Jangan nangis lagi yaa. Pasti aktif kok. Dan---" Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan tinggalkan pesan suara.... "---dan tetap nggak aktif." Menggelengkan kepala pelan, aku mulai mencoba fokus. Ayo, Wa, tunjukkan profesionalisme kamu sebagai seorang sarjana! Kamu harus bisa menyelesaikan ini! "Okay, Bunda. Sekarang, tolong kasih tau Awa, Gala ke mana. Aduh, salah pertanyaan. Maksud Awa adalah, Bunda kenapa? Kok pagi-pagi udah nangis? Kok bingung nyariin Gala? Memangnya Gala ke mana?" Makin kejer dong, tolong! Aku jadi panik sendiri karena belum pernah menenangkan orang dewasa menangis. Paling mentok juga Aliqa dan biasanya.... ohya! Ada Aliqa yang masih molor di atas! Dia pasti bisa kumintai bantuan soal beginian. Dia jauh lebih jago dalam dunia tangis-menangis. Karena, girl, maaf, aku tidak cengeng. Setelah meminta izin pada Bunda, aku ngibrit ke kamar dan bersiap mengusir kalau sampai Aliqa ngamuk karena dibangunkan di jam pagi menurutnya. Namun, dugaanku salah. Begitu kusebut Gala hilang, secara magis, dia langsung bangkit duduk, mengucek mata pelan dan ngacir ke kamar mandi. Dan, tak lama kemudian, suara 'gerudukan' di tangga menunjukkan kalau kami memang sudah siap memecahkan misteri. Bukankah aku sudah bilang, kalau Aliqa ini bisa diajak kerjasama dalam hal apa pun? Serius, a-p-a-p-u-n. "Well, well, well, Tante jangan nangis. Aduh, aku lagi PMS nih, masa-masa rawan. Jadi cengeng juga." Aliqa memeluk bunda. Kulihat jemarinya mengelus punggung pelan. "Ceritain sama Aliqa. Tante kenapa? Bang Gala kenapa? Aliqa udah dekat lho sama Bang Gala. Beberapa kali dia ambil foto Aliqa dan hasilnya---" Aku menoyor kepalanya, kemudian berbisik. "Fokus, bego." Dan, tahu apa yang mengejutkan? Saat kupikir Aliqa akan memperburuk suasana, yang terjadi justru sebaliknya! Aku dibuat menganga karena detik berikutnya, yang kudengar hanyalah bagaimana bunda bercerita. Dan, apa itu tadi? Istri muda? Sebentar, sebentar, aku pasti salah dengar. Terbukti, Aliqa kini menatapku dengan tatapan penuh pertantanyaan semacam lo-tahu-maksudnya? "Jadi menurut kalian, Bunda harus gimana?" Aku masih tak habis pikir. Aku masih belum paham. Aku masih.... "Jadi, Bang Gala pergi dari semalam?" "Iya. Setelah dia nggak sengaja liat boneka besar, rumah barbie dan sepatu punya Gigi di ruang tamu. Mau nggak mau, kami harus cerita karena Gala nggak mungkin bisa dibohongi lagi." Ini ... sungguh kejutan terhebat di pagi hari. "Kemarin sore, Gala bilang dia nggak akan pulang karena ada urusan penting. Itu kenapa ayah Dirga nggak perlu sembunyiin barang di bagasi." "Dan sekarang Om Dirga ke mana?" "Langsung Ke Bandung. Dia nggak mungkin tetap di sini sementara hari ini Gigi ulang tahun." "Omaga." Dengan dramatis, Aliqa menutup mulutnya rapat. "Tante, aku ... aku nggak paham. Maksudku adalah, ini pasti menyakitkan. Tahu kalau ayah kita punya istri dan anak lain saat usia kita sudah dewasa, itu ... kejam." Aku sudah nggak mendengar lagi perbincangan mereka berdua yang sibuk menganalisis apa yang terjadi. Sebab yang terlintas di otakku saat ini adalah ... di mana sahabat dari masa kecilku? Kenapa dia nggak datang untuk meminta pertolongan?   ***   Pengabdi Rokok Hai, Sweetie.        Sori baru bales, tadi batre abis hehehe. Jan tanya di mana ya. Ini area cowok Aku yakin PMS-nya Aliqa menular. Aku tahu itu. Karena nggak mungkin kan aku menangis hanya karena membaca pesan bodohnya? Entahlah. Yang sekarang ada di bayanganku adalah ... bagaimana muka jenakanya berusaha tetap ia tampilkan, tetapi aku melihat ada setitik air di sudut matanya. Gimana perjanjiannya sama Cakra? Gue batalin. KENAPA?! eh alhamdulillah sih. Dibilangin ngeyel. Karena lo b**o. Lo di mana? Main, sayang. JANGAN BERSIKAP KAYAK BOCAH TOLOL DEH, GAL! Gue tau lo udah t***l dari sananya, tapi kali ini lo dengerin gue. Bilang sekarang lo di mana.   :) Gue kasih lima menit. Kalau sampe nggak bilang, jangan temuin gue lagi.   Dia kira enak menjadi sahabat yang nggak bisa melakukan apa pun untuk sahabatnya? Aku ingin di dekatnya. Ingin memeluknya. Mendegarkan semua ceritanya. Aku tahu dia butuh itu.   Gue numpang di apartemen temen. Gue lupa nggak bawa dompet.   Share location! Setelah mendapatkan apa yang kumau. Aku berteriak agar Aliqa lekas bergegas ke garasi. Dan, untuk kali pertama, aku mengabaikan teriakan Mama yang sibuk bertanya. Tenang, Ma, anakmu sedang dalam misi sosialnya. "Gue yang nyetir, Mbak. Elo lagi kalut begitu, gue nggak mau mati muda." Aku mengangguk. Perjalanan terasa sangat lama. Aku bahkan nggak berhenti menggerutui mobil-mobil di depan kami padahal jelas mereka nggak salah. "Tenang, Mbak. Tenang. Bang Gala nggak mungkin bunuh---" "Tapi dia pasti sedih banget, Al! Elo bayangin aja ada di posisi dia. Mas Reza tetiba ketauan punya anak dari istri lain. Apa yang bakal---" "Allahuakbar! Amit-amit jabang bayi, Mbak. ih!" "Makanya lo diem!" "Iya!" Dan, untuk kali pertama juga, Aliqa benar-benar menuruti perintahku. Seandainya dia bisa begini di setiap saat, aku akan mengklaim bahwa dia adalah keponakan terbaik sepanjang masa. Namun, sayang sekali, semuanya hanya pada kondisi tertentu. Mungkin ini akan menjadi satu-satunya .... "Sampai, Mbak." Setelah mengabari Gala, aku keluar mobil dan membiarkan Aliqa tetap di dalamnya.  Untung saja apartemen temannya Gala ini menengah ke bawah, jadi nggak perlu---Tuhan, lihat dong. Betapa sahabatku sangat rendah hati mau berteman dengan siapa pun! Dia memang akan begitu. Selalu beg.... "Wa." Itu dia! Berjalan dari lift dan mendekatiku yang masih berdiri di samping mobil di parkiran. Tak kuasa menahan haru-apa pun-itu, aku langsung memeluknya. "b**o. Kenapa nggak bilang sama gue sih. Elo tau lo nggak sepinter itu, Gal, jadi jangan belagu dengan menyelesaikan semuanya sendirian. Gue pasti lebih jago." Adalah tawanya yang malah kudengar. "Elo ngomong apa sih? Salah makan ya?" "Serius, Gal?" Aku menatapnya tak percaya. Apa hanya segini nilai persahabatan kami di matanya? "Elo masih mau bersikap kayak nggak ada apa-apa?" "Emangnya ada apa sih, Swee---" "Berhenti pura-pura! Gue tau mata lo berair. Gue bisa rasain bedanya pelukan lo barusan yang seolah lo butuh gue banget. Gue bisa bedain tawa lo yang pura-pura. Gala, demi Allah kita kenal udah nggak keitung jam." Dia diam kan? Karena aku benar! "Atau, emang lo anggap gue cuma segini? Gue emang suka jahat sama lo. Tapi harusnya lo tahu, nggak pernah sedikit pun, gue pengin lo kenapa-napa, Gal. Gue peduli---" "Elo nggak tau rasanya, Wa." "Kalau gitu kasih tau gue!" "Elo nggak akan tau rasanya! Elo nggak akan tau, Wa. Gimana lo hidup dengan semua keharmonisan, dan tiba-tiba semuanya jadi kacau! Lo nggak tau gimana gue membanggakan bokap sebagai super hero dan ternyata dia juga b******n! Lo nggak akan tau seberapa besar keinginan gue buat jadi sepertinya tapi gue dihadapkan kayak gini. Lo nggak akan tau, Wa. Bokap gue ke luar kota, yang gue kira emang urusan kerjaan nggak akan pernah sepele, nyatanya apa?" Dia tertawa satir. "Nyatanya dia ke rumah bini barunya! Punya anak, Wa. Dia punya anak lagi! Dan, Bunda bertahan dengan embel-embel nggak mau gue rusak lalu kenapa dia bilang sekarang?! Karena gue udah dewasa? Gue nggak pernah dewasa dalam hal kayak gini, Wa. Lo nggak akan tau." Aku mengangguk. Mundur selangkah. Dan, ternyata aku memang benar. Hanya dihargai seperti inilah rasa sayangku untuknya. "Lo bener. Gue nggak akan pernah tau. Nggak akan pernah tau rasanya mengidolakan sosok ayah. Nggak pernah tau, gimana kita anggap ayah sebagai problem solver. Gue nggak akan tau karena gue nggak pernah hidup bareng dia. "Wa...." "Yang gue tau, Papa orang baik itu kenapa Tuhan pengin cepet-cepet ketemu dia. Mama bilang itu. Mbak Ghina bilang itu. Dan mas Reza juga." "Wa, maksud gue."           Aku tersenyum. "Jadi gue memang nggak akan paham gimana rasanya." Lalu beranjak pergi. "Wa!" Tangannya mengenggam lenganku. Aku mulai jijik. Dia menyebalkan. "Gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue cuma, gue cuma---" "Cuma nggak rela kalau hidup lo yang sempurna nyatanya juga cacat?!" Dia nyebelin. Aku benci. "Elo egois, Gal. Egois banget. Elo anggap semua tentang lo itu sempurna, jadi ketika ada satu kesalahan kecil, lo berontak kayak orang t***l. Lo lupa fakta, gimana kadang gue penasaran bisa peluk fisik Papa. Lo lupa fakta, bahwa di luaran sana, berjuta anak yang nggak seberuntung lo. Sementata lo apa? Lo masih bisa cari dia kalau lo butuh! Lo masih bisa melakukan apa yang lo mau sama Ayah! Yang beda cuma karena mereka, Ayah-Bunda lo itu punya masalah ala dewasa yang nggak akan kita paham. Dan, bodohnya, lo langsung bertingkah menjijikkan kayak gini." "Gue cuma...." "Cuma apa? Cuma nggak pengin hidup lo nggak sempurna?" "Gue cuma takut, kalau idola gue buat menjadi lelaki yang bertanggung jawab ternyata cacat, gue juga akan melakukan hal yang sama." "t***l itu namanya!" "Bener. Dan, kalau ternyata, gue nanti nggak bisa menjadi suami dan ayah yang baik, lo masih bisa nerima?" "Elo anggap gue apa sih, Gal?! Selama ini pernah nggak sekali aja gue nggak nerima lo? Karena lo sahabat gue, jadi sampai kapan pun, lo akan selalu keren di mata gue." "Bu---"      "Gue kecewa sama lo." Aku berlari, masuk kembali ke dalam mobil, mengabaikan panggilannya. "Jangan tanya gue kenapa, Al. Gue mau nelen orang." "Gue cuma berdoa kok, Mbak, semoga Allah menjodohkan kalian berdua." Bullshit dari mana lagi itu, Tuhan.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN