Chapter 8 - Pindah

1741 Kata
Serena pagi-pagi sekali di kabari jika dia diterima bekerja, itu kabar yang paling membahagiakan untuknya. Dia bahkan tidak berhenti tersenyum setelah menerima panggilan telepon itu. Dia bahagia sekali sampai langsung mengabari kedua orangtuanya. Walaupun ibunya terlihat tidak rela, dia tetap menyambut kabar itu dengan suka cita. Mereka membahasnya hingga siang hari ketika makan siang. “Alhamdulillah sekarang kamu sudah dapat kerja. Jadi, sekarang mau pindah lagi ke Jakarta?” tanya ayahnya. Serena mengangguk cepat, “Tapi, Serena bakal sering kesini. Sekarang jam kerjanya lebih singkat dari pada dulu. Mungkin setiap weekend Serena bisa pulang.” “Nah, anaknya bisa pulang setiap minggu Ma. Sudah jangan sedih-sedih lagi.” ucap Ayahnya. Serena juga membujuk ibunya agar dia diperbolehkan pindah. Walaupun akan tinggal sendiri, di sana dia tidak sepi karena waktunya akan habis digunakan untuk istirahat karena lelah setelah bekerja. Di hari yang sama, dia langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam koper karena dia dia akan bekerja tiga hari lagi. Serena beres-beres di bantu oleh ibunya yang sudah mencoba melepaskannya kembali ke ibu kota. Serena memeluk ibunya dari belakang, “Makasih Ma.” “Kamu baik-baik disana ya, jangan pergi ke tempat aneh-aneh.” pesan Mamanya. Serena mengangguk, “Iya, Ma Rena nggak bakal aneh-aneh.” Kedua orangtunaya mengantar sampai rumahnya yang ada di Jakarta karena tidak mau berpisah dengannya. Mereka membawa dua buah mobil untuk pergi karena Serena memiliki mobil pribadi yang akan dia pakai selama bekerja. Ternyata rumahnya itu sangat kotor dan penuh debu karena lama tidak ditinggali. Akhirnya mereka membersihkannya terlebih dahulu, kedua orangtuanya juga memutuskan untuk tinggal lebih lama. Serena membeli beberapa perabotan baru yang di makan tikus. Mereka membersihkan seharian, sekarang rumah itu tampak sangat bersih dan layak huni. Serena duduk di sofa, dia merebahkan tubuhnya yang pegal karena bersih-bersih. Mereka terpaksa memesan makanan cepat saji karena dia sudah tidak ada tenaga untuk memasak. “Nanti kalau sendiri, kamu harus rajin-rajin bersihin rumah. Pakaian juga jangan di tumpuk banyak nanti habis terus nggak punya pakaian lagi buat di pakai.” Serena mengangguk, itu kebiasaan buruk yang harus dia hilangkan karena beberapa kali dia kehabisan pakaian dan terpaksa membeli baru karena belum di cuci. “Iya, Ma. Nanti aku lebih rajin lagi.” jawabnya singkat. Dia sedang berdiri sembari mencuci piring di wastafel, makan siang yang merangkap makan malam sudah selesai. Sekarang saatnya beristirahat, Serena menyalakan tv di ruang tengah, dia sudah membayar tagihan listrik dan siaran tv berbayar agar rumah lebih ramai. Serena membiarkan kedua orangtuanya beristirahat di ruang tengah karena mereka memang suka menonton tv bersama. Dia sendiri masuk ke kamar, membersihkan kamarnya karena tadi belum selesai. Serena menata pakaiannya, berbeda dari mencuci. Dia sangat rapih ketika menata pakaian. Membedakan jenis kain dan warna baju. Dia memisahkan baju di rak-rak yang berbeda berdasarkan beberapa kategori dan itu membuatnya mudah mencari baju. “Ah, akhirnya selesai.” Gumamnya sembari mengusap kening yang dipenuhi keringat. Padahal dia sudah menyalakan pendingin ruangan tetapi tetap saja panas. Dia duduk di dekat koper lalu menutup dan memasukkannya ke dalam lemari. Serena keluar dan melihat kedua orangtuanya sudah tertidur pulas di ruang tengah. Beruntung sofa yang ada diruang tengahnya berbentuk seperti tempat tidur. Serena menurunkan sedikit pendingin udara lalu memberikan mereka selimut dan mematikan tv serta lampu. Dia mengecek pintu dan jendela lalu mengunci semua sebelum masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Serena melihat ponselnya setelah seharian, ternyata dia sudah di masukkan ke dalam group chat. Serena membaca pesan yang menyambut dirinya sebagai anggota baru. Dia membalas pesan mereka satu pesatu dengan ramah sampai ketiduran. … Agam sedang berjalan di bawah rindangnya pohon. Langkahnya perlahan-lahan tapi pasti. Dia melihat setiap pergerakan anggotanya yang juga berjalan menyusup sepertinya. Mereka hanya bisa mengandalkan cahaya bulan sebagai penerangan. Tidak bisa menyalakan senter membuat mereka kesusahan tetapi mereka sudah terlatih melihat dalam malam dengan keterbatasan cahaya. Pencarian mereka baru saja dimulai ketika bulan ada di atas kepala, bukan karena mereka menunggu cahaya bulan tetapi mereka menunggu tengah malam untuk menyergap agar tidak terlihat. “Kapt, ada pergerakan seratus meter dari sini di arah barat daya.” Agam langsung menoleh, dia menyipitkan matanya lalu memasang teropong, setelah beberapa detik melihat dia melepas kembali teropongnya. “Itu, hanya seekor rusa! Fokuslah!” jawab Agam. Setelah itu keheningan menyelimuti mereka. Beberapa kali hanya terdengar suara daun kering yang diinjak tetapi suaranya samar-samar karena meringankan langkah. Agam mengangkat tangannya, seluruh anggotanya langsung berdiam dan tidak bergerak. Dia melihat bayangan bergerak, Agam memfokuskan penglihatannya dan ketika bayangan itu bergerak seperti manusia. “Bergerak! Maju!” perintahnya dengan suara lantang. Seketika kesunyian hutan itu berubah, suara penuh langkah kaki bergerak cepat dan suara rentetan tembakan menggema di dalam hutan membua burung terkaget dan terbang menjauh. Agam menyapkan senjatanya, dia mengamati hutan itu dengan pandangan waspada. Dia menghindar ketika peluru hampir saja mengenai jantungnya. Dia melebarkan mata ketika melihat salah satu anggotanya sendiri yang menembaknya. Dia langsung memakai pistol kejut dan langsung menyetrum hingga tidak sadarkan diri. Agam berjalan mendekat. Ini yang dia curigai sejak tadi, entah karena pelatihnya bodoh atau apa tetapi dia tidak bisa membaca situasi dengan baik. “Tunggu disini.” Ucapnya sembari mengeluarkan borgol dan mengunci kedua tangan dan kakinya. Beberapa anggotanya yang lain hanya melirik dan mengamatinya sebelum pergi mengejar orang yang mereka cari. Agam menyusul dari belakang, suara tembak menembak tidak bisa terelakkan lagi, dia bisa melihat percikan api dari moncong pistol. Ternyata banyak orang di dalam hutan itu dan sudah menungu mereka sejak tadi, entah siapa yang membocorkan informasi tetapi mereka sudah jauh dari siap untuk melawan. “Jangan perhatikan mereka, cari pemimpinnya. Fokus kepada orang yang kita cari. Jangan sakiti mereka!” ucap Agam melalui sambungan walkie-talkie. “Siap, Kapt!” Agam mengambil posisi sendiri, dia mengamati dan ternyata mereka hanya melawan beberapa orang berbaju biasa. Mungkin mereka warga sipil yang tidak tahu apa urusannya dengan mereka. Tetapi melihat mereka memilikis senjata api, itu berarti kepemilikan senjata ilegal. Agam segera meminta bantuan dari polisi setempat untuk mengamankan mereka. Agam sendiri mengejar target mereka. Ternyata hutan ini sedikit membingungkan. Pohon-pohonnya terletak sedikit acak membuat mereka bisa kehilangan arah. “Kapt, kami kehilangan jejak mereka.” Agam menggeam sendiri mendengar laporan anggotanya, “Dia berhenti berjalan lalu melihat sekeliling. Ketika dia melihat sebuah moncong pistol yang terkena cahaya bulan dia langsung menghindar dan bersembunyi di balik pohon. “Target ada di arah jam satu!” Lagi-lagi mereka terlibat adu tembakan. Agam membidik salah satu penembak yang melihat mereka. Tembakannnya tepat mengenai lengan membuat mereka bisa sedikit leluasa bererak tanpa takut terkena timah panas peluru. “Maju!” Agam pertama yang bergerak, dia menembak dengan sangat cepat ke arah beberapa orang yang ada di depannya, dia memutuskan untuk mengambil arah memutar agar bisa mengendap-endap menuju ke arah belakang musuh. Ternyata da sepuluh orang yang sedang berjaga. Dia menembakkan satu persatu peluru ke daerah yang tidak terlalu vital tetapi bisa melumpuhkan mereka dan ketika keberadaannya di ketahui dia langsung di sambut dengan tembakan dari segala penjuru arah. Agam langsung bergerak dan bersembunyi di balik pohon. Tersisa dua orang penembak dan seorang target mereka yang masih berusaha membidiknya. Ketika dalam posisi terjepit, buronan itu langsung berlari memasuki hutan. Dia tidak bisa tinggal diam dan langsung mengejarnya. Agam berlari dengan cepat untuk menangkap orang itu tetapi suara tembakan menggema dan mengarah kepadanya. “Sial!” Dia berusaha menghindari semua peluru itu tetapi beberapa ada yang berhasil mengenainya dan membuat bahu serta lengannya tergores peluru. Agam mengetatkan rahang lalu mencoba membidik, dia berhasil menembak salah satu kaki dan langsung membuatnya terjungkal. Agam menerjangnya dari belakang, mereka terlibat pergulatan sengit. Tubuh pria buronan itu ternyata sangat terlatih dan kekar membuatnya sangat sulit menangkapnya. Mereka berguling-guling di dedaunan kering, sesekali memberikan bogem mentah. Agam mengeluarkan semua tenaganya, dia bersusah payah karena tubuhnya remuk di pukul oleh orang itu. “Menyerahlah!” Orang itu tertawa, suara tawanya membahana membuat hutan itu terasa menyeramkan. “Dalam mimpimu! Lebih baik aku mati dari pada kembali setelah hidup di hutan bertahun-tahun.” “Masuklah kedalam penjara!” Agam membreikan pukulan terakhirnya tepat di pipi kiri membuat kesadaran pria itu lenyep seketika. Kondisinya sudah payah, darah keluar dari bibir dan juga mulutnya karena terlibat perkelahian sengit. “Akhirnya.” Agam memborgolnya buronan itu di batang pohon yang kokoh serta memborgol kedua kakinya agar tidak bisa kemana-mana. Sekarang sudah hampir pagi, dia bisa melihat semburat matahari yang akan terbit. Agam menyandarkan tubuhnya di pohon, dia sangat lelah. Medan yang mereka lalui untuk memasuki hutan sangatlah berbahaya. “Kapt! Bagaimana dengan Adi, apa kita harus memborgolnya terus?” tanya seorang kepadanya. Agam menatapnya tajam, “Kamu tidak melihat dia berusaha menembakku, menembak kalian? Apa yang harus dilakukan untuk polisi sepertinya? Membiarkannya bebas?” “Maaf Kapt!” Agam memutuskan beristirahat sebentar sebelummembawa mereka ke Jakarta. Dia menghitung jumlah orang dan sudah memeriksa jika mereka tidak berniat melawan. Akhirnya mereka pulang dengan menggunakan pesawat yang digunakan ke tempat ini kemarin. “Kau akan menyesal membawaku. Lihat anak itu, mungkin dia akan naik jabatan setelah ini dan di bebaskan.” Ucap pria itu. Agam mendengkus dan membiarkannya berbicara sendiri, dia ingin beristirahat. “Aku memiliki banyak orang yang bisa saja membebaskanku hanya dengan satu panggilan. Mau mencobanya?” Dia kembali mengabaikannya, pria yang di panggil Gogon itu mendengkus sebal. “Pilihlah nak, kau harus memilih antara menjadi pengangguran atau naik jabatan dan melepaskanku disini sekarang.” “Diamlah! Masih lama sampai dijakarta jadi simpan tenagamu.” Jawab Agam. “Dasar kurang ajar! Lihat saja, setelah kita turun dari pesawat aku akan membunuhmu!” Agam memilih untuk menyandarkan punggungnya lalu menyanggah kepalanya dengan tangan dan memejamkan mata. Dia mendengar semua pembicaraan, hari ini dia sudah muak mendengar permintamaafan salah satu anggotanya yang berkhianat. Tetapi, tidak ada yang bisa mengganggu keputusannya. Mereka harus ke Jakarta untuk di proses sesuai aturan yang berkalu. … Agam mandi di bawha pancuran air, dia sedang berada di kantor pusat kepolisian. Pagi tadi, mereka tiba dan di antar dengan pengawalan ketat. Dia sendiri yang membawa dan memperlihatkan buronan itu kepada media. Tugasnya sudah terpenuhi, sekarang tinggal apakah semua orang akan menjalankan tugas sesuai janjinya kepada negara. Agam sangat tahu jika burornan itu memang sebuah kotak Pandora yang bisa membuka rahasia banyak orang. Tetapi tetap saja dia harus di tangkap tanpa memperdulikan apapun. Dia akan mengawasi sampai semua orang mendapatkan hukuman yang setimpal. Setelah membersihkan diri, dia pergi ke klinik untuk mengobati lukanya. Agam mendapat beberapa jahitan lagi sebelum bisa pulang ke rumah. Agam memutuskan beristirahat sehari di rumahnya sebelum pergi untuk mengambil Sivia. Dia tidak ingin Syifa melihatnya dengan kondisi yang sangat berantakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN