Sementara itu, Mika masih belum putus asa dan kembali membuatkan makan malam untuk Yoshiki. Ia sendiri tidak tahu jam berapa pria itu pulang kerja. Mika menunggu Yoshiki pulang di meja makan sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Hingga tanpa sadar ia tertidur kelelahan menunggu Yoshiki pulang.
Yoshiki berjalan memasuki bar bersama Kazu. Di belakangnya beberapa karyawan wanita mengikutinya dengan antusias. Yoshiki merasa jengah dengan kondisi seperti itu tapi ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat Mika. Kenapa rasanya seperti aku yang terusir dari rumahku sendiri ??? gerutunya dalam hati.
Yoshiki duduk di sudut bar dengan beberapa pria rekan kerjanya. Walaupun para wanita memanggilnya untuk duduk di tengah mereka, Yoshiki mengacuhkannya begitu saja.
“Kau mau minum apa, Yoshiki ?” tanya Kazu sambil melepas jasnya.
“Tidak, aku pass.” jawab Yoshiki sambil melipat kedua tangannya di d**a dan menonton dengan bosan para rekan kerjanya yang sibuk menyanyi ria.
Kazu hanya menggeleng-geleng melihat Yoshiki dan ia tahu sahabatnya itu hanya datang untuk menghindari sesuatu. Tapi, ia tidak bertanya apa yang dihindari oleh Yoshiki melihat mood-nya yang tidak begitu baik.
Yoshiki benar-benar tidak bisa melonggarkan kewaspadaannya selama berada di bar. Para karyawan wanita itu terus saja mendekatinya dan menawarkannya minuman. Otomatis Yoshiki menolak semuanya karena ia tahu minuman yang diberikan mereka pasti sudah dicampur dengan alkohol atau obat-obatan yang mungkin bisa membuatnya hilang kesadaran.
Saat ia mulai merasa jengkel dengan tawaran minuman itu, para rekan kerja pria yang ikut bersamanya menarik lengannya untuk mengajaknya bernyanyi di sana. Yoshiki menolak dengan halus karena ia tidak ingin melakukannya sama sekali. Tapi, dua hingga tiga orang pria terus membujuknya untuk bernyanyi.
Dengan menghela napas, Yoshiki melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Yoshiki langsung mengambil tas dan jasnya. Ia berdiri dan menunduk sedikit untuk pamit pada mereka yang kebingungan melihat Yoshiki pulang begitu cepat. Pria itu hanya menepuk lengan Kazu untuk memberitahu kepulangannya. Sahabatnya mengangguk dan paham dengan situasi yang dihadapi Yoshiki. Pada dasarnya Yoshiki tidak menyukai hal-hal seperti ini dan pemaksaan yang dilakukan para rekan kerjanya tentu saja membuatnya sebal.
Yoshiki melajukan mobilnya dan berhenti pada salah satu restoran siap saji untuk membeli burger. Ia memilih untuk makan di dalam mobil sambil menyetir.
Bahkan dengan sengaja, pria itu menyetir mengelilingi kota itu hanya untuk membuang-buang waktu saja sebelum pulang ke rumah. Tubuhnya sangat lelah tapi keinginannya untuk menghindari Mika lebih besar.
Sesampainya di rumah, ia melihat Mika tertidur di meja makan dengan beberapa buku masih terbuka serta sebuah mangkuk berisi makanan yang ditutup dengan plastik kaca.
Yoshiki tahu Mika pasti menyiapkan makan malam untuknya seperti kemarin malam. Tapi, ia tidak berniat untuk menyentuhnya sama sekali. Ia langsung melangkah melewati Mika begitu saja.
Saat langkah kakinya menaiki tangga, Mika tersentak terbangun dan menyadari bahwa Yoshiki telah pulang. Namun, dilihatnya makan malam yang disiapkannya tetap saja tidak tersentuh sedikitpun. Dengan muram, Mika hanya bisa membereskan makan malam itu.
***
Yoshiki benar-benar mengacuhkan Mika semenjak Mika pindah ke rumahnya. Setiap kali Mika menegurnya, ia akan pura-pura tidak mendengarnya dan langsung membuang muka. Bahkan setiap hari Yoshiki selalu pulang larut malam untuk menghindari melihat Mika walaupun saat ia tiba di rumah ia selalu melihat Mika tertidur di meja makan dengan sepiring makan malam untuknya.
Kali ini Yoshiki memilih untuk duduk di bar lounge demi menghindari paksaan teman-teman prianya untuk bernyanyi. Kazu menemaninya sambil meneguk segelas whiskey dan melirik Yoshiki yang tidak minum apa-apa seperti biasa.
“Aku bingung kenapa kau selalu ikut kesini kalau kau bahkan tidak mau minum ataupun bersenang-senang ? Apa kau sedang menghindari sesuatu ?” tanya Kazu akhirnya. Ia benar-benar penasaran setelah seminggu lebih Yoshiki selalu ke bar dengannya.
Yoshiki mendengus sambil tersenyum pahit. Ia mengangguk kecil dan hanya memandang ponselnya mencari apa yang bisa dimainkannya.
“Siapa yang kau hindari ? Tunangan barumu ?” tebak Kazu lagi.
“Hm, ya... aku malas pulang ke rumah dan melihatnya. Dia menyebalkan sekali bagiku.” jawab Yoshiki akhirnya. Mata Kazu langsung membesar mendengarnya.
“Dia tinggal serumah denganmu ???” kaget Kazu. Yoshiki mengangguk sambil menghela napas kembali.
“Ibuku menyuruhnya untuk tinggal di rumahku. Katanya itu untuk pemahaman kami. Hah... tapi, tetap saja tidak ada yang bisa kupahami darinya karena aku tidak suka melihatnya sama sekali.” keluh Yoshiki.
“Astaga Yoshiki... memangnya mau sampai kapan kau menghindarinya ? Kau juga di sini cuma duduk melamun. Semua ajakan wanita itu kau tolak. Setidaknya kalau mau menolak mereka, kau pakai cincin tunanganmu.” kata Kazu melirik tangan Yoshiki yang tidak mengenakan cincin itu sama sekali.
Yoshiki memandang tangannya sendiri yang tidak memakai cincin mereka. Ya, sejak pertunangannya Yoshiki tidak pernah memakai cincin itu dan bahkan langsung melepasnya saat mereka pulang dari restoran.
“Untuk apa aku pakai barang semacam itu !” kesalnya lagi dan Yoshiki langsung beranjak meninggalkan bar untuk pulang ke rumah.
***
Tiga bulan sudah berlalu dengan Yoshiki yang masih saja mengacuhkan Mika. Ia masih saja uring-uringan setiap kali melihat Mika yang berusaha untuk menyapanya.
Tanpa menerima sarapan dari Mika lagi, Yoshiki langsung masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin.
Ia mencoba menghidupkan mesin mobilnya beberapa kali, tapi tidak bisa menyala. Yoshiki keluar dan membuka penutup depan mobilnya. Asap langsung mengepul hingga membuatnya terbatuk-batuk.
Ah, sial ! Mobilku mogok ! gerutu Yoshiki dalam hati sambil membanting penutup depan mesin mobilnya. Ia melirik jam tangannya dan membelalak saat menyadari ia hampir terlambat.
Setelah menelepon bengkel untuk memperbaiki mobilnya, Yoshiki segera berlari mencari taksi tapi tidak ada taksi yang melintas di daerah itu. Dengan cepat ia langsung berlari menuju halte bus terdekat.
Tapi, nasib buruk sedang menghampiri Yoshiki. Sesampainya ia di halte bus, keberangkatan untuk pagi itu baru saja pergi hingga membuat Yoshiki semakin kesal. Mau tak mau ia harus berlari ke stasiun lain dengan waktu keberangkatan 10 menit lagi.
Dengan napas tersengal-sengal, Yoshiki sampai di halte bus setelah berusaha mengejar bus yang hampir berangkat lagi. Ia melonggarkan dasinya dan mengusap keringatnya yang menetes dari keningnya. Rasanya belum sampai ke kantor saja, Yoshiki sudah merasa cukup lelah.
Yoshiki tahu ia terlambat dan pasrah saja. Dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya dan menarik napas panjang. Ia melirik meja kerjanya dan kembali menghela napas saat mendapati setumpuk dokumen yang harus dikerjakannya hari ini.
Yoshiki bahkan tidak sempat untuk sarapan karena melihat tumpukan dokumen itu. Ia tenggelam dalam pekerjaannya tanpa menyadari banyak karyawan yang telah pulang.
Kazu menghampirinya saat matahari telah tenggelam. Yoshiki masih sibuk mengerjakan laporannya tanpa sadar ada yang berdiri di depannya.
“Yoshiki, kau mau ikut ke bar lagi malam ini ?” tegurnya hingga Yoshiki tersentak dan mendongak ke arahnya.
Yoshiki melirik jam tangannya, “Oh, astaga. Sudah waktunya pulang ya ? Ah, tidak Kazu. Aku mau pulang saja hari ini. Aku baru ingat aku harus mengejar bus malam, mobilku mogok dan bus terakhir... jam 8.30 ??? Aku hampir terlambat !” seru Yoshiki saat memeriksa daftar keberangkatan bus.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.25 malam hingga Yoshiki langsung membereskan meja dan mengambil tas serta jasnya secepat mungkin. Yoshiki langsung berlari secepatnya menuju halte bus.
“Astaga kenapa dia buru-buru sekali ? Padahal aku mau menawarinya tumpangan untuk pulang.” Kazu menggeleng-geleng melihat Yoshiki yang langsung menghilang secepat kilat.