1. Putus VS Jadian

2744 Kata
Satu tahun lalu …  “Gue suka sama lo.” Dengan percaya diri tinggi dan segenggam keyakinan dia berani bilang, “Gue mau jadi cewek lo … lo mau kan jadi sebaliknya?” Seiring perkembangan zaman, dengan bekal persamaan gender yang dia genggam, Rahi Dinata memupuk keberanian. Jujur, sejak lama dia sudah menyimpan rasa kepada mahasiswa tampan yang merupakan alumni sekolahnya secara diam-diam, hingga di masa sekarang dia menyuarakan perasaan dan hasrat ingin berkencannya. Rahi benar-benar menyukai seorang Willis Wiliam. Sementara si kembaran bungsunya EXO itu setia dalam diam. Willis terpasung dalam bungkam, tatapannya tidak lepas dari manik Rahi yang terpancar sinar harapan. Sementara Rahi merona dengan d**a bergemuruh mesra, Willis justru tidak terbaca. “Wil?” tanpa dibarengi embel-embel ‘kakak’ sebagai pembeda usia mereka. Sejauh ini Rahi takut kecewa, tapi dia lebih takut menyesal kalau tiba-tiba dapat kabar orang yang dia suka sudah ada pasangan dan tidak ada kesempatan baginya untuk mengutarakan perasaan. Setelah sekian lama cinta sendirian dia rasakan, sampai Rahi muak dan ingin segera ditumpahkan. Rahi pikir, diterima atau tidak itu urusan nanti yang penting bilang saja dulu supaya lega. Meski risiko sakit hati jelas terlihat jika ditolak, tapi ganjarannya sebanding dengan jawaban … “Oke, kita pacaran.”  … perasaan yang terbalaskan. Rahi mengerjap. Apa dia sedang berimajinasi hingga timbul halusinasi? Di depannya Willis mengangguk. “Aku mau jadi cowok kamu.” Cewek yang tidak suka membuang kesempatan itu mengeluarkan senyuman. Agaknya Rahi tidak percaya, semudah itukah Willis setuju dengan ajakannya? Dia sampai menebak-nebak kalau sejak lama Willis memang sudah mengincarnya. “Jadi sekarang manggilnya aku-kamu, nih?” tanya Rahi malu-malu meong. Tubuhnya tidak mau diam karena kesenangan. Pria dengan kemeja biru tua itu pun mengangguk ringan, raut Willis yang terkenal sedatar papan pun mensponsori hari jadian mereka. “Ya ampun, aku seneng banget!” Sementara Rahi jingkrak-jingkrak, Willis justru tidak bergerak. Sementara Rahi tersenyum, tertawa, dan ceria, Willis justru terlihat … biasa saja. Kesannya seperti itu, seperti hanya Rahi saja yang jatuh cinta. Wajar sih…. Dari awal pertemuan, pengutaraan perasaan, ajakan pacaran, semuanya memang serba sepihak, kan? Jadi, tidak apa-apa. Rahi merupakan salah satu gadis yang percaya pada pepatah tentang: cinta datang karena terbiasa. Meskipun sempat yakin kalau Willis sudah mengincarnya sejak lama. *** Di masa sekarang, begitu Rahi lulus SMA dan memasuki kampus yang sama dengan kekasihnya. Willis dan Rahi merupakan dua manusia yang bertolak belakang dari berbagai sisi. Karakter mereka seperti dua musim berbeda, jika Rahi adalah summer, maka Willis saljunya. Ketika Rahi begitu mudah mengekspresikan perasaannya, Willis justru setia pada satu reaksi mimiknya. Willis terlalu datar untuk Rahi yang gerinjul-gerinjul tekstur hidupnya. Rahi terlalu cerah untuk Willis yang suram. Rahi dan Willis saking kontrasnya sampai dianggap saling melengkapi oleh kawanan Willis sendiri. “Ternyata bener, ya, cowok pasif tuh klopnya sama cewek aktif?” celetuk Leon. Key mengangguk setuju. Mereka sedang memandangi pasangan yang baru terkuak di kampus dan dalam sekejap langsung viral, padahal jadiannya sudah satu tahun yang lalu. Benar-benar menjadi trending topik. Bagaimana tidak? Yang satu primadona jurusan hukum semester awal, sementara yang satunya lagi most wanted kampus nomor wahid, ditambah gosip terfaktual yang menyebar pesat di lingkungan mereka bahwa si cowok baru saja putus dua hari lalu dengan princess-nya kedokteran namun di dua hari berikutnya pihak cowok jadian dengan cewek lain, secara otomatis Rahi Dinata dicap sebagai perusak hubungan orang. “Yang lebih benernya lagi, cowok ganteng ya pasangannya pasti sama cewek cantik.” “Kata siapa?” sergah Lei tidak sepaham, dia menatap Key sambil lanjutkan, “banyak kok cowok ganteng pasangannya sama yang ganteng lagi.” Mereka terkekeh, tidak ada yang mau mengindahkan omongan Lei. Sampai pada Kenzo yang berucap, “Kata Dosen gue, kalau si cowok pendiem terus ceweknya cerewet, itu mereka kalau nikah pasti anaknya banyak.” “Terus maksud lo, semisal dua-duanya cerewet pasti anaknya dikit? Kalau yang cowok cerewet dan ceweknya pendiem itu anaknya gak banyak? Gimana kalau dua-duanya pendiem, gak bakal beranak gitu karena sama-sama gak ada yang mulai?” seloroh Key yang otaknya langsung 5G jika urusan cewek dilibatkan dengan cowok lalu jadilah anak. Leon mengerling jengah. “Ya udah sih, lihat aja nanti kalau Willis sama Rahi jodoh, mereka langgeng sampai nikah, terus kita pantau tuh ada berapa anaknya.” “Halah, paling bentaran lagi juga mereka putus.” Kenzo menunjuk sosok Rahi dan Willis yang saat ini ada di parkiran kampus. “Gak lihat tuh mereka baru kemarin jadian tapi sekarang udah ngambek-ngambekkan?” “Kemarin dari Hongkong! Lo gak tahu, ya, setahun lalu mereka udah jadian keleuss...” Kenzo menatap Leon disertai kalimatnya, “Kok gue baru tahu?” Lei berdecak, “Lo terlalu sibuk memperbanyak mantan, makanya temen sendiri ngasih pajak jadian juga elo lewatkan, jadi gak tahu apa-apa, kan? Apalagi Willis pendiem, kita juga udah lama gak ngobrolin mereka.” Key bersedekap dan menyipitkan matanya begitu melihat sosok Rahi menjauh dari Willis. “Agak ngenes sih sama Rahi, Willis kan viralnya suka sama Nabila.” “Ya mau gimana lagi? Rahinya suka Willis.” Lei mengedikkan kedua bahunya tak acuh. Kenzo terkekeh. “Udah gak aneh, barisan para mantan gue juga begitu kok. Udah tahu mau gue sakitin dengan sistem pacaran tiga hari doang, tapi mereka mau-mau aja tuh.” “Namanya juga cinta, belum aja dapet karma,” ujar Leon sambil menyeruput es jeruk purutnya dan nyaris diseleding oleh Kenzo. “Ya udah ah. Cabut, yuk! Kalian ini jomblo tapi seneng banget mantengin orang pacaran, nggak merasa ngenes, Bro?” seringaian Kenzo berkibar menjengkelkan teruntuk kawan-kawannya, mentang-mentang dia bukan. Mau tak mau Kenzo menerima serangan dadakan dari Key yang menendang pantatnya ala si Madun. Sementara itu, orang-orang yang mereka perbincangkan, yaitu Willis dan Rahi yang terlibat pertengkaran. “Aku sama Nabila udah lama putus, kita gak ada alasan buat marahan, Rahi.” “Tai, Wil, tai!” Rahi benar-benar murka. Mungkin jika kalian ada di posisinya pun akan berekspresi serupa. Ketika satu tahun pacaran dengan jarak Willis di kampus dan Rahi di SMA, lalu selama itu … kalau saja Rahi tidak masuk kampus yang sama dengan Willis, mungkin seterusnya sampai ada kemungkinan mereka putus, hubungan Rahi dan Willis tidak dikenali orang-orang kampus. Karena selama ini Willis bungkam pada pandangan tiap orang yang justru mengira Willis masih terikat dengan Nabila, Rahi baru tahu kalau itu pacarnya Willis yang dua hari sebelum Rahi ajak jadian. Gimana Rahi bisa gak marah coba? “Kamu selama ini gak ada perlawanan, kan? Kalau aku gak masuk kampus ini, apa kabar hubungan kita? Di mata orang-orang mungkin ikatan aku sama kamu itu gak pernah ada, Wil! Dan lagi, waktu aku nembak … kamu gak kasih tahu apa-apa!” Sakit sekali hatinya, Rahi merasa tidak dianggap dan sukses dibodohi, satu tahun pacarannya dengan Willis terasa hanya dia sendiri yang menganggapnya ada.  “Bukannya gitu, Ra.” Tapi kenapa Willis masih saja santai? Sementara Rahi sudah dibuat meledak-ledak olehnya, semakin dibuat tidak karuan saja hatinya. “Karena gak ada yang nanya, aku gak mungkin bikin pengumuman kalau aku udah ganti cewek, kan? Kamu juga gak nanya-nanya waktu ngajak jadian.” Ya tapi senggaknya … ah, udahlah! Rahi menahan sesak di d**a, ternyata dia belum terbiasa dengan karakter Willis yang terlalu memasabodohkan segalanya, dia belum terbiasa dengan kenyataan Willis dan Nabila pernah sayang-sayangan yang pasalnya sampai saat ini mereka masih dekat-dekatan. “Lagian gak penting juga kan mereka tahu? Di hubungan kita yang penting itu aku sama kamu,” imbuh Willis santai yang sukses membuat hati Rahi terjun ke lambung. “Nggak penting?” Willis mengangguk. Dia sudah mengikuti Rahi ke taman yang cukup sepi hingga pertengkaran mereka tidak jadi pusat perhatian. Rahi tak habis pikir. “Wil, aku itu cewek kamu bukan, sih?!” “Iya.” “Tapi kenapa orang-orang tahunya cewek lo itu Nabila?! Dan kenapa lo nggak menampik pikiran orang-orang tentang itu?!” saking murkanya. Rahi mencelos, dia terkekeh mereasa lucu dengan kalimatnya sendiri, “serius … gue cewek lo?” Yang satu tahun lalu ... “Kita putus.” Willis tidak terima, dia enggan ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya. “Gak ada alasan buat kita bertahan, Wil.” Nabila terus yang berucap, dia mencoba membuat Willis memahami hubungan mereka yang sudah tidak seharusnya ada. “Kita bisa nikah, Bil.” Willis nyaris melupakan masa lalunya hingga berani bilang demikian. “Nggak harus hubungan kita yang jadi korban, kita masih bisa bertahan kalau kamu mau.” Sayangnya Nabila menggeleng. “Nggak mungkin bagi aku buat ngorbanin kebahagiaan Ibu, Wil. Kita putus aja.” Willis yang terlanjur kecewa pada akhirnya menyerah juga meski sempat keras kepala dan nyaris menyeret Nabila ke sesuatu yang berdosa.  Willis menyudahi nostalgianya, jika dulu dia pacar Nabila, maka sekarang … “Iya, Ra, pacar kamu.” Tetap saja Rahi belum puas. “Beneran gue ini cewek lo?!” ulang Rahi yang lebih menggebu, dia merasa ragu. Willis mengangguk, meraih tangan Rahi dengan tampang kalemnya. “I’m yours.” Yang membuat Rahi menghempaskan cekalan tangan Willis di telapaknya, dan dia berdecak sambil melongos. Rahi tidak pandai berbahasa meskipun sedikit-sedikit dia bisa, tapi kalau Willis bicara bukan menggunakan bahasa Indonesia, jelaslah Rahi merasa terhina apalagi di saat emosinya membara. “Kamu mau aku gimana?” “Gak gimana-gimana,” balas Rahi dengan muka juteknya, dia capek. Willis mengangguk. “Lagian dengan seiring kedekatan kita nanti juga orang-orang ngira kita ini pacaran.” Kali ini Rahi memandang cowok itu bengis. “Kalau gitu gak perlu deket-deketan lagi!” “Yakin?” “Mikir!” murka Rahi. Willis yang biasa saja, seperti tidak punya emosi membuat Rahi mendengkus, memandang Willis dengan tatapan berkecamuknya. Sebenarnya dia lelah, logikanya berkata untuk menyerah, tapi perasaannya selalu teguh pada prinsip ‘tunggu Willis yang mutusin’ jadi lisan Rahi tidak pernah bilang: putus ajalah. Makanya hubungan mereka berjalan satu tahun tanpa putus nyambung, padahal tidak ada hari tanpa marah-marah. Rahi tidak bisa melahirkan keputusan cerdas sementara yang memutuskan adalah perasaan. Dan sekian lama Rahi menunggu Willis bicara, tapi nihil, Willis setia dalam diamnya. Hingga yang ada Rahi justru menghentakkan kakinya sebelum berlalu sambil bilang, “Oke. Sekarang cukup. Gak usah ikutin gue!” Cewek itu marah besar. Di mata Rahi, Willis tidak pernah mengerti dirinya. Selalu Rahi yang mengikuti gaya pacaran Willis, sejak awal selalu Rahi yang mencoba mengerti pada Willis yang suka hilang-hilangan tanpa kabar dengan alasan sibuk di kampus setelahnya, dan selalu saja Rahi yang banyak bicara kalau mereka sedang akur-akurnya. Bahkan di saat bertengkar pun as always Rahi yang sabar plus kebakar emosinya. Karena … ini kan deritanya cinta sepihak, iya gak sih? Begonya nggak mau Rahi akhiri, dia masih ingin bertahan selagi bukan Willis yang minta udahan. Kepergian Rahi barusan membuat Willis menghela napas pelan. Bukannya Willis tidak mau statusnya dengan Rahi viral di kampus, tapi dia kan lelaki pendiam yang terlalu cuek pada sekitar selagi tidak mengancam hidupnya, makanya dia tidak mengurusi otak orang lain yang mengira dirinya belum putus dengan Nabila. Lagipula, harus banget ya cerita-cerita ke pacar baru tentang pacar lama? Terus, memangnya pengakuan status di mata orang lain itu penting? *** “Marine!” teriak Rahi memanggil nama temannya hingga yang dipanggil menoleh, “Baginda Raja mana?” Marine tahu siapa gerangan yang Rahi maksud. Begitu Rahi sudah berdiri di depannya barulah Marine menjawab, “Tadi sih dia pergi beli cimol.” Rahi berdecak, “Heran deh, sesama cimol kok makan cimol?” “Apa sih, njir!” misuh Marine. Rahi terkikik, seakan hatinya tidak sedang sakit. Padahal niatnya mencari Dion, kekasih Marine sekaligus tempat curhat Rahi, adalah untuk menumpahkan segala keluh kesahnya dan meminta saran terbaik untuk masa depan hubungannya dengan Willis. “Ra, Rin!” Mereka menoleh, mendapati satu lagi kawan seperganjenan di kampus, kali ini adalah kakak tingkatan. Hara namanya. Rahi pun melambaikan tangannya kepada dia diikuti oleh Marine. “Langsung aja,” tutur Hara membuat Marine mengeryit dan Rahi kepo layaknya monyet Dora, “lo beneran pacarnya Willis semester tujuh yang putih, tinggi, ganteng, hidungnya gede itu?” Teruntuk Rahi Dinata. Marine terkekeh dan menyenggol sikut Rahi menuntut jawaban yang sama. Pasalnya mereka masih belum terkontaminasi oleh gosip yang menyebar pesat di kampus, dan mereka juga belum mendapat konfirmasi dari pihak Willisnya langsung, meski sebenarnya Rahi sering cerita kalau dia memang pacaran dengan cowok ganteng nomor satu di kampus mereka, sayangnya hanya dianggap kemustahilan belaka.  Marine jadi bertanya, “Ah, iya, itu beneran? Jadi selama ini yang lo ceritain ke gue itu fakta?” Makanya Rahi kalau cerita hanya kepada Dion saja, tidak Hara, tidak juga Marine. Kalau dengan Hara, Rahi baru sedekat ini sejak dia kuliah di kampus yang sama dengan Willis. Tapi kalau Marine … cewek itu mana percaya sama ceritanya, Marine justru menyuruh Rahi untuk membuat karangan fiksi saja di watty saking tidak percayanya. Rahi membuang napas kasar. “Tanyain aja deh sama Willis!” “Kalau beneran iya nih, Ra … tega banget sih Willis sama lo! Asal lo tahu, Ra, selama gue kuliah di sini baru denger yang namanya Willis ganti cewek. Parahnya, viralnya kan masih terikat sama Nabila.” Marine sependapat dengan Hara. “Yang jadi pertanyaan, kalau iya nih kalian pacaran, oke ... anggap gue percaya sama lo sekarang, itu beneran gak sih Willis suka sama lo?” Semakin perih saja hati Rahi dihadapkan dengan kenyataan yang selama ini Willis belum pernah bilang ‘I love you’. “Kalian nanyanya gitu,” keluh Rahi sambil memulai perjalanan mereka dengan lesu, “Apa udah saatnya gue minta putus, ya?” “Ra, mana boleh kayak gitu!” tegur Hara lalu memandang karibnya dengan serius. “Sebagai cewek, ada baiknya simpen baik-baik kata putus. Sekalipun lo mau, bikin cowok lo nyesel dengernya.” Tapi Rahi capek. “Kenapa harus kayak gitu? Cewek juga berhak kali mutusin cowok, cewek nembak cowok aja udah gak aneh kok. Kenapa harus simpen baik-baik kata putus di saat cowoknya aja nggak baik-baik jaga perasaan ceweknya?” Marine mengamini ucapan Rahi. “Masalahnya, lo sakit hati gak kalau sekarang minta putus dan Willis cuma jawab ‘Oh, ya udah’?” Tapi setelah mendengar balasan Hara, Marine jadi lebih pro kepadanya. Hara terbilang cerdas urusan rasa, dia paham teori-teori cinta, padahal sebenarnya dia jomblo. “Terus gue harus gimana di saat gue tahu kalau cowok itu masih ketinggalan di masa pra pacaran? Dia masih belum move on dari mantannya, tahu!” misuh Rahi, dia baru sadar akan kebodohan naturalnya. Hara berdecak. “Udah terlanjur bego, kan? Terusin aja.” “Ah, gue paham!” imbuh Marine, “anggap aja … dia jual, lo beli!” *** Sampai di esok hari. Pagi-pagi sekali Willis nangkring di depan rumah Rahi, dia berniat untuk menjemputnya setelah kemarin Rahi benar-benar marah padanya sampai tidak mau diantar pulang dan mengibarkan bendera perang lewat acungan jari tengahnya. Rahi memang sekekanakan itu, beda dengan Nabila. Tapi berkat hal itu, bukannya balas marah atau ikut membuat jarak seperti Rahi padanya, Willis justru merasa tergelitik selera humornya dan membuat dia melakukan sesuatu yang belum menjadi kebiasaannya dalam konteks pacaran mereka. Seperti … menjemput Rahi misalnya? Willis memang sekaku itu. Tapi pengalamannya dengan Nabila lebih jauh dari itu. “Ngapain kamu di sini?” Willis menoleh. “Aku jemput kamu.” Rahi mengecek ponselnya sambil bilang, “Perasaan aku gak pesen taxi online, deh.” Diabaikan. Dengan wajah datarnya Wllis membukakan pintu mobil sebelah kemudi untuk Rahi. “Masuk.” Rahi menatap Willis dengan sama datarnya, dia belajar ekspresi itu dari pacarnya. Kemudian berbalik, menolak kebaikan hati Willis yang menjemputnya, Rahi dongkol. Tapi Willis terlalu cepat untuk Rahi yang lamban. Cowok itu mencekal lengan Rahi dan menatapnya tajam, tidak bersahabat dengan penolakan. “Masuk, Ra.” “Lepas!” Rahi berontak. Willis mempererat cekalan tangannya. Dengan segala paksaan yang Willis keluarkan hingga Rahi pun duduk di kursi sebelah kemudi yang sudah dia bukakan pintunya. Tanpa kata Willis memposisikan diri di sebelah Rahi dan mengunci pintu mobilnya. “Lo jadi cowok suka banget memaksakan kehendak, sih!” Willis menginjak pedal gasnya, mobil melaju dengan kecepatan sedang, dan dia mengabaikan omongan Rahi, tapi dia mendengarnya dengan baik. “Selama satu tahun kita pacaran nih, ya, Wil … gak pernah tuh kamu ngalah ke aku.” Tetap sama. Willis doyan sekali merapatkan bibirnya, membuat Rahi kesal dalam duduknya. “Jangankan ngalah, bilang … ‘Rahi, aku cinta kamu’ aja gak pernah.” Rahi menepuk jidatnya. “Lupa,” celotehnya disertai senyum miris, “yang ngajak jadian kan aku.” Willis mengembuskan napas pelan. “Udah, Ra, udah.” “Ya kamu yang udah, Wil!” sentak Rahi emosi sendiri, “udah dong suka sama Nabilanya! Udah, jangan bikin aku nyesel karena nembak kamu waktu itu.” Mobil pun berhenti, mereka tiba di kampus, tapi Willis belum membiarkan Rahi keluar dari sana. Yang ada Willis melepaskan sabuk pengaman mereka, meski sempat diamuki Rahi yang bertindak semaunya. Willis terlalu irit bicara untuk Rahi yang boros kata-kata. Tapi dari sana Willis merasa itulah yang membuatnya nyaman dengan Rahi di tengah alasannya menerima dan mempertahankan hubungan. “Jangan marah terus.” “Gak bisa!” Rahi memang gadis emosional, “selagi kamu masih cinta sama Nabila.” Rahi cemburuan. “I think, I don’t love her. And there is no reason for you to be jealous of her.” Namun justru kalimat itu membuat Rahi menatap Willis sengit sambil bersedekap. “Bisa gak sih gak usah ngomong bahasanya orang bule?!” Dan Willis merupakan sumber emosi bagi Rahi. “Gue ngerti kok, cuma lagi males aja nerjemahin.” Willis diam saja. Tuh, kan, pasti Willis sengaja ingin membuat Rahi menangis. Entah Willis sadar atau tidak, selama ini Rahi selalu menghindar dari pelafalan bahasa asing. Yang kata orang, mahasiswi baru sebangsa Rahi Dinata itu terlalu sempurna, padahal aslinya dia juga punya cacat dalam hidupnya. Yaitu … lemah berbahasa. “Kamu tuh baru mikir kalau kamu gak suka Nabila, belum yakin sama perasaan sendiri.” Willis menatap Rahi. “Mungkin kamu juga bohong suka sama akunya.” Brak! Rahi membanting pintu mobilnya, dan Willis tidak memberi respons positif apa pun. Entah bagaimana jadinya hubungan mereka yang tiap saat selalu saja dihiasi dengan kemarahan Rahi dan kecurigaannya yang didukung dengan diamnya Willis Wiliam. Sejauh ini hubungan mereka seperti itu, terbelenggu dengan kondisi dulu yang putus VS jadian. Sampai Rahi merasa ingin membuat sekali saja Willis cemburu padanya, bukannya malah Rahi yang selalu merasakan perasaan berkecamuk itu. Lama-lama Rahi dibutakan oleh curiga dan sesuatu yang membuat dia berpikir hubungannya sulit untuk bahagia. Entah esok hari akan jadi seperti apa ... Ini baru awal, baru permulaan di mana Rahi tidak tahu apa-apa tentang seorang Willis Wiliam.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN