2. Cemburu Tanda Cinta, kan?

2088 Kata
Kenyataan waktu yang cepat berlalu membuat kejadian tiap detiknya berbeda dibuktikan dengan hari yang silih berganti menjadi minggu, bulan, dan tahun. Rahi Dinata, si pemilik senyum termanis sepanjang masa. Yaitu Rahi yang selalu tebar pesona dengan senyum ramahnya, yaitu Rahi yang cantik jelita, yaitu Rahi yang pandai menggoda, yaitu Rahi yang hanya setia pada satu pria. “Kapan sih, Wil, aku bohong sama kamu?” “Kamu sendiri … kapan kamu percaya sama aku?” Jawaban yang berakhir pertanyaan. Sangat hakiki sekali ucapan lelaki yang ber-name-tag Willis Wiliam itu. d**a bidangnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang lelaki pelukable di mata seluruh wanita. Dengan rahang kokohnya yang tergambar jelas pribadi tegas dan bijaksana, lalu hidung bangir yang ukurannya liar menjadi teka-teki mature kesenangan kaum Hawa, serta wajah tampan tanpa celanya yang berhasil menambahkan dosa bagi mereka yang menikmati zina mata. Hei, he is awesome! Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Pada dasarnya, hell or heaven there is he. “Emang cuma kamu doang, ya? Tanda tanya itu hakikatnya untuk dijawab, bukan malah balik bertanya. Jujur bisa, kan?” sinis Rahi sebagai bentuk sindiran. Dia sudah dibuat jengkel kemarin, dulu, hingga sekarang, lagi, lagi, dan lagi. Dia bersedekap keki kepada kekasihnya. Sudah disindir mati-matian, tapi reaksi Willis hanya itu-itu saja. Kalau tidak datar, paling jengah. Coba pikirkan, perempuan mana yang biasa saja melihat lelakinya bergandengan tangan dengan wanita lain? “Nabila itu temen kecil aku, Ra.” Jenis kalimat pembelaan serupa seperti jawaban di kasus lainnya. Rahi mendengkus. Percayalah, intonasi yang Willis beri saja mampu membuat bibir Rahi gatal ingin memaki. “Iya, sih, temen. Tapi gak perlu gandengan tangan juga dong! Apalagi temen rasa mantan.” “Ini yang ketiga kali dalam sehari. Ra, kalau cemburu jangan kayak minum obat.” Rahi melotot, Willis melirik arloji di pergelangan tangannya. “Aku ada kelas, marahannya ditunda dulu.” Bahkan tanpa menunggu respons Rahi selanjutnya Willis melangkah untuk pergi. Ruang kelas Hukum 2A yang isinya hanya mereka berdua, kini hanya tinggal Rahi saja. Perempuan itu memekik kesal. Kalau Willis sudah seperti ini, Rahi jadi kacau sendiri. Serius … Rahi punya pacar, tapi perannya terasa seperti jomblo bukan, official pun diragukan. Sejak kejadian di mobil Willis kala itu, hubungan mereka jadi semakin diragukan kejelasannya. *** Ketika Rahi ditinggalkan, detik itu pula Marine dan Hara tiba di ruangan. Mereka merupakan dua sekawan Rahi yang susah senang bersama. “Risiko punya pacar ganteng ya berasa hidup di gurun pasir,” celetuk Marine sambil sesekali meminum es kelapanya.  Selaku sahabat yang baik, Hara pun menepuk pelan bahu kiri Rahi yang terlihat turun karena murung. “Inget, Ra, kembali ke diri sendiri. Willis ganteng, dia pandai bikin lo cemburu. Ngaca deh, lo itu cantik,” Hara menjeda, “so, why not? Rahi, let's make him jealous!” Seketika lampu di kepala Rahi terang benderang, cahayanya sampai mengalirkan sebuah senyuman. Dia melirik Hara dengan senyum terkembang, nyaris saja kedua ujung bibirnya menyentuh telinga. Ini yang sejak dulu ingin dia kabulkan. “Orang cerdas pasti ngerti maksud gue.” Yang paling nyeletuk di antara mereka itu Hara. Jelas, kalimat barusan milik Hara. Marine hanya mengedikkan kedua bahunya tak acuh sambil berkata, “Gimana baiknya aja.” *** Setelah jam kelas berakhir, Willis beserta teman-temannya berkumpul di gazebo fakultas kedokteran. Kebetulan ada dua di antara mereka yang menempati jurusan kesehatan, yakni Key Berlyn dan Lei Scarloth. “Wil, Nabila buat gue, ya?” Lelaki dengan pesona player yang melekat dalam jiwanya berkoar sambil bersiul, Kenzo Cahyo Kusumo. Rupanya sejak tadi tatapan Kenzo jatuh memerhatikan sosok gadis di tengah taman dekat gazebo. Langsung saja Willis mendelik. “Jangan harap!” Kenzo terkekeh. Yang ada di sana pun ikut terkikik menertawakan respons Willis barusan. “Kalau Rahi aja gimana?” goda Leon. Baik Kenzo, Key, maupun Lei, mereka serempak menghentikan tawanya. Bukan apa-apa, asal kalian tahu saja, maung dalam diri Willis bisa bangkit kapan pun ketika nama Rahi disebutkan. Lensa pekat Willis menyinggung tajam wajah Leon. Untungnya Willis hanyalah manusia biasa, bukan si pemilik mata laser yang mampu membuat pori-pori baru di wajah orang. “Masih gue liatin,” komentar Willis tanpa nada, tapi mampu membuat seluruh insan yang ada di sana merinding karenanya.  Semua tidak tahu, semua tidak mengerti tentang apa yang ada di otak Willis perihal Nabila dan Rahi, apalagi soal perasaannya yang tidak jelas untuk siapa. Namun, karena semua orang bisa melihat, bisa mendengar, mereka menyimpulkan bahwasanya status Willis memang terikat dengan Rahi sejak lama, tipikal lelaki setia. Entah cinta atau tidak. Selain itu, jelas, kasih sayangnya terlihat untuk Nabila. Kesimpulan yang bersifat subjektif. Soal perasaan orang, siapa yang tahu? Keviralan yang dulu digantikan dengan argumentasi yang baru. “Gue balik duluan. Rahi udah nunggu di parkiran,” kata Willis tiba-tiba saat setelah mendapatkan notifikasi pesan masuk dari kekasihnya. Yang lain mengangguk saja. *** “Lama,” ketus Rahi menghakimi Willis yang membuatnya lelah menunggu. Kini mereka sudah duduk manis bersampingan, Willis mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Rahi belum bisa menerima keterlambatan Willis barusan. “Bayangin coba! Dua puluh menit berdiri di bawah terik matahari, berasa lagi jemur diri!” Willis menghela napas pelan. “Jarak fakultas kedokteran ke fakultas hukum itu lumayan, Ra. Aku jalannya pakai dampal, bukan ban.” “Oh, gitu? Pantesan, ketahuan deh, ya, yang sering mangkal di FK. Ada Nabila, Coi!” Akhir-akhir ini Rahi memang sering mengungkit soal Nabila, tingkat kecemburuannya pun setinggi derajat dewa-dewa, atau memang dia sudah begitu dari sananya. Dan Willis hanya bisa sabar saja, dia diam bukan berarti membenarkan. Namun, diamnya Willis malah membuat Rahi semakin geram. “Sekarang gini deh, yang pacarnya kamu itu aku … atau Nabila?” “Kamu.” “Terus, buat apa coba sering mampir di FK? Padahal kan pacarnya ada di fakultas hukum.” Benar-benar cemburuan. Willis membelokkan setir kemudinya ke arah kanan, beberapa blok lagi mereka akan sampai di rumah Rahi. Tapi sepertinya dulu Rahi tidak separah ini. “Temen-temen aku ada di sana, Ra.” “Loh, emang di FH gak ada? Leon, Kenzo ... mereka kan anak hukum.” Masih tak mau kalah hingga ban mobil berhenti berputar. Willis melepaskan sabuk pengamannya sendiri, sementara Rahi masih mendumal dalam posisi ngamuknya. “Ra.” Willis maju satu gerakan, Rahi mundur perlahan. Serius, jarak mereka makin terkikis. Rahi sudah menduga jika Willis pasti akan melepaskan sabuk pengamannya, itu memang benar terjadi. Tapi belum cukup sampai di situ, hal yang membuat Rahi menelan gugup salivanya. Willis pasti akan menciumnya, Rahi sudah optimis. Dia belajar dari masa lalu ketika usia pacarannya dengan Willis terjalin satu taun, yaitu optimis untuk mengurangi kecurigaan yang buruk. Tapi apa harus secepat ini dia kehilangan ciuman pertamanya? Aduh, bagaimana ini? Dia belum memeriksa apakah mulutnya beraroma sedap atau busuk. Sementara Rahi sibuk dengan otak kumalnya, Willis berbisik, “Aku cuma mau bilang, bibirnya dijaga. Ra, kecantikan wanita tergantung dengan ini.” Telunjuk Willis menyentuh bibir Rahi, seakan menegaskan jika kecantikan wanita terlihat dari bagaimana cara mereka bicara. Rahi cengo. Entah sejak kapan Willis sudah keluar dan berdiri di samping pintu penumpang yang telah terbuka. Yang tadi itu … Rahi remuk karena malu, dia tersinggung karena merasa terlalu banyak bicara yang tidak-tidak. Dalam satu tarikan napas, Rahi berseru tanpa titik dan koma, “Aku gak denger kamu ngomong apa dan makasih banyak!” Kemudian berlari. Willis masih di posisi yang memandang jejak Rahi, dia tersenyum simpul. Willis mencoba untuk tidak sekaku awal pertama dan dia menganggap hubungan satu tahunnya dulu dengan Rahi adalah proses belajar menempuh tahun berikutnya. Di pikirannya, pasti gara-gara Nabila sikap Rahi barusan. Well, cemburu tanda cinta, kan? *** Bisa jadi, setiap orang menilai sikap Rahi itu terlalu berlebihan. Kecemburuannya bukan kepalang, meski Rahi punya alasan. Rahi pernah melakukan hal yang divonis memalukan bagi sebagian cewek. Dengan mengatasnamakan eksistensi wanita yang sudah diakui dan bukti adanya persamaan gender, Rahi menganut sistem: cewek juga bisa. Itulah mengapa Rahi berani menyatakan cinta kepada seorang lelaki, hubungan itu dia yang mengawali. Saat itu Rahi belum tahu, dia belum dinodai oleh rasa curiga dan ternyata Nabila Ariska—sosok gadis yang selama ini Rahi kenal hanya sebatas teman kecil Willis saja, nyatanya tidak hanya itu. “Nabila termasuk ke dalam jajaran mantan Willis, parahnya dia cinta pertama cowok gue. Bayangin deh betapa panasnya ini hati Tuan Putri!” misuh Rahi mengadu, rupanya dia sedang bertukar cerita dengan kekasih temannya. Dion tertertawa di sana. “Gini, Ra, Marine juga sering cemburu. Gue suka. Tapi kalau itu berlebihan, jelas nggak. Semua ada batasannya.”  Rahi memang sosok drama queen. Sementara Dion Deandra merupakan satu-satunya lelaki yang Rahi anggap pantas untuk membuka jasa konsultasi. Dion itu pendengar yang baik dan dia sangat mengerti, serta bersabar hati dalam merespons segala ucapan penuh drama milik Rahi. “Ya. Tapi, kan—” “Nggak ada tapi. Coba deh, Ra, lo pikir ulang. Di sini seharusnya siapa yang pantas buat cemburu? Willis atau lo yang hobinya ngedipin sebelah mata waktu ada cogan lewat?” Sebalnya, Dion selalu benar. Rahi bagai disekak mat setelah mendapatkan senjata makan tuan. “Willis.” Rahi menjawab degan gumaman sendu. Dalam alasan yang pasti hatinya malah berkedut nyeri. “Dan dia nggak pernah cemburu untuk itu.”  Sekali lagi, cemburu itu tanda cinta, kan? *** Hingga tiba di keesokan hari. Karena gengsi, Rahi melarang Willis untuk menjemputnya dengan alasan dia sudah berangkat naik ojek. Lalu, saat dia tiba di parkiran kampus dan matanya menangkap kehadiran Nabila di dekat Willis, Rahi simpulkan: mereka berangkat bersamaan.  “Tuh, kan, terciduk!” Sontak saja gandengan tangan Nabila dan Willis terlepas. Kalau dilihat-lihat hanya Nabila yang gelagapan. “Eh, Ra? Berangkat sendiri?”  Rahi menatap Nabila dengan sinis. “Nggak, gue sama Mamang ojek.”  “O-oh … kalau gitu gue duluan, ya?” gugup Nabila sambil lengser undur diri. Berikutnya, sejenak Rahi menatap Willis yang terlihat santai, hatinya perih. Akhirnya Rahi memilih untuk pergi. Namun, belum apa-apa langkahnya sudah dicegat lebih dulu oleh Willis. Tubuh kekar lelaki itu menghalangi jalannya. “Cemburu lagi?” “Ya, lo pikir?!” Ingin rasanya berkata kasar, tapi Rahi takut dosa. “Nanti siang aku tunggu di kantin,” kata Willis dan hanya itu. Willis berjalan lebih dulu meninggalkan Rahi yang menatap tak percaya pada kepergiannya. *** “Mantap nih, Bro! Klub drama ngajak kolaborasi sama klub dance.” Informasi yang Key sebarkan ketika berkumpul sebelum jam kelas dimulai. Ada Kenzo, Leon, Lei, dan Willis yang masih berjalan di ujung lorong dekat parkiran. Tempat tongkrongan mereka sebelum aktivitas utama kampus dilaksanakan. Dijadikan tempat singgah karena tempatnya sangat strategis sekali, berada di tengah-tengah antar fakultas.  “Perayaan festival akbar bukan?” tanya Lei sambil mengemut permennya. Leon mengangguk, sementara Key yang menimpali, “Gue gak sabar. Bakal ada drama apa lagi nih di dalam drama?” Arah pandangnya tertuju tepat di Willis yang baru saja duduk di sebelah Lei. “Klub musik ikut kolab juga?” tanya Willis. Dia sedang menghindar dari sindiran Key. “Wajib lah! Yang ngisi soundtrack-nya kan gue,” jawab Kenzo. “Wil, siap-siap, ya! Perang dunia tiga bakal terjadi setelah itu kayaknya.” Seringaian Key berkibar penuh semangat. Willis, ketua klub dance yang sempat menggantikan peran utama pria di drama Putri Tidur, sementara yang jadi peran utama wanitanya adalah Nabila. Tahu lah bagaimana reaksi Rahi saat itu. “Marahnya bukan cuma sehari, ‘kenapa mau-mau aja? Kenapa main terima-terima aja? Oh, apa karena itu Nabila? Bagus deh, ya! Sosor aja terus mantannya!’, kayak gitu.” Willis menggeram, ocehan Key barusan benar-benar sindiran yang tepat sasaran. Dengan logat bicara Rahi yang Key tirukan. Willis jadi berkeinginan untuk membunuh satu manusia kelam itu. s**t! *** "Terus aja senyum, terus aja godain cowok orang.” “Eiy, santai dong! Yang penting Dion gak kepincut. Iya kan, Say?” Ngomong nih sama dengkul!” Rahi tertawa, sementara Dion hanya terkekeh saja. Image-nya sebagai kosma di kelas Hukum 2A benar-benar terjaga. Marine selaku kekasih dari sosoknya pun menggerutu sebal. “Eh, ada Willis tuh!” Refleks Rahi menoleh cepat ke arah pintu. “Mana?” “Tapi bohong.” Sekarang gantian, Marine yang tergelak. Emang enak dikibulin? Batin jahil Marine berkumandang riang. Sampai pada jam kelas berakhir barulah Rahi beranjak dari tempatnya. Dia sudah di-booking oleh Willis untuk makan di kantin bersama, jadi Rahi mengusahakan diri untuk tidak terlambat dan tampil cantik dengan make up seadanya. Tanpa permisi, Rahi melesat begitu saja mengabaikan teriakan Marine yang menyebut-nyebut namanya. Masa bodoh lah! Itu urusan nanti. Sampai pada posisi di mana Rahi melebarkan senyumannya, serta b****g indahnya yang melekat mesra dengan bangku kayu di pojok kantin. Willis pun sudah ada di sana. “Nunggu lama, ya?” sesal Rahi. “Cuma dua puluh menit,” kalem tapi nusuk. Rahi merasa tertohok. “Maaf,” cicitnya tidak berani menatap ke arah Willis, padahal sebelumnya Rahi sedang marah. “Mau makan apa?” tawar Willis. “Apa pun yang nggak berlemak.” Kalau bahas soal makanan, Rahi jadi semangat. Dia mendongak, tanpa sengaja matanya bersinggungan dengan lensa pekat Willis. “Tunggu, ya?” Rahi mengangguk. Cuma sebentar. Definisi sebentar yang sesungguhnya, karena kini Willis sudah duduk manis di hadapan Rahi dengan dua nampan yang dia berikan kepada masing-masingnya. Terkadang Rahi merasa serba salah, dia seperti menjadi antagonis dalam hubungan mereka, tapi di sisi yang lain dia justru merasa jadi korban. “Wil.” Yang dipanggil hanya berdeham, sibuk dengan makanannya. Tatapan Rahi jatuh pada pasangan kekasih yang ada di seberang sana, jaraknya hanya terpisah dua meja. “Coba lihat, deh! Cowok cupu juga romantis, ya? Ceweknya disuapin.”  Willis menghentikan kunyahannya. Dia memandang Rahi dan bergantian menatap apa yang Rahi tunjukan. “Kamu mau?”  Oh tentu! Rahi mengangguk. “Siapa, sih, yang gak mau?” “Ya udah. Pacaran, gih, sama si cupu.” Please, tahan tangan Rahi sekarang juga! Rasanya sendok dan garpu berontak ingin lepas dari genggaman tangannya dan berkeinginan keras untuk mendarat tepat di kepala Willis. Jangan harap Willis mengerti kode-kode wanita, jangan harap! Lantas, tanpa berkata apa pun lagi Rahi anteng dengan santapannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN