4. Kekesalan Tak Berujung

1229 Kata
Sudah dua hari sejak joging saat itu Rahi menyibukkan diri dengan klub vokalnya. Dia biasa menghabiskan waktunya di sana jika sedang terjadi gempa dalam hubungannya. Mengingat Willis, Rahi jadi kesal sendiri. Rahi kecewa, entah kepada siapa yang hanya bisa Rahi curahkan lewat lagu yang sekarang dia nyanyikan. “Hampa kesal dan amarah, seluruhnya ada di benakku. Tandai seketika, hati yang tak terbalas. Oleh cintamu~” Rahi tidak tahu, apakah Willis menyukainya atau tidak … sementara sudah jelas bahwa dirinya mencintai lelaki itu. Sejak dua tahun lalu Rahi bertahan dalam cinta sendirian, dan Rahi selalu menunggu setitik harap balasan. Tapi Rahi kesal, amarah yang meletup dalam dirinya bercampur jadi satu. Siapa yang salah di sini? Willis yang belum juga mengatakan cinta padanya, ataukah justru Rahi sendiri yang terlalu memaksakan kehendak atas cintanya?  Rahi terus bernyanyi, matanya sudah berkaca, emosi yang terkuak dalam sebuah nyanyian Kecewa milik Bunga Citra Lestari. “Kuingin marah, melampiaskan, tapi kuhanyalah sendiri di sini. Ingin kutunjukkan pada siapa saja yang ada. Bahwa hatiku kecewa~” Sesak, itu yang Rahi rasakan. Karena kini dia kecewa, kepada Willis yang masih saja terjerat oleh bayang-bayang nyata Nabila. Dan Rahi kecewa, sebab kehadirannya tak dapat merubah apa-apa. “Sedetik menunggumu di sini, seperti seharian. Berkali kulihat jam di tangan, demi membunuh waktu. Tak kulihat tanda kehadiranmu, yang semakin meyakiniku. Kau tak datang~” Mungkin, Rahi hanya perlu menunggu. Bahkan Rahi sudah menunggu, sedetik sampai setahun, dua detik sampai dua tahun, seharian dan sampai sekarang. Tapi hasilnya Willis tetap sama, yang semakin menyakiti hati Rahi: cinta‘nya’ tak datang. Willis tidak—atau belum membalas rasa yang Rahi miliki. Sekali lagi Rahi tegaskan bahwa dia kecewa. Air mata pun luruh juga. “Udah nyanyinya?” Rahi tersentak. Rupanya Willis bersandar di dekat pintu sambil bersedekap memerhatikan sosok Rahi yang tadi sedang bernyanyi. Rahi baru tahu kalau Willis ada di sana.  “Ngapain di sini?” “Nungguin pacar.” Rahi diam. Willis kembali berucap, “Ngambek, ya?”  “Berisik!”  Bahkan ketika suara Rahi terdengar melengking pun, Willis masih santai saja. Semakin kesal, Rahi jadi merasa ingin menenggelamkan diri, dia mengalihkan pandangan. Lalu eksistensi Bian terlihat, dan seketika Rahi dapat pencerahan. Tangannya melambai, Rahi memekik, “Hei, Sayang! Bareng keluarnya!” Secepat itu, setelah mengatakannya Rahi lengser menyenggol tubuh Willis yang menghalangi jalannya. Sementara yang Willis tangkap: gandengan tangan Rahi yang menyerobot lengan Bian, si pria cupu yang katanya romantis waktu di kantin. Willis mendengkus. “Masih gue liatin,” gumamnya, lalu pergi mengikuti jejak Rahi.  *** “Rahi cantik, ya?”  “Masih cantikan Leon, kok,” timpal Lei sambil memainkan game Candy Crush di ponselnya.  Jelas, Leon mendelik. “Kampret! Gue aja terus ditumbalin,” katanya tak terima. Kenzo tersenyum, “Gue suka lihatnya.” “Anjir!” Key membanting ponselnya ke meja kantin. “Si Mario nubruk kura-kura berduri, jadi dia yang mati!” Sambil menunjuk-nunjuk layar ponselnya yang menampilkan game over, karena Mario Bros-nya sudah tewas dalam perjalanan di kerajaan jamur.  Yang lain mendengkus karenanya. Dan kali ini, Leon bicara teruntuk Kenzo yang senyum-senyum sendiri sambil memandangi Rahi dari jauh.  “Jangan dilihatin mulu! Kalau jadi cinta, repot nantinya,” ujar Leon sambil sesekali menyeruput es jeruk purutnya. Kenzo terkekeh. “Emang udah cinta, gimana dong?” Serempak semua mendelik. Hanya Lei saja yang tak acuh dan masih sibuk dengan game-nya. “Gila! Jangan Rahi, dia udah ada maungnya.” Key mencoba memperingati.  “Serius mau nikung temen sendiri?” tanya Leon. “Siapa?” Suasana hening seketika dengan gerakan kembali ke aktivitas sebelumnya. Leon yang memainkan sedotan dan cairan jeruk purutnya, kemudian Key yang kembali menyibukkan diri bersama Mario Bros-nya. Lalu Kenzo memainkan ponselnya, membuka galeri yang isinya wanita-wanita Eropa sambil bersiul dan sesekali memuji seolah menikmati pemandangan gambar mature di sana. Hanya Lei yang nampak biasa, dan hanya Lei yang angkat suara untuk bicara. “Oh, Wil, dari mana aja lo?” Willis yang memang baru tiba langsung duduk di hadapan Kenzo. “Dari ruangan klub musik.” “Ngapain?” tanya Kenzo ingin tahu.  Willis berdecak, “Nemuin pacar lah, apa lagi?” “Nabila?” God damn! Mulut Key memang jagonya membuat suasana yang sudah tegang makin tegang. Sekarang saja mata Willis memicing tajam mengarah pada sosok kelam di sampingnya, yaitu Key yang meringis. “Loh, itu Rahi kencan sama Bian?” “Dari tadi kuping sama mata lo simpen di mana, Lei? Kita udah bahas itu, ya, sebelum Willis ada di sini,” timpal Leon yang gemas sendiri oleh kelemotan Lei.  Kenzo tertawa kecil. Dia melihat tatapan tajam Willis yang seolah ingin melahap dua manusia di pojokan kantin, di sana Rahi sedang tertawa dan memerhatikan lelaki berkacamata bulat itu saat bicara. “Kayaknya mereka cocok, ya? Mirip drama beauty and the beast. Siapa tahu kalau dibuka kacamatanya, yang tadinya cupu bisa jadi ganteng ngalahin model Louis Vuitton?” seloroh Lei yang lagi-lagi membuat terbahak semua temannya kecuali Willis. “Wil, kenapa masih di sini?” Kali ini Leon, dia melirik ke arah Rahi dan Willis secara bergantian. “Itu ceweknya suap-suapan sama Bian. Gak panas, Bro?” Memang paling berani si Rahi. Di mata jajaran orang-orang tampan yang sedang mengelilingi meja kantin, Rahi itu gadis pertama yang sifatnya naudzubillah dari mantan Willis sebelumnya, benar-benar sesuatu. Tapi ternyata, Willis William jauh lebih sesuatu lagi ketimbang Rahi. Tanpa berucap apa pun, Willis hanya mengambil minuman Leon dan menyedotnya secara perlahan sambil menikmati, juga menatap datar kedua insan yang ada di pojok kantin. Kemudian … “Eh, ada Nabila!” Kenzo menyeletuk. *** “Sabar, ya! Cewek banyak, bukan cuma dia aja.”  Bian mengangguk. Mereka malah asyik bertukar cerita, padahal baru kenal. Ternyata, Bian Banyumas—si pria berkacamata itu sedang patah hati gara-gara putus cinta. Pacarnya yang kemarin selingkuh dengan orang royal, sementara Bian yang modal pacarannya hanya perlakuan romantis saja. “Senyum dong!” hibur Rahi, “kayak gue,” sambil mengibaskan rambut panjangnya dan tersenyum lebar. Mereka malah tertawa, lalu iseng saling suap-menyuapkan makanan. Dan tepat ketika itu Rahi mendengar seseorang menyebut nama kekasihnya. “Willis!” Suara gadis. Saat menoleh, benar sekali itu Nabila. Rahi mencuri-curi pandang ke arah mereka yang tempatnya berada di jajaran dekat jendela besar, gerombolan orang tampan memang sering mangkal di sana saat jam istirahat.  Tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan hingga akhirnya Rahi melihat Willis pergi, berjalan beriringan sambil melemparkan senyuman. Kepada Nabila, dengan Nabila dan bukan untuknya. Hati Rahi berkedut nyeri. Niatan ingin membuat Willis cemburu, tapi malah dia sendiri yang kebakaran hati gara-gara hadirnya Nabila. Kesal, seribu kali lebih kesal. Bian berdeham, “Udah putus?” *** “Willis!” Napas Rahi memburu meneriaki satu nama. Masa bodoh dengan pertanyaan Bian, dia abaikan dengan langsung mengejar kekasihnya yang dibawa pergi oleh perempuan lain. Baik Nabila maupun Willis menghentikan langkahnya, berbalik mengahadap ke arah Rahi. “Mau ke mana?” tanya Rahi setelah napasnya normal kembali. Willis mengembuskan napas pelan. “Udahan kencannya?” Tanpa mau menjawab pertanyaan random Willis, Rahi justru menarik lengan lelaki itu dan menyeretnya menjauh dari Nabila yang sejak tadi hanya diam. Tubuh Willis tidak kecil, ujung-ujungnya Rahi yang diseret oleh lelaki itu dan berakhir di mobilnya. “Kamu mainnya kasar, ih! Sakit nih badan,” omel Rahi sambil mengelus-elus punggungnya yang terhempas di kursi penumpang. Walaupun empuk, tapi tetap saja kekuatan Willis tak main-main. Kesannya seperti lelaki itu yang murka. “Apa yang mau kamu omongin?” tanya Willis tak mengindahkan omelan Rahi sebelumnya. Mendadak suasana jadi dingin, padahal AC mobil sedang mati. Rahi bergidik, dia jadi ingat dengan pertanyaan Bian. “Aku gak mau putus!” Dan dalam sekali tarikan napas sambil terpejam Rahi ucapkan, “Gak mau!” Menghasilkan kernyitan halus di dahi Willis.  “Jangan ngarang, siapa yang ngajak putus?”  Sontak Rahi membuka kelopak matanya.  “Kita gak akan putus, Ra.” Willis yang berkata, tatapannya tak ada sirat kebohongan. Saat Willis memajukan wajahnya, membenturkan napas nyaman pada wajah Rahi, cewek yang sudah merona. Willis tambahkan, “Will never, except to get married. Remember it.” Antara senang dan sedih, Rahi merutuki diri sendiri yang gagal di kelas intensif bahasa Inggris. Dia hanya tahu satu kata dari yang Willis tegaskan: married. Yaitu kata yang artinya menikah. Hanya saja, apa arti kata-kata lainnya? Rahi tak pandai berbahasa. “Kamu ngomong apa?” Willis mendengkus. Dia mengacak-acak rambut Rahi sambil berucap, “Je t'aime.” Sumpah! Rahi ingin menangis. Kenapa dia pacaran dengan orang yang pandai berbahasa sementara dirinya sama sekali tidak bisa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN