“Apa?” Ratu ternyata sudah berdiri di sana dengan raut terkejut.
“Ratu?!”
“Kak Ratu?!”
Ucap Abian dan Rhea yang hampir bersamaan ketika mereka menoleh ke sumber suara.
“Maksudnya apa ini? kenapa kamu minta Mas Abian biayain kamu buat gugurin kandungan? Memangnya kamu hamil?” Ratu langsung memberondong beberapa pertanyaan sekaligus kepada Rhea yang masih terlihat lemas di depan pintu kamar mandi.
Langkah Ratu berangsur maju mendekati Rhea. Hanya saja, raut Ratu yang terlihat sangat marah membuat Abian khawatir sehingga Abian spontan mencegah Ratu dan menghadangnya. “Ratu, Ratu. Please tenangin dulu diri kamu, oke?” pinta Abian sambil memegangi tangan Ratu.
“Tenang gimana, Sayang?” Dad* Ratu terlihat naik-turun karena napasnya tidak beraturan. “Jelas-jelas aku denger sendiri tadi kalau Rhea mau gugurin kandungan.“
Rupanya, Ratu tidak mendengar sepenuhnya pembicaraan antara Abian dengan Rhea sebelumnya. Buktinya, dia masih memperlakukan Abian seperti biasanya dan hanya menyalahkan Rhea.
Abian sendiri seolah kehabisan kata. Ucapannya seolah tercekat di dalam kerongkongannya. Ia belum siap memberitahu keadaan yang sebenarnya karena baginya semua belum pasti.
“Maafin aku, Kak.” Suara lirih itu berasal dari Rhea. Wanita it uterus menunduk saat mengatakan, “Aku memang hamil. Aku bahkan sudah cek 3 kali dan hasilnya positif,” ucapnya dengan nada bergetar.
Ratu seketika melotot. “Hamil sama siapa kamu? Bikin malu keluarga aja!”
Rhea benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. Pegangan Abian juga terlepas dan hal itu digunakannya untuk segera menghampiri Rhea.
“Anak gak tahu diri!” Ratu terus memaki, bahkan memukul Rhea dengan keras.
“Maaf, Kak. Maaf,” ucap Rhea sambil menangis dan berusaha menangkis pukulan Ratu. Ia sendiri tidak bisa mengelak bahwa apa yang terjadi memang karena kecerobohan dan kebodohannya.
“Hamil sama siapa kamu, hah? Jawab!”
Mendengar Rhea hamil saja, Ratu sudah bertindak anarkis. Apalagi jika dia tahu bahwa anak dalam kandungan Rhea adalah anak dari calon suaminya. Rhea jelas tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Ratu.
“Berhenti, Ratu!” Tangan Abian mengepal kuat di samping tubuhnya. Melihat Rhea diperlakukan seperti itu oleh kakaknya sendiri membuat Abian merasa iba.
Abian lantas mendekat dan melerai mereka. “Berhenti! Jangan pukul Rhea lagi,” pintanya.
Entah mengapa, Abian merasa harus melindungi Rhea. Padahal sebelumnya, ia juga turut menyalahkan Rhea atas kehamilannya.
“Kamu jangan ikut campur, Mas. Anak ini perlu dikasih pelajaran biar paham. Kamu jangan mau biayain dia.”
Abian berpindah, ganti berdiri di depan Rhea untuk melindunginya dari amukan Ratu.
“Ya, kamu benar. Aku memang tidak akan membiayai dia untuk menggugurkan kandungannya. Tapi aku akan membiayai Rhea sampai bayi yang ada dalam kandungannya lahir.”
Ratu kembali terkejut dengan ucapan Abian yang diluar dugaannya. “Maksud kamu apa, Sayang?”
Abian menghirup udara dalam-dalam sebelum megatakan, “Ada kemungkinan jika Rhea mengandung anakku.”
Rhea yang berada di belakang Abian langsung protes. “Apa maksud kamu kemungkinan? Kamu pikir aku w************n yang biasa melakukan hal seperti itu dengan banyak pria?”
Abian tak menanggapi protes dari Rhea. Dia lebih fokus dengan ekspresi Ratu di depannya yang terlihat sangat syok.
“Kamu bercanda, kan, Sayang?” tanya Ratu.
“Maafin aku, Ratu.” Hanya itu yang mampu diucapkan Abian.
“Apa maksudmu maaf, Mas? Memangnya kalian pernah tidur bersama?” Ratu masih belum bisa percaya dan mencoba mencari alasannya.
“Iya,” jawab Abian lemas. “Kami memang pernah tidur bersama.”
Mulut Ratu menganga. Ia sangat syok sekaligus terkejut dengan pernyataan calon suaminya.
Abian kembali menjelaskan, “Malam itu hanya kecelakaan. Dan saat itu Rhea tidak tahu jika aku adalah kekasihmu. Jadi, tolong jangan salahkan Rhea sepenuhnya.”
“Biadap kamu, Mas!” Ratu sudah tidak bisa bersabar. Ia memukuli Abian dengan brutal sambil terus mengumpat. Air matanyapun akhirnya luruh. “Mana janji kamu yang bakalan ngelamar aku dalam waktu dekat? Mana janji kamu yang bakalan nikahin aku tiga bulan lagi? Mana?”
Abian menangkap kedua tangan Ratu dan berusaha menenangkan wanita itu. “Maafin aku, Ratu.”
“Kamu tega, Mas!” Ratu masih terus menyalahkan Abian. Ia juga masih berusaha memukuli Abian sebisanya.
Sikap temperamental Ratu, terkadang membuat Abian ragu untuk menjadikan Ratu sebagai istrinya. Belum lagi laporan-laporan dari Roy tentang kehidupan Ratu belakangan ini yang membuatnya ingin mengulur pernikahannya.
Sebenarnya Abian berniat memaafkan Ratu dan melupakannya. Hanya saja, melihat sikap temperamental Ratu, Abian memutuskan untuk membahasnya kali ini. “Kamu juga tega, Ratu?”
Ratu sempat terdiam, menunggu Abian berbicara lebih banyak.
“Kamu kira aku tidak tahu kalau kamu sering jalan sama laki-laki lain? Banyak mata yang aku kirim untuk mengawasimu.”
Ratu sendiri terlihat salah tingkah. Terlihat jelas matanya bergerak tidak beraturan ke kanan dan ke kiri. “Apa maksud kamu?” tanyanya berlagak polos.
Ya, kali ini Abian sudah tidak bisa bersikap lembut. Dia menghempaskan tangan Ratu dengan kasar saat berkata, “Aku tahu kamu sering jalan dengan banyak laki-laki. Kamu pikir aku bodoh? Aku hanya memaafkanmu karena aku pikir kita impas. Kita masih muda, dan masih ingin bersenang-senang. Oke, aku bisa memahami hal itu. Aku juga berpikir kamu akan berubah setelah menjadi istriku nanti. Begitu pula dengan aku yang berubah begitu kita menikah. Tapi … melihat sikap tempramentalmu itu, aku benar-benar muak. Apalagi kamu menyerang adik kamu sendiri.”
Disaat yang bersamaan, Roy datang ke ruangan Abian. Lalu, Abian segera memerintahkan, “Roy bawa Rhea pergi dari sini! Aku akan menyelesaikan masalahku dengan Ratu.”
Tanpa basa-basi, Roy langsung menyanggupi perintah atasannya itu. “Baik, Pak,” ucapnya tegas.
Roy lantas menggiring Rhea bersamanya. Bukan hanya menggiringnya keluar dari ruangan Abian saja. Melainkan Roy membawa Ratu sampai ke parkiran mobil. “Silahkan masuk,” ucap Roy sambil menunjuk mobil di depannya.
“Kita mau ke mana?” tanya Rhea penasaran.
“Pak Abian menyuruh saya untuk mengantarkan Anda ke rumah sakit. Katanya untuk memeriksakan kehamilan Anda.”
“Enggak! Aku enggak mau!” tolak Rhea cepat.
Namun, Roy dengan mudah membuat Rhea bersedia menuruti perintahnya. Tenaganya yang jauh lebih besar dari Rhea memudahkannya untuk memaksa tubuh kecil Rhea masuk ke dalam mobil.
Kini, Rhea hanya bisa merengut sambil melihat padatnya jalanan di dalam kendaraan. Ia tidak mengerti. Kenapa Abian menyuruh Roy membawanya ke rumah sakit. Padahal, jelas-jelas Abian meragukan jika janin dalam kandungan Rhea.
Apalagi pernyataan Abian yang mengatakan akan membiayai Rhea sampai melahirkan. Semua benar-benar membuat Rhea pusing.
“Apa sih yang diinginkan Abian sebenarnya? Kenapa dia tidak mau aku menggugurkan bayi ini?” Rhea terus berpikir dalam hati.
Hingga mobil yang dinaiki telah berhenti, Rhea baru sadar jika mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit.
“Silakan turun, Non!” perintah Roy sambil membukakan pintu Rhea.
Rhea menurut. Ia seolah tidak punya tenaga untuk melawan. Ia juga baru sadar jika belum mengisi perutnya apapun dari kemarin. Mungkin itu yang membuatnya sangat lemas.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya, nama Rhea terdengar dipanggil oleh petugas.
“Atas nama Rhea Zanetta?”
“Iya, saya,” jawab Rhea.
Rhea sendiri merasa gugup. Ini baru pertama kalinya ia pergi ke dokter kandungan. Apalagi tidak ada yang menemani seperti kebanyakan pasien yang berada di sekelilingnya.
Roy sendiri terlihat menunggu Rhea dari kejauhan. Pria itu sepertinya tidak berniat mengikuti Rhea masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
“Silakan duduk, “ perintah sang dokter dengan senyum ramahnya saat Rhea baru memasuki ruangan.
Dokter itu terlihat membaca data pasien yang ada di tangannya dan menanyakan berbagai hal kepada Rhea termasuk pertama terlambat menstruasi dan keluhan apa yang dirasakan.
“Kehamilan pertama, ya?” tanya sang dokter masih dengan senyum ramahnya.
“Iya, Dok,” jawab Rhea ragu.
“Suaminya mana? Gak ikut anterin?”
Pertanyaan yang dihindari Rhea akhirnya terdengar juga. Rhea semakin menunduk, seolah malu jika hendak menjawab apa adanya.
Meski berat, mau tidak mau Rhea harus berbicara jujur kepada dokter. “Saya enggak—“
“Maaf, telat.” Tiba-tiba Abian muncul dan masuk begitu saja ke ruang pemeriksaan dengan napas ngos-ngosan.
“Suaminya?” tanya sang dokter menyambut Abian.
Abian sempat menoleh sejenak ke arah Rhea. Meski ragu, pada akhirnya Abian mengangguk. “Iya, saya suaminya.”