Bab 10. Mempertahankan Janin

1052 Kata
“Gak usah sok-sokan peduli!” Rhea melepas tangan Abian dari pundaknya ketika mereka baru saja keluar dari ruang periksa. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat dan sengaja mendahului Abian. Abian sempat berdecak kesal menanggapi sikap Rhea. Namun, ia masih berusaha mensejajari langkah Rhea. Dia berlari kecil hingga langkah mereka sama. “Seharusnya kamu terima kasih, tau?” “Buat apa?” tanggap Rhea tanpa menoleh. “Aku udah rela ke sini buat pura-pura jadi suami kamu.” Langkah Rhea seketika terhenti. “Aku enggak perlu kamu pura-pura jadi suamiku. Aku cuma perlu uang kamu dan koneksi kamu buat gugurin kandungan ini.” Abian turut berhenti, menoleh ke Rhea. “Kalau janin dalam kandungan kamu bukan anak aku, sia-sia dong uangku buat kamu,” jawab Abian berlagak santai. Rhea semakin merengut, menghendakkan kaki dengan kuat sebelum kembali berjalan cepat. “Harus berapa kali, sih aku bilang kalau aku tidak pernah melakukan hal menjijikkan itu dengan banyak pria?” Abian kembali berusaha menyamai langkah Rhea. “Makanya … biarin anak itu lahir dan buat aku percaya kalau dia adalah anakku.” Langkah Rhea kembali berhenti. Kali ini ia sangat kesal dengan tanggapan Abian yang terlihat sangat santai. Dia berbalik dan menatap Abian dengan tatapan penuh permusuhan. “Kamu pikir hidupku mudah sepertimu? Apa kekuasaan yang membuatmu jadi menggampangkan semua hal? Kamu enggak pikirin gimana perasaan kak Ratu, keluargaku, keluarga kamu? Lalu, kalau anak ini lahir kamu mau buat apa? Mau banggain ke semua orang kalau kamu punya anak di luar nikah, gitu?” Ya, memang benar yang diucapkan Rhea. Abian juga sempat berpikiran seperti itu dan hampir setuju dengan pemikiran Rhea untuk menggugurkan janin itu. Hanya saja, sadar jika resiko menggugurkan bayi akan sangat berbahaya untuk sang ibu, Abian jadi urung mengikuti isi hatinya. Abian menghirup udara dalam-dalam sebelum berkata, “Itu bisa diatur. Aku punya koneksi dan kuasa, ingat?” “Terus … kamu mau bilang kalau ini adalah anak adopsi?” “Iya, kira-kira seperti itu.” Abian mengucapkannya seolah tidak pernah ada masalah dengan kehidupannya. “Emang enggak waras kamu!” Rhea segera berjalan cepat menuju ke mobil tanpa hiraukan Abian yang terus memanggil namanya. “Rhea, Rhea! Tunggu!” teriak Abian sama sekali tak digubris Rhea. Dia sempat berdecak kesal sebelum turut berlari megikuti Rhea. “Padahal aku sudah bela-belain ganti baju dan parfum biar dia enggak muntah, eh aku malah ditinggal,” keluhnya pelan. Rhea sendiri langsung masuk ke dalam mobil dan menutup pintu mobil dengan kencang. “Apa semua orang kaya seperti ini? Apa karena mereka punya uang, maka semuanya terlihat mudah? Ya kalau dia enak, bisa bebas keluar ke sana-ke sini. Sedangkan aku? Dikiranya 9 bulan itu sebentar, apa? Terus siapa yang mau nikah sama aku nanti kalau tau aku punya anak di luar nikah?” Rhea terus menggerutu di dalam mobil tanpa sadar Abian sebenarnya mendengarkan semua gerutuannya. Abian terkekeh. Memperhatikan raut Rhea yang merengut dari luar mobil membuatnya terlihat menggemaskan. Ia jadi bisa melupakan sejenak masalahnya. Abian memasukkan sebagian kepalanya lewat kaca jendela mobil yang terbuka saat mengatakan, “Mari buat perjanjian hingga anak itu lahir” tawarnya tanpa basa-basi. “Maksud kamu?” Rhea masih bertahan dengan raut merengutnya. Abian membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, duduk tepat di sebelah Rhea. “Tinggallah di apartemenku. Tidak akan ada yang berani menggunjingmu.” “Kamu gila?” protes Rhea sambil mendorong Abian menjauhianya. Bukan hanya protes dengan gagasan Abian, tapi, juga posisi duduk Abian yang terlalu dekat dengannya hingga tak menyisakan jarak. Abian kembali terkekeh menyadari jika Rhea masih tidak mau didekatinya. “Cuma itu satu-satunya cara agar tidak ada orang yang mengenalimu.” Ia menggeser tempat duduknya, member ruang untuk Rhea lebih banyak. “Memangnya kamu berani pulang dalam keadaan seperti ini? Apa kamu pikir Ratu akan diam saja dan merahasiakan ini dari orang tuamu?” Rhea terdiam, memikirkan semua ucapan Abian memang benar. Ia jadi tidak punya keberanian untuk pulang saat ini. “Kamu enggak penasaran hubunganku dan Ratu gimana?” tanya Abian disaat Rhea masih bergelut dengan pemikirannya. Sejujurnya, Rhea sangat penasaran. Ia dari tadi sangat gelisah memikirkan perasaan kakaknya. Disaat yang bersamaan Roy datang menuju mobil. Katanya, “Pak Abian mau pakai mobil ini? Kalau begitu saya pakai mobil yang dipakai Pak Abian ke sini tadi.” Abian mengangguk. “Iya, tolong bawa mobilku, ya!” Teringat sesuatu, Abian segera memerintahkan Roy sebelum pria itu menjauhinya. “Roy, tolong belikan sesuatu yang bisa dimakan Rhea.” “Baik, Pak.” Abian menyadari jika Rhea belum mengisi perut kembali setelah memuntahkan semuanya di kamar mandi tadi. Abian sendiri juga tidak tahu kenapa ia sangat peduli terhadap Rhea. Padahal, Rhea hanyalah wanita yang baru dikenalnya 3 minggu terakhir. “Bagaimana kak Ratu?” tanya Rhea tiba-tiba saat Roy sudah menjauh. Abian menghela napas panjang. “Aku dan Ratu sepakat mengundur pernikahan kita sampai kita berdua bisa membenahi diri. Aku sadar aku memang laki-laki bej*d. Begitu pula dengan Ratu yang sadar dengan semua kesalahannya.” “Kak Ratu enggak masalah dengan anak ini?” tanya Rhea. “Tentu saja tidak. Sama sepertimu, dia mau kamu menggugurkan kandungan itu.” “Kalau begitu gugurkan saja kandungan ini. Maka semua akan beres, Abian!” Rhea kembali mencoba meminta Abian untuk membantunya menggugurkan kandungannya. Abian menggeleng kuat. “Enggak.” Rhea jadi kesal. Wajahnya kembali merengut dalam sejekap. “Kenapa, sih? Apa mau kamu?” “Mau aku? Serius kamu nanya mauku?” tanggap Abian santai. Pria itu menoleh ke Rhea dan mendapati raut Rhea yang semakin merengut sambil terus memalingkan wajahnya ke luar jendela. “Aku mau kamu jadi istriku.” Tentu saja Abian tak berani mengucapkannya secara langsung. Ia hanya bisa mengucapkannya dalam hati sambil tersenyum. Meski baru 3 minggu mengenalnya, Rhea ternyata mampu menarik perhatiannya. Lalu, janin dalam kandungan Rhea seolah membuatnya merasa harus melindungi Rhea. “Apa maumu?” Pertanyaan Rhea baru menyadarkan Abian dari lamunannya. Pria itu menghirup udara dalam-dalam sebelum mengucapkan, “Aku mau kamu melahirkan bayi itu,” jawabnya singkat. Rhea semakin merengut dan memalingkan wajahnya. Wanita itu juga terus menggumamkan sesuatu yang membuat Abian semakin tersenyum lebar. “Seenak jidatnya aja dia ngomong,” gumam Rhea. Melihat Rhea memakinya seperti itu, bukannya kesal, justru membuat Abian tersenyum lebar. Lalu, Abian kembali mempertegas tawarannya. “Jadi, gimana? Masih mau pulang ke rumah kamu, atau tinggal di apartemenku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN