“Apa? Apa katamu?” Abian seketika membisu. Ingatannya tentang malam panas yang telah dilaluinya bersama Rhea seketika muncul.
Napas Abian menjadi tidak beraturan. Pria itu terlihat memijat pelipis bahkan menyugar kasar rambutnya beberapa kali sebelum kembali bertanya. “Kamu bercanda, kan?”
Rhea sendiri terus menunduk sambil mengusap cairan yang terus keluar dari matanya. “Aku gak pernah bercanda, Abian! Aku memang hamil.”
“Tapi kita baru melakukannya satu kali, Rhe.” Abian masih mencoba untuk menyangkal.
“Hari itu adalah masa suburku. Kamu sendiri tidak memakai pengaman, kan?”
“Tapi selama ini aku aman-aman saja. Kenapa kamu tidak memperhitungkan malam itu?”
“Memperhitungkan, katamu?” Rhea menertawakan ucapan Abian sejenak sebelum kembali berkata, “Kamu kira aku pelac*r yang terbiasa melakukan hal menjijikkan seperti itu? Malam itu adalah sebuah kecelakan! Justru kamu yang seharusnya berpikir waktu itu sebelum meniduriku!” tegas Rhea.
“Argh! Sial!” Abian akhirnya kehilangan kendali. Ia menggebrak meja, melempar benda-benda kecil di atasnya sambil terus mengumpat. “Kamu sengaja jebak aku, kan?” tuduhnya.
“Maksud kamu?” Tentu saja Rhea marah mendengar tuduhan Abian. Apalagi Abian terkesan menyalahkan Rhea atas apa yang terjadi. “Apa untungnya buat aku? Yang ada malah aku akan kehilanan masa depanku!”
“Alah, alasan! Ini, kan, tujuan kamu?! Kamu berharap aku akan bertanggung jawab. Iya, kan?”
Rhea tak bisa lagi menahan amarahnya. Tuduhan Abian benar-benar menyakiti perasaannya. Dia segera menampar Abian sekuat tegana. “Jaga mulut kamu! Aku tidak serendah itu!”
Abian sendiri juga kehilangan kendali. Ia semakin marah karena Rhea menamparnya begitu keras. Ia sudah sangat pusing dengan tekanan pekerjaan. Ditambah lagi masalah yang datang dari Rhea, semakin membuatnya kehilangan kendali.
“Dasar kamu!” Tangan Abian sudah terangkat ke atas, hampir menampar balik Rhea.
Namun, wanita itu lebih dulu terjatuh ke lantai sebelum Abian berhasil melakukannya.
Raut Abian langsung berubah menjadi panik saat tahu jika Rhea tidak sadarkan diri.
“Rhea, Rhea. Bangun, Rhe!” ucap Abian sambil menguncang tubuh Rhea yang sudah terbaring di lantai. Abian bahkan baru menyadari betapa pucatnya wajah Rhea ketika ia berhasil membalik tubuh Rhea menghadap ke arahnya.
“Nara! Tolong!” Abian spontan meminta pertolongan pada Nara sekertarisnya.
Meja Nara yang berada tepat di depan ruangan Abian, tentu mendengar teriakan Abian. Wanita itu segera berlari masuk ke ruangan Abian dan langsung terkejut saat melihat pemandangan di depannya. “Ada apa ini, Pak? Kenapa dengan Rhea?”
“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba dia pingsan. Bantu aku untuk menggendongnya!”
“Baik, Pak.”
Akhirnya, tubuh Rhea terpaksa dibaringkan di sofa panjang yang berada di dalam ruangan Abian. Nara langsung melepaskan sepatu dan melonggarkan pakaian yang bisa menyesakkan Rhea. Dia berlari keluar ke mejanya dan kembali membawa semacam minyak angin yang dipercaya ampuh untuk membangunkan orang pingsan.
Nara langsung menggosokkan minyak angin itu pada pelipis, telapak kaki Rhea, dan juga dekat indra penciuman Rhea.
Dia juga hendak menggosok minyak angin itu pada perut Rhea. Namun, mendadak Nara berhenti karena sadar jika bosnya itu masih berada di sana dan mungkin akan melihat perut Rhea.
“Maaf, Pak. Boleh Pak Abian keluar sebentar? Saya mau membuka baju Rhea.”
Bukannya menuruti permintaan sekertarisnya itu, Abian malah menjawab, “Buka aja. Lagian juga aku udah pernah lihat seluruh tubuhnya.”
“Apa?” Nara sangat terkejut mendengar pernyataan Abian. Lalu, saat dia menoleh ke arah Abian, bosnya itu terlihat salah tingkah sambil menutup mulutnya rapat-rapat.
Rupanya, kepanikan Abian, membuatnya berbicara tanpa berpikir. Ucapannya seolah mengalir begitu saja tanpa saringan.
“Iya … maksudnya buka aja. Enggak masalah kan aku tetap di sini? Aku enggak akan lihat.”
Nara mengangguk ragu menyetujui ucapan Abian. “I-iya, Pak.”
Ada yang aneh bagi Nara. Hanya saja ia tidak berani bertanya lebih jauh. Kondisinya juga sangat tidak memungkinkan.
Tak berselang lama, Rhea akhirnya membuka mata. Dia berusaha bangkit sambil memegangi kepalanya. “Aw!” keluhnya.
“Kamu sudah sadar, Rhe?” Abian justru terlihat lebih heboh daripada Nara. Laki-laki itu langsung mendekat bahkan berusaha menggantikan Rhea untuk memijat kepalanya.
Namun, Rhea langsung mendorong tubuh Abian untuk menjauhinya. “Kamu bau, Abian! Sana jauh-jauh,” ucapnya sambil menutup hidungnya.
Melihat hal itu, Nara semakin bingung. Rhea terlalu santai untuk ukuran karyawan kepada atasannya. Sikap Abian juga dinilai berlebihan. Terlebih, celetukan Abian sebelumnya masih terngiang di otak Nara.
Sadar jika Nara juga ada di sana, Rhea segera meralat ucapannya. “Maksudku Pak Abian.”
“Lagi?” tanya Abian bingung. Rhea kembali mengeluhkan hal yang sama tentang aroma yang diciumnya. Padahal sebelumnya tak satu orangpun di sekitarnya yang mengeluh tentang aroma Abian.
Abian langsung bertanya kepada Nara untuk memastikan. “Nara, memangnya kamu mencium bau gak sedap?”
Nara spontan menggeleng. “Tidak, Pak. Saya juga tidak mencium bau apa-apa di sini. Semuanya seperti biasanya.”
“Tuh, kan … hidung kamu tuh yang bermasalah,” ucap Abian tertuju pada Rhea.
“Tapi ini beneran bau,” ucap Rhea masih terus menutup hidung. Ia juga seperti menahan sesuatu yang hendak keluar dari mulutnya.
Lalu detik selanjutnya, ia merasa sudah tidak tahan. Ia segera berlari ke dalam kamar mandi yang ada di ruangan Abian tanpa meminta ijin.
Terdengar jelas dari tempat Abian dan Nara jika Rhea memuntahkan isi perutnya di dalam kamar mandi.
Abian sempat melirik ke arah Nara untuk mengetahui ekspresi apa yang tercipta. Karena Abian sadar jika Nara pasti tahu dengan apa yang sedang terjadi dan takut sekertarisnya itu akan membeberkan masalah ini.
Abian hanya bisa mengusap kasar wajahnya berkali-kali sambil menunggu Rhea keluar dari kamar mandi.
Nara juga menyadari jika atasannya itu sangat cemas. Dia berencana meninggalkannya agar Abian dan Rhea bisa berbicara leluasa tanpanya. Lalu dia menawarkan, “Pak, saya buatkan teh hangat dulu buat Rhea, ya?”
Abian mengangguk. Lalu, sebelum Nara berhasil mencapai pintu, dengan ragu Abian barkata, “Nara, tolong rahasiakan yang terjadi saat ini. Terutama rahasiakan dari papa.”
Nara yang dari tadi tidak terlalu banyak berbicara langsung mengangguk tegas. “Baik, Pak. Bapak tidak usah khawatir.”
Abian terlihat menghela napas lega. “Terima kasih, Nara. Dan tolong kamu panggilan Roy ke sini.”
“Baik, Pak.” Nara mengangguk dan kembali berjalan menuju pintu.
Tak berselang lama Rhea keluar dari kamar mandi. Abian yang sejak tadi menunggunya dengan cemas, buru-buru menghampirinya. “Rhea gimana keadaan kamu?”
“Stop!” Ternyata Rhea lebih dulu menghentikan Abian dengan menganggkat telapak tangan ke arah Abian mendadakan perintah berhenti. “Jangan mendekat, Abian. Kamu buat aku pengen muntah.”
“Astaga, Rhea ….” Abian spontan mengacak kasar tatanan rambutnya.
Rhea sendiri juga tidak mengerti. Kenapa janin dalam perutnya seolah tidak menghendaki jika Abian mendekatinya. Apa anak dalam kandungannya juga membenci Abian?
Rhea menegaskan kembali tujuannya datang ke ruangan Abian. “Abian, aku ingin bicara serius tentang ini,” tunjuk Rhea pada perutnya yang masih rata.
Rhea menangkap raut khawatir sekaligus cemas dari Abian. Namun, ia tetap melanjutkan kalimatnya. “Aku minta kamu membiayaiku untuk menggugurkan janin ini.”
“Apa?!”
Sialnya, pertanyaan itu bukan berasal dari mulut Abian. Melainkan dari seseorang yang telah berdiri di ambang pintu dengan raut terkejutnya.