Benci beda tipis dengan cinta. Siapa sangka orang yang membenci diri kita itu sangat mencintai kita. Dicintai adalah hal yang terindah dalam hidup seseorang. Sebab, merasa dihargai dan disayangi.
Juna masih duduk memandangi Methalia yang tengah memejamkan mata. Ia berpikir, kenapa membenci Methalia? Padahal, tak pernah bertemu dengan gadis itu. Pertanyaan itu tak bisa dijawab olehnya. Selama ini, ia tak pernah dekat dengan wanita manapun. Lagi pula, ia tak percaya dengan cinta. Buat apa dekat dengan wanita.
Tanpa sadar, Juna mengelus pipi Methalia. Jarinya turun ke bibir pink alami dan menatap tanpa henti.
"Aku tidak mengerti." gumam Juna. "Racun apa yang telah kau berikan padaku?"
Deg
Sorot mata Juna terpaku pada bibir pink alami milik Methalia. Ia mendekat perlahan dan menciumnya.
Cup
Juna mencium lembut bibir Methalia yang begitu menggoda dan terbuai oleh ciuman sepihaknya.
"Aku sudah gila…! Dia rubah, Juna," gumam Juna menyadarkan pikirannya.
Juna berdiri menuju balkon kamar sakit dan menatap langit yang di taburi bintang. Kemudian menoleh ke arah Methalia. Bayangan gadis itu tersenyum berada di langit. Ia melotot kaget dan mengusap kedua matanya berkali-kali.
"s**t… aku berimajinasi. Rubah sialan," cicit Juna.
Juna tak habis pikir, kenapa sekarang di setiap detiknya selalu terbayang wajah Methalia?
"Sial! Kenapa aku selalu ingin melihatnya? Dasar kau bodoh, Juna."
Karena tidak tahan, Juna memilih pergi dari kamar itu. Ia tak ingin berlama-lama berada satu ruangan dengan Methalia. Rubah licik seperti gadis itu tak patut untuk di perhatikan lebih
°°°°°
Mentari pagi bersinar terang. Burung bernyanyi bersahutan satu sama lain. Gadis yang masih setia dengan alam mimpinya itu tersenyum dalam tidurnya. Entah mimpi apa dia sampai terbawa suasana dalam dunia nyata.
Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar keras. Pintu dibuka olehnya dengan pelan. Sosok rupawan itu perlahan mulai mendekat dan meletakkan kotak makan diatas meja.
Perlahan, ia duduk dan mengamati putri tidur itu. Ada sedikit rasa lega karena melihatnya baik-baik saja.
"Kau selalu mengganggu kehidupanku."
Sosok itu adalah Juna. Ia rela datang pagi untuk menjenguk Methalia. Ada sisi malaikat yang mendorongnya datang ke rumah sakit.
Ceklik
Suara pintu yang terbuka membuat Juna menoleh. Ia melihat Dokter Indra yang tengah tersenyum padanya.
"Aku datang untuk melihat perkembangannya. Tumben kau ke sini."
Juna hanya diam tak menjawab pertanyaan Dokter Indra.
Dokter Indra melirik kotak makan di atas meja. "Kau bahkan membawa bubur."
Juna mengepalkan tangannya kuat. Dokter Indra selalu ikut campur urusan pribadinya. Hal itu membuatnya jengah.
"Jangan tanya lagi."
Dokter Indra menghela nafas panjang, "Kau jatuh cinta padanya."
"Mana ada?" Jawab Juna cepat.
Juna tak mungkin menyukai gadis seperti Methalia. Lagi pula, pasti gadis itu sudah menjajakan tubuhnya kepada lelaki manapun.
"Dia cantik." Dokter Indra memrofokasi Juna.
Juna mengepalkan tangannya kuat. Rubah seperti Methalia cantik. Dokter Indra sangat buta. Apakah tidak ada wanita lain yang lebih cantik dari Methalia.
"Selera rendah," ucap Juna dingin.
Dokter Indra tersenyum, "Barang bagus jangan di buang. Dia langka."
"Ckck… langka? Bulshit… dia jalang."
Jalang? Apa dia berpikir semua wanita itu sama? Dia kan masih mulus. Aku jamin 100% perawan.
Dokter Indra mendekati Juna dan berbisik, "Berikan padaku. Aku akan menikahinya."
Deg
Tangan Juna mengepal kuat. Emosinya meledak. Wajahnya merah padam. Seketika, aura hitam keluar dari tubuhnya. Dokter Indra langsung mundur ke belakang. Padahal, ia hanya berniat untuk menjahili Juna. Tak disangka, responnya sangat besar.
"Akan ku potong lidahmu jika kau berkata lagi."
Jeder
Seperti disambar petir di siang bolong. Tanpa sadar, ia memegang mulutnya dan bergetar hebat.
"Dia milikku," ucap Juna penuh penekanan.
Astaga... seperti iblis.
"Hanya milikku." Aura dingin menyelimuti ruangan itu seketika. Dengan gugup Dokter Indra mendekat.
"Aku kan sudah menikah. Mana mungkin menikahi gadis lagi," ucap Dokter Indra canggung sambil menggaruk tekuk lehernya yang tak gatal.
Sret
Juna menoleh dan menatap tajam Dokter Indra bagai elang yang ingin melahap mangsanya. Dokter Indra pun hanya membalas dengan senyuman.
Tiba-tiba, Methalia bangun dan sudah duduk dengan manis.
"Dimana ini?"
Deg
Juna diam mematung dan masih menoleh ke arah Dokter Indra. Ekspresi yang semula dingin berubah menjadi panik. Lalu, ia memberi kode kepada Dokter Indra.
Dengan sigap, Dokter Indra mengalihkan perhatian Methalia.
"Anda sudah bangun. Ini di rumah sakit," ucap Dokter Indra sambil mengibaskan tangannya di bawah menyuruh Juna keluar.
"Rumah sakit mana? Mana ada? Aku di rumah," ucap Methalia masih setengah sadar.
Karena Methalia belum sadar sepenuhnya. Hal itu digunakan Juna untuk keluar ruangan. Ia pun berjalan pelan menuju pintu.
"Tunggu! Kau siapa?" tanya Methalia sambil mengusap kedua matanya.
Deg
Sialan, batin Juna sambil berhenti.
"Dia kurir," ucap Dokter Indra spontan.
"Benar, saya adalah kurir," sambung Juna.
Methalia membuka matanya lebar - lebar dan melihat sekeliling. Sedangkan Juna melangkahkan kakinya keluar ruangan dan bernafas lega.
"Aku selamat. Tapi, kenapa aku jadi seperti ini?" gumam Juna masih tak mengerti dengan dirinya.
Juna bersandar di depan pintu agar mendengar pembicaraan mereka.
Sedangkan kedua orang yang berada di dalam sedang berdebat hebat.
"Aku mau keluar!" teriak Methalia.
"Tapi, Anda harus dirawat." Dokter Indra berusaha menasehati.
Methalia berdiri di atas ranjang. "Siapa yang membawaku ke rumah sakit? Nanti akan ku cekik dia, ku jadikan adonan. Aku gulung dia," ucap Methalia sambil berteriak dan berkacak pinggang.
Dokter Indra ingin tertawa melihat aksi Methalia yang sangat menghiburnya. Namun, tidak dengan Juna. Ia begitu suram dan bahkan tersenyum devil. Entah rencana apa yang disusunnya lagi.
"Anda harus istirahat sehari," ucap Dokter Indra sambil mendekati Methalia.
Methalia langsung duduk dan melipat kedua tangannya dengan wajah cemberut. "Jangan memeriksaku. Aku tak sakit," ucap Methalia sambil memalingkan muka.
"Saya hanya ingin memeriksa denyut nadi Anda, Nona." Indra berusaha membujuk Methalia yang sangat keras kepala.
"Mau aku pukul?" ancam Methalia sambil menirukan gerakkan tinju.
"Jangan khawatir, saya tidak akan melakukan apapun. Lagi pula, saya sudah menikah."
Methalia hanya diam dan tak menjawab perkataannya. Dokter Indra langsung melakukan tugasnya.
"Anda harus terapi."
Deg
Jantung Methalia berdetak kencang saat dokter itu memintanya untuk terapi.
"Terapi bukan hal sulit. Anda bisa sembuh. Itu hanya kecoa saja."
Deg
Mendengar nama kecoa membuat jantungnya bergerak cepat sekali. Tubuhnya langsung gemetar. Dokter Indra panik saat melihat reaksi Methalia.
"Pejamkan mata Anda. Tarik nafas dalam-dalam. Jangan takut. Tenang…."
Perlahan, gemetar yang ada di tubuhnya mulai menghilang.
"Maafkan saya," ucap Dokter Indra.
Methalia tersenyum, "Tak apa? Aku mengerti. Hanya saja, aku teringat tadi malam."
"Saya akan pergi. Makanlah bubur yang ada di atas meja. Dan beristirahatlah."
Methalia mengangguk, "Terimakasih, Dok."
Dokter Indra keluar ruangan menghela nafas lega.
"Lama sekali,"
"Shit.." umpat Dokter Indra sambil memegang jantungnya.
Juna masih menunggu Dokter Indra karena ingin pergi menengok Darren. Sudah lama, ia tak mengunjungi sepupu sekaligus temannya itu. Kalau bukan karena Tania jalang, pasti Darren masih sehat bugar.
Mereka berdua berjalan beriringan. Keheningan terjadi diantara keduanya sampai masuk ke dalam ruangan dimana Darren di rawat.
Sosok Darren sangat berarti di mata Juna. Berulang kali, Juna mengatakan pada Derren, bahwa Tania bukan gadis yang baik. Namun, siapa sangka, Derren begitu mencintai gadis jalang itu.
Berbagai alat terpasang di tubuh lemah Darren. Alat itu sudah menemaninya selama 6 tahun. Sebenarnya, Darren sudah tak ada harapan lagi untuk hidup. Namun, Juna memaksa Dokter Indra agar alat itu tetap terpasang.
"Dia menderita, Juna," ucap Dokter indra.
"Aku yakin dia akan bangun."
"Kau jangan egois, tubuhnya sudah tak mampu bertahan. Ini sudah 5 tahun."
Juna duduk dengan lemas dan memegang tangan Derren. Ia tak ingin kehilangan lelaki di depannya itu.
"Dia segalanya. Kalau bukan jalang itu. Pasti dia tidak berbaring seperti ini.
Flashback
Dari kejauhan, ada seorang lelaki yang menatap kekasihnya yang sedang bercanda dengan anak kecil. Mereka sudah bersama selama 1 tahun. Rasa cinta yang begitu mendalam membuat lelaki itu selalu melakukan apa saja demi dia.
Juna berjalan mendekati lelaki yang tengah duduk di kursi roda. Ia kemudian duduk di sampingnya. Hatinya menghangat kala melihat senyum yang terpampang jelas di kedua sudut bibirnya.
"Kenapa kau sangat mencintainya, Darren."
"Cinta itu tak butuh alasan, Juna. Tunggulah, pasti ada seseorang yang akan datang kepadamu."
"Cih, aku tak akan jatuh cinta," ucap Juna dingin.
Darren tersenyum, "Setiap orang butuh cinta, begitu juga dengan dirimu."
Juna menatap kekasih Derren dengan penuh selidik. Ia yakin, kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu. Dilihat dari logatnya saja sudah tak tulus.
"Kau percaya dengannya?"
Darren menoleh, "Aku percaya. Cinta butuh kepercayaan, Juna."
Pemikiran bodoh
Juna berpikir bahwa Darren terlalu di butakan oleh kekasihnya Tania Love. Seorang model papan atas mau mencintai Derren yang tidak sempurna. Itu tidak masuk akal.
"Kau buta, Darren."
Perkataan Juna memang pedas. Namun, ada benarnya. Akan tetapi, Darren menolak kebenaran itu.
"Aku cacat karena kecelakaan itu," ucap Derren sambil menunduk.
Juna merasa bersalah, "Dengar, Dokter bilang, kau masih bisa sembuh. Kakimu masih bisa untuk berjalan.
"Aku tahu. Aku bersyukur karena Tania mau bersamaku meski cacat."
Dua bulan yang lalu, Darren mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kakinya lumpuh. Ia sempat berpikir mengakhiri hidupnya. Sebab, takut Tania meninggalkan dirinya.
Tiba - tiba, Tania datang menghampiri mereka. Ia tersenyum lembut ke arah Darren.
"Aku harus pergi ke Kota A dan menginap disana. Kau tidak keberatan, jika aku tidak menemanimu," ucap Tania manja.
Darren mengangguk, "Tentu saja. Lagi pula, pasti kau sibuk. Terimakasih sudah mengajakku jalan - jalan di taman."
"Sama - sama, sampai jumpa, Darren," ucap Tania sambil memeluk Darren. "Jaga dia untukku, Juna," imbuhnya sambil pergi.
Juna menatap kepergian Tania karena curiga ada sesuatu yang telah di sembunyikannya. Dari kejauhaan, ia melihatnya sedang menerima panggilan misterius.
Juna langsung bangkit. "Aku ada urusan."
"Hei, siapa yang menjemputku?!" teriak Derren.
Juna berbalik arah, "Aku akan menghubungi sopirmu."
Ucap Juna sambil pergi meninggalkan Darren. Ia kemudian mengetik pesan di ponselnya.
Jemput Darren sekarang. Aku ada urusan.