Episode 7

1668 Kata
Anak-anak berlari dan bermain satu sama lain. Tetes demi tetes air mengalir di mata Methalia. Rasa sedih kehilangan orang tua membuatnya teringat kembali. Begitu pilu dan sesak kala itu. Orang yang dicintainya meninggalkan sendirian.  Hidup Methalia sangat menderita dari kecil. Ia ditinggal, oleh orang tuanya saat berumur 7 tahun. Yang di ingatnya hanya berita hancurnya pesawat yang ditumpangi oleh kedua orang tua gadis itu. Sesak, sungguh sangat sesak dadanya seperti tak bisa bernafas. Seakan ditusuk ribuan jarum yang tak terlihat.  Bunda Linda melihat perubahan wajah Methalia dan menghampirinya. "Kau mengingat mereka," tanya Bunda Linda.  Wanita berusia 50 tahun itu mengusap air mata Methalia dengan lembut. "Hidup seseorang sudah ditakdirkan. Jangan merasa sedih, Thalia." Methalia mengangguk, "Thalia tak mengingat mereka, Bunda." Methalia berkata dusta agar tidak membuat wanita di depannya khawatir. "Ayo! Kita duduk di bangku itu," ucap Methalia sambil menuntun Bunda Linda.  "Aku tahu, kau mengingat mereka," ucap Bunda Linda sambil duduk. "Kau tak bisa bohong padaku, Thalia." Methalia duduk di samping Bunda Linda. "Thalia sudah hampir lupa wajah mereka, Bunda. Kebakaran rumah itu membuat kenangan mereka sirna." Setelah kematian orang tuanya, Methalia harus mengalami hal pahit karena rumahnya terbakar habis oleh si jago merah.  Bunda Linda memegang tangan Methalia. "Anggap aku sebagai ibumu. Kau tidak sendirian, Thalia. Hidup sudah diatur oleh tuhan. Sebagai manusia, kita harus menjalaninya dengan baik. Bersyukur adalah kunci dari segalanya. Dengan bersyukur, hidup pasti lebih mudah." Apa yang dikatakan Bunda Linda Benar? Methalia harus bersyukur dengan melupakan semua kejadian masa lalunya. Kenangan buruk itu tak akan diingatnya lagi. "Terimakasih, Bunda," ucap Methalia. Bunda Linda tersenyum, "Ngomong-ngomong, kapan kau akan menikah?"  Methalia melotot kaget, "Bagaimana bisa Bunda berkata seperti itu?" "Hey, menikah adalah impian setiap gadis. Kau harus menikah. Umurmu sudah 25 tahun, Thalia." Methalia cemberut, "Tidak ada yang mau dengan gadis sepertiku." Bunda Linda mencubit hidup Methalia. "Siapa bilang? Kemarin ada yang mencarimu."  Methalia melotot kaget, "Siapa? Bunda jangan mengada-ada." "Siapa lagi kalau bukan Alroy," ucap Bunda Linda Spontan. Methalia tak menyangka, Alroy akan datang ke panti asuhan untuk mencarinya. Atau mungkin, dia ada masalah. Selama ini, dia baik-baik saja.  "Sepertinya, dia menyukaimu, Thalia,"  Deg Methalia tersenyum canggung. Tidak mungkin Alroy menyukai dirinya. Bunda Linda terlalu berlebihan. "Bunda, jangan mengarah kesana." Bunda Linda tertawa dan memeluk Methalia dari samping.  "Kau cantik, baik, tulus, penyayang dan sabar. Pasti, dia menyukaimu. Bunda bisa melihat kalau Alroy begitu cinta padamu." Methalia mendengus kesal. Ia tak mau jika Alroy menyukainya. Lagi pula, mereka adalah teman. Teman tidak boleh menyukai temannya sendiri.  Methalia berdiri, "Thalia akan cari udara segar, Bunda."  Methalia berlari meninggalkan Bunda Linda. Ia tak mau di tanya mengenai perasaanya kepada Alroy. Gadis itu tahu sifat Bunda Linda seperti apa.  Sedangkan Bunda Linda hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu. Ia sangat senang karena Methalia tumbuh menjadi gadis yang kuat dan tegar dalam menghadapi sukarnya kehidupan.  Bunda Linda menatap langit yang mulai berubah. Ia kemudian tersenyum, "Anakmu sangat cantik, Lidya. Dia tumbuh jadi gadis yang kuat." Sementara itu, Methalia berjalan menyusuri lokasi panti asuhan yang telah ditinggalinya kurang lebih 10 tahun itu. Ia mengingat kenangan-kenangan indah bersama anak-anak lain.  Senyum merekah tercetak jelas di sudut bibirnya. Kenangan indah itu tak akan pudar begitu saja. "Terimakasih, Tuhan. Meski mereka pergi. Tapi, kasih sayang yang kau curahkan padaku berlipat," gumam Methalia pergi ke tempat Bunda Linda. Methalia menghampiri Bunda Linda di bangku tempat mereka duduk. Ia pamit akan pulang karena hari sudah sore.  "Sampai jumpa, Bunda," ucap Methalia sambil mencium pipi Bunda Linda dan pergi menuju motor yang diparkir tak jauh dari sana.  Methalia menaiki kendaraannya dengan santai. Ia sedikit memikirkan perkataan Bunda Linda mengenai Alroy. Lelaki itu tak mungkin menyukainya. Karena, ia hanya gadis miskin yang tak punya apa - apa.  "Bunda terlalu berlebihan," gumam Methalia.  Tak terasa, ia sampai rumah. Matahari pun sudah tenggelam. Langit yang cerah di ganti dengan bintang yang bertabur di langit.  Gadis itu masuk dan menaruh tasnya di sofa. Ia langsung menuju ke dapur untuk memasak makanan. Perutnya yang keroncongan minta di isi.  Barren Company Juna masih berkutat dengan berkasnya. Padahal, hari sudah mulai gelap. Ia masih bertahan di posisinya.  Juna berdiri dan berjalan menuju jendela kaca. Ia melihat kerlap kerlip bintang di langit. Hari ini, terasa sangat lama baginya. Padahal, kemarin hari berlalu dengan cepat. Apa karena ada Methalia?  Juna menggelengkan kepala menepis gadis itu dari pikirannya. Ia kemudian mengambil ponsel di sakunya.  Call Rubah Sialan Tut Tut Juna kesal karena Methalia tidak mengangkat panggilannya. Sepertinya, gadis itu harus di tekan lebih kuat lagi.  Call Rubah Sialan "Halo, Thalia sedang makan malam, Bunda." "Lupa denganku, Sayang," ucap Juna tersenyum devil. Deg "Kau lagi! Mau berkelahi? Jangan mengganggu hidupku!" "Aku penggemarmu," jawab Juna  Tut Tut Juna memutuskan panggilan sepihak. Ia tersenyum devil karena senang menjahilinya. Malam ini, ia akan beraksi untuk menghukum gadis itu. "Kau tidak bisa lari dariku," gumam Juna. Juna akan membalas perbuatan Methalia karena berani menampar pipi dan menginjak kakinya. "Aku saja memuliakan tubuhku. Aku tak ingin tubuhku berbekas. Kau harus membayarnya, Thalia," gumam Juna sambil melihat wajahnya Juna keluar dari ruangannya. Ia berjalan mengarah ke koridor dan menuju parkiran. Malam ini, dirinya akan beraksi menghukum Methalia Sedangkan Methalia bergerak gelisah setelah menerima panggilan itu.  Ia mencoba menghubungi Diana dan Sinta. Namun, nomor keduanya tak aktif. "Teman macam apa mereka. Kenapa tak menjawab ponselnya? Bukankah mereka akan datang kesini," gumam Methalia sambil menggigit kukunya. "Pasti akan terjadi sesuatu. Aku yakin itu," imbuhnya. Methalia keluar dari rumahnya. Ia menunggu kedatangan Diana dan Siska. Sudah pukul tujuh malam mereka belum datang.  Juna melihat Methalia dari kejauhan. Ada raut wajah gelisah yang melanda gadis itu. Ia mengamati setiap inci tubuh Methalia. Ada yang berbeda dengannya.  Gadis itu terlihat sangat cantik sekali. Baju santai yang dipakainya membuat kecantikannya menonjol. Apalagi, rambutnya yang tergerai panjang sampai ke pinggul. "Dia cantik. Aku tak menyadarinya," gumam Juna. Methalia mondar mandir melihat jalanan. Ia menunggu kedatangan kedua sahabatnya itu. Sesekali, ada lelaki lain yang meliriknya. Gadis itu hanya acuh saja. Melihat hal itu, emosi Juna memuncak hebat. Tanpa sadar, mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak rela Methalia di tatap oleh lelaki lain. "Mereka menatap milikku," gumam Juna dengan penuh penekanan.  Menurut Juna, Methalia adalah miliknya. Sebab dia sudah terlibat dengan dirinya. Karena kalut dengan emosi yang masuk di dalam pikirannya, ia tak sadar kalau Methalia sudah masuk ke dalam rumah.  Dengan  perlahan, Juna mendekati rumah itu dan masuk lewat pintu belakang rumah. Ia melihat Methalia mematikan lampu ruang tengah. Ia bersembunyi di balik tembok. "Kenapa suasana rumahku jadi aneh? Jangan-jangan ada hantu," gumam Methalia. Methalia langsung masuk kamar dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia bergumam tidak jelas. Juna menghampiri perlahan dan membuka paksa selimut itu. Methalia langsung berteriak keras. "Hantu!" teriak Methalia. Rasa senang menyelimuti tubuh Juna saat melihat Methalia yang tengah ketakutan. "Jangan takut, Sayang." Deg Jantung Methalia seperti berhenti berdetak. Suara ini persis dengan orang asing yang menghubunginya tadi. Ia langsung bangkit dari tidurnya dan turun dari ranjang sambil menatap lelaki itu. Juna memakai topeng untuk menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali oleh Methalia. "Kau penjahat. Pergi dari sini!" teriak Thalia sambil berkacak pinggang. Juna tertawa melihat aksi Methalia. Ia sangat terhibur. Biasanya, gadis itu akan menaruh tembok yang besar untuk membatasi dirinya.  "Dasar aneh." Juna berhenti tertawa dan menatap Methalia dengan penuh Intimidasi. "Akan ku congkel matamu jika kau terus menatapku dengan pandangan menusuk," ancam Methalia.  Tak kenal takut. Sungguh rubah ajaib,  batin Juna Ini orang gila kali, ya... pasti karena banya menonton film action. batin Methalia. Juna mendekat dan menepis jarak keduanya. Methalia langsung mundur sampai ke tembok.  "Kau terjebak, Sayang." "Mana mungkin? Ini rumahku. Aku masih punya seribu cara untuk lepas darimu. Pergilah… sebelum aku berubah jadi monster yang menakutkan." Methalia mulai melayangkan tinjunya di perut Juna. Namun, ia menangkisnya.  Menyebalkan. Dia bisa menangkisnya. Batin Methalia sambil melayangkan pukulan kedua dan Juna menghindarinya. Tak berhasil. Sial! Methalia tersenyum devil. Ia kemudian melayangkan kakinya ke daerah vital Juna. Namun, Juna bisa menebak jalan pikiran gadis itu. Sebelum, dia bertindak. Maka, ia akan melakukan sesuatu untuk mencegahnya.  Dengan gerakan cepat, Juna mengunci kaki dan tangan Methalia dengan tubuhnya.  "Apa yang kau lakukan, b******k! Lepaskan aku!" teriak Methalia. Juna tersenyum puas dan mengeluarkan botol bening yang berisi kecoa. Dirinya tahu betul kalau Methalia sangat tidak menyukai kecoa. Gadis itu bergidik ngeri ketika melihat botol tersebut. Tangannya gemetar. Tubuhnya pucat pasi, mulutnya kering dan dadanya sakit. Ia phobia dengan kecoa. "Sepertinya, menyiksamu sedikit adalah hobiku, Sayang." Methalia menggelengkan kepala saat melihat Juna mengeluarkan kecoa itu dari dalam botol. Dirinya kesulitan bernafas dan pingsan seketika. Juna langsung menangkap tubuh Methalia. "Hei, bangun. Kau jangan pura-pura pingsan." Juna menepuk pelan pipi Methalia Tidak ada reaksi dari Methalia. Tubuhnya sangat dingin. Nafasnya tidak terdengar jelas.  "Sial," gumam Juna sambil membawa Methalia keluar rumahnya. Juna masuk mobil dan menaruh Methalia di samping kemudinya. Ia langsung bergegas menuju rumah sakit milik keluarga Barren. "Bertahanlah, bodoh." Mobil Juna melesat cepat. Ia hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai lokasi dan langsung menggendong Methalia yang masih pingsan serta berteriak memanggil dokter.  Para perawat berhamburan datang. Mereka keheranan melihat pria bertopeng membawa seorang gadis pingsan. "Lakukan yang terbaik. Aku Juna," ucap Juna sambil membuka topengnya. Dokter itu langsung datang menghampiri Juna. Mereka membawa Methalia ke IGD. Ia ikut masuk ke ruangan itu. "Dia phobia parah. Untung kau cepat kemari. Aku sudah menyuntikkan obat penenang. Semoga saja dia baik-baik saja. Juna, temanmu butuh terapi." ucap Dokter Indra. Deg Jantung Juna berhenti berdetak. Ia tidak menyangka kalau Methalia mempunyai phobia kecoa yang parah sampai harus terapi. Dokter Indra Joshap (35 tahun) adalah dokter Keluarga Barren. Ia adalah dokter kepercayaan Damar. "Jangan bilang kakek mengenai hal ini."  Juna langsung duduk di dekat Methalia. Hari ini, apakah ia sudah keterlaluan terhadapnya. Dokter Indra menghampiri Juna dan menepuk bahu. "Dia akan baik-baik saja. Kau tak usah khawatir, Juna." "Pergilah! Dokter Indra langsung pergi meninggalkan Juna dan menutup pintu perlahan. "Aku tak pernah melihat dia dekat dengan gadis manapun. Apa mungkin Juna mulai menyukai gadis itu?" gumam Dokter Indra. Sementara itu, Juna menatap lekat wajah Methalia. Wajahnya sangat cantik. Aroma tubuh juga sangat harum. Meski tanpa polesan, Methalia terlihat memukau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN