Episode 9

1638 Kata
Lanjut Flashback Juna mencari keberadaan Tania. Ia gelisah menoleh kekanan dan kekiri. Dari kejauhan, ia melihat Tania sedang berjalan menuju mobilnya. Ia tersenyum mendapati gadis itu masih dalam jangkauannya. Juna mengikuti kemana Tania pergi. Ia penasaran melihat gadis itu buru - buru meninggalkan Darren. Karena mengikuti terlalu lama, Juna tak menyadari kalau malam telah tiba.  Tania berhenti di sebuah rumah sederhana yang jauh dari pemukiman. Juna juga ikut menghentikan mobilnya dan menunggu Tania masuk rumah.  Setelah dirasa aman, Juna langsung keluar dan berjalan perlahan menuju rumah itu. Ia kemudian masuk dan mengendap - endap mencari keberadaan Tania.  Juna mendengar suara Tania berbicara dengan seorang lelaki di kamar. Ia kemudian mendekat.  Deg Pintu kamar sedikit terbuka. Juna langsung berdiri di tembok dekat pintu untuk merekam pembicaraan mereka. "Kapan kau akan meninggalkannya?" tanya lelaki itu.  "Tenanglah, Fero. Tidak lama lagi. Lagi pula, aku tak mau dengannya berlama - lama. Karena dia sudah tak berguna lagi." Fero tersenyum, "Apa karena dia cacat?"  Deg Mendengar hal itu, Juna mengepalkan tangannya kuat.  "Benar… kau tahu, aku hanya mencintaimu. Setelah hartanya aku kuasai. Aku akan meninggalkannya." Mereka tertawa bersama di dalam kamar dan tidak menyadari jika Juna tahu kebusukannya.  "Aku harus merekam lebih jauh lagi," guma Juna. "Sayang, aku merindukanmu," ucap Fero sambil tersenyum.  "Ah… jangan seperti itu, ugh...." "Mendesahlah sayang," ucap Fero menggoda. Mereka saling b******u liar satu sama lain. Bunyi erangan dan desahan keluar dari mulut kedua sejoli itu. "Menjijikkan," gumam Juna masih bertahan merekam dan menutup telinga dengan handsfree.  Fero segera membuka baju begitu juga dengan Tania. Mereka berdua tidak memakai telanjang bulat.  "Tubuhmu indah. Kemarilah sayang… puaskan aku." Dengan senang hati, Tania merangkak dan mencumbui Fero. Ia langsung melakukan adegan itu.  "Ah… lebih keras lagi sayang… kau sangat pintar berada di atas." "Ugh… emm… ah… ahh." Suara desahan mereka menggema di seluruh ruangan.  "Lebih keras," ucap Fero sambil menampar b****g Tania.  Tania melakukan lebih keras lagi sesuai permintaan Fero. Dengan kasar, Fero membalikkan tubuh Tania. Dan memompanya dengan semangat. Sedangkan Juna memilih untuk segera pergi. Ia tak ingin melihat lebih jauh lagi perselingkuhan mereka. Jijik, muak, dan marah jadi satu di dalam diri Juna. Tania bukan lagi gadis, melainkan wanita jalang yang kotor.  °°°°° Keesokan harinya, Juna pergi ke rumah Darren untuk menyerahkan bukti itu kepadanya. Ia sebenarnya tidak tega melihat Darren di sakiti. Tapi, lebih baik dia tahu lebih awal.  Juna melihat Darren yang tengah menatap langit melalui jendela kamar.  "Kau sedang apa?" tanya Juna. "Hanya melihat langit." Juna mendekati Darren dan menyerahkan ponsel miliknya.  "Bukalah… lihat dan dengarkan baik-baik." Darren menuruti keinginan Juna untuk membuka ponsel itu. Ada video yang memperlihatkan Tania dengan seorang pria.  Darren menontonnya sampai habis. Ia hanya diam tak berkata apa pun.  "Tinggalkan dia," ucap Juna. "Aku tahu, dia sudah melakukan ini." Darren mengetahui Tania memang berselingkuh di belakangnya. Tapi, ia tidak tahu kalau Tania berbuat demikian. "Kau sudah tahu!" teriak Juna tak percaya.  Darren tersenyum getir, "Yang terpenting. Dia tidak meninggalkanku." "Jangan bodoh hanya karena cinta!" teriak Juna. "Pergilah…," ucap Darren lembut.  Juna diam mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak mengerti jalan pikiran Darren. Kenapa dia memilih mempertahankan Jalang seperti Tania?  "Pergi!" teriak Darren.  Juna menghela nafas kasar, "Aku akan pergi. Pikirkan baik - baik." Juna menutup pintu kamar Darren perlahan. Ia akan memberi waktu Darren untuk berpikir mengenai Tania. Ia berjalan keluar rumah Darren dan membuka pintu mobilnya. Tiba - tiba, ada bunyi sesuatu yang jatuh dari atas. Brug Juna langsung menoleh dan melotot kaget karena mendapati Darren bersimbah darah di depannya. Ia kemudian lari dan mendekati tubuh Darren. Semua orang berteriak histeris melihat tuan mereka.  Flashback End Juna langsung bergetar hebat saat mengingat kejadian itu. Tepat di depan matanya, Darren bersimbah darah. Semua adalah salahnya. Jika saja, ia tak memberi tahu Darren pasti tidak akan berakhir seperti ini.  Dokter Indra menepuk pundak Juna. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri." Juna menunduk dan memegang kedua tangannya erat - erat. "Karena aku, dia jadi seperti ini."  "Bukan karena kau. Tapi, karena pilihannya," ucap Dokter Indra mencoba menghibur Juna.  Juna melepas tangan Dokter Indra dari pundaknya. "Jangan pegang. Aku tak suka," ucap Juna dingin. Hais... mulai lagi "Oke," ucap Dokter Indra pergi. "Lebih baik aku datang ke kamar gadis itu," imbuhnya sambil menutup pintu. Keparat Juna langsung bangkit dengan kasar dan mengejar Dokter Indra. Ia menarik keras kerah lelaki itu dari belakang.  Bug Dokter Indra jatuh sampai tersungkur di tanah. "Hei… kau melukai diriku. Akan aku adukan kepada kakekmu." Juna melambaikan tangan tanpa menoleh, "Adukan saja!" Sementara itu, Methalia berencana kabur dari rumah sakit karena tak tahan jika harus berlama - lama di sana. Ia melepas selang infus dengan kasar dan mengambil rantang untuk melihatnya.  "Rejeki," gumam Methalia sambil menelan ludahnya. "Enak," imbuhnya sambil mengunyah. Setelah bubur itu habis, ia turun dari ranjang dan berjalan keluar dengan mengendap - endap. Ia membuka pintu dan menengok kesana kemari untuk melihat situasi.  "Aman. Dokter itu tak ada. Aku bebas…!" gumam Methalia sambil berkacak pinggang.  Methalia berjalan santai melewati koridor. Namun, ia mendadak berhenti. Seperti ada yang kurang. Kenapa ada yang ganjal? Gadis itu berpikir keras dan mendadak berteriak.  "Sial….!" Methalia mengacak rambutnya frustasi. Semua orang yang ada di sana memperhatikannya dan berbisik.  Methalia langsung menutup mulutnya, "Maafkan aku." Ia langsung lari secepat kilat. Tidak... rumahku...rumahku...! Semua barang berhargaku... lelaki asing tadi malam. Kau bodoh. Kenapa lupa? Batin Methalia mengacak rambut sambil berlari keluar rumah sakit. Tunggu, Siapa yang membawaku ke rumah sakit? Methalia berhenti di depan rumah sakit. Ia berbalik arah dan kemudian masuk lagi. "Aku belum membayar tagihannya. Tapi, aku tak membawa uang. Ponsel dan dompetku...." Methalia kembali ke halaman depan rumah sakit. Dokter Indra melihatnya dan berteriak.  "Gadis phobia….!" "Gadis phobia," gumam Methalia. "Maksudnya, aku," imbuhnya sambil menoleh ke belakang.G Gawat, dokter itu... aku...aku harus lari!!  Dokter Indra merasa kalau gadis itu akan lari. Jadi, secepat kilat dirinya sudah berada di belakang Methalia dan menarik kaosnya. "Aku tahu, kau akan kabur. Tak akan kubiarkan," ucapnya penuh penekanan. Glup Methalia menelan ludahnya kasar, "Aku hanya mau mengambil uang untuk bayar." Dokter Indra berpindah tepat di depan Methalia. "Semua sudah dibayar oleh seseorang." Methalia mengerutkan dahi, "Mengada - ada." Tak jauh dari tempat mereka, Juna mengepalkan tangan kuat menahan bentuk emosinya yang mulai memuncak.  "Hei! Orang yang di sana!" teriak Dokter Indra mengarah pada Juna. Karena penasaran, Methalia ikut menoleh. Deg Juna melotot saat Dokter Indra berteriak. Bahkan, Methalia juga menoleh ke arahnya. "Shitt… dia menambah masalahku." Dokter Indra berbisik pada Methalia. "Dia yang melunasinya dan membawamu kemari." Methalia menoleh untuk mencari kebohongan di mata Dokter Indra. Sepertinya, dia tak bohong. Orang itu baik sekali.  Methalia memutuskan untuk menghampiri Juna dan mengucapkan terimakasih.  Kenapa dia kemari? Methalia tersenyum, "Terima kasih sudah membawaku kemari. Aku akan ganti uangnya. Tolong, beri aku nomor rekeningmu." Apa - apaan ini?? Dia sengaja berkata demikian, agar terkesan baik. Apa dia lupa padaku? Atau karena aku tampan. Cih, aku akan mengikuti permainanmu. Juna memberikan nomor ponsel miliknya. Methalia bingung sampai melongo. "Anu… maaf, nomor rekening. Bukan nomor ponsel," ucap Methalia sambil mengelus tengkuk lehernya canggung. Kenapa ekspresinya begitu? Jangan - jangan, dia suka padaku. "Kau suka padaku," ucap Juna spontan. Juna menggunakan suara aslinya kali ini. Ia tak mau Methalia curiga kepadanya.  Narsis amat ni orang... tampan sih iya. Tapi, sombong Methalia berjalan mendekati dan menaruh nomor ponsel di saku Juna. "Tingkat percaya diri tinggi. Nanti jika bertemu lagi, aku akan membayarnya, " ucap Methalia dingin dan pergi begitu saja.  Juna diam membisu dan hanya mengeluarkan aura hitam pekat di seluruh tubuhnya. Orang - orang yang ada di sekitar langsung lari ketakutan.  Berani sekali dia berkata demikian...! Teriak Juna meronta dalam hatinya. Kesal. Marah. Jadi satu keluar melalui pori - pori kulitnya. Matanya membara seperti api. Secepat kilat, Dokter Indra pergi meninggalkan Juna yang tengah berada di tingkat level iblis. Juna berbalik arah dengan kasar. Ia akan membalas seribu kali lipat perbuatan Methalia padanya. Dan rencana kali ini harus berhasil.  Juna tersenyum devil penuh misteri. Dengan gerakan elegan, ia masuk dalam mobil. "Lihat saja," gumam Juna sambil menyeringai °°°°° Methalia sangat lega karena barang - barangnya masih ada. Itu artinya, tidak ada pencuri yang masuk ke dalam rumahnya. Lantas, lelaki tadi malam siapa?  "Penguntit."  Suara lelaki itu mirip dengan panggilan nomor misterius itu. Sepertinya, tempat ini sudah tidak aman. Ia harus pindah untuk menghindari hal yang terjadi. Lagi pula, kos di sini juga mahal. Uangnya tidak cukup kalau digunakan secara bersama.  "Aku akan ke Love Cafe," gumam Methalia sambil mengambil tasnya.  Methalia berjalan keluar rumah. Hari ini, ia akan berjalan kaki sambil berolahraga. Dengan semangat, Methalia menelusuri jalan. Banyak lelaki yang meliriknya. Meskipun begitu, ia tetap saja acuh.  "Aku tak butuh pacar," gumam Methalia.  Karena keasikan berjalan, Methalia tak sadar jika sudah sampai di depan cafe Alroy.  Close "Kemana perginya? Bukannya sudah waktunya buka," gumam Methalia. Methalia menoleh ke kanan dan kekiri. Kondisi cafe sangat sepi dan memprihatinkan. Mungkin, Alroy sedang sibuk sehingga tak sempat membersihkan tempat ini.  "Thalia!" teriak seseorang. Methalia menoleh dan mendapati Alroy yang sedang berpenampilan tidak seperti biasanya. "Astaga… aku tak percaya ini!" teriak Alroy sambil menghampiri Methalia dan memeluknya erat. "Sudah lama kau tidak berkunjung," imbuhnya sambil melepas pelukkannya. Plak Methalia memukul kepala Alroy. "Kenapa kau memukulku?"  Methalia membuang muka, "Kondisi cafe seperti ini, kau tidak menghubungiku sama sekali." Alroy diam dan membuka pintu cafe. Ia masuk dan duduk di salah satu kursi. Methalia pun mengikutinya. Ia mengibaskan tangan karena debu yang ada di dalam ruangan itu.  "Kau menutupnya!" teriak Methalia tak percaya.  Alroy tersenyum, "Aku tak bisa mempertahankannya." Maafkan aku, Thalia. Methalia tak menyangka jika Alroy tak melibatkannya. Ia menutup Cafe dan tak pernah bilang kepadanya. "Sejak kapan Cafe ini tutup?" "Terakhir kali kau datang." Alroy dengan terpaksa menutupnya karena putaran uang yang tidak stabil. Sebenarnya, ia berat hati. Tapi, mau bagaimana lagi? Modalnya tak cukup membuatnya bertahan.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN