“Tolong! Tolong! Pak! Buk! Tolong! Ada pengroyokan!”
Teriakan Bella nyaring terdengar saat melihat Alan dikeroyok lima orang. Sedangkan dua orang yang lainnya berusaha mengganggu Bella.
“Wooi! Berhenti, wooi!” Teman-teman Alan datang, ditambah ada beberapa pengendara yang ikutan berhenti membantu.
“Bangsad!” Vandi, Edwin dan yang lainnya serempak balik keatas motor. Tak begitu lama, mereka segera pergi meninggalkan area.
Pasha dan Yohan membantu Alan bangun, lalu duduk dibeton pembatas jalan. Membenarkan motor matik Bella. Bella segera ngambil beberapa obat dari kantong plastik yang tercantel dimotor.
“Ini, luka kamu diobati dulu.” Mengulurkan antiseptik, kapas, alkohol dan kasa.
Pasha meraihnya, menyerahkan ke Alan. “Tangan lo nggak patah kan, Lot!”
Alan menatap Pasha jengkel. “Bangke lo! Bonyok gini juga! Malah doain patah tulang! Kualat lo!”
Pasha terkekeh, Yohan pun sama. Kedua temannya saling tatap. Berbicara melalui tatapan mata, lalu menatap kearah Bella yang memeriksa motornya.
“Astagfirllah, ini jadi lecet-lecet.” Mengelus slakbor depan yang lecet, bahkan lampunya pecah. Bella menyapu wajah dengan tangan. Berkali-kali hembusin nafas kasar.
“Tante, motornya biar dibawa sama temen-temen gue. Besok sore sepulang sekolah diantar ke kostan tante.” Entah sejak kapan, Alan sudah berdiri dibelakang Bella.
Bella menatap kedua teman Alan yang tersenyum ramah. Lalu menatap Alan yang wajahnya bonyok. Sudut bibirnya memar dan sobek, dibagian pelipis juga membiru.
“Iya, aku kasih Dp dulu atau gimana?” Bella membuka tas.
“Nggak usah, Tan. Bengkelnya temen gue sih sans. Bebas mau ngutang pun boleh.”
Kedua teman Alan bersedekap, lalu Yohan mendekati mogenya, disusul Pasha yang menaiki motor Bella.
“Ni motor kita bawa, ya.” Ijin Pasha.
“Sebentar!” cegah Bella. “Tapi motornya beneran aman, kan? Kalian ini bukan geng curanmor?” menatap wajah ketiga bocah SMA.
Alan tertawa kecil. “Mana ada curanmor seganteng gue. Kalo tante takut motornya hilang, tante bisa bawa gue sebagai jaminannya kok.”
“Behahha ....” ingin sekali Pasha membenturkan kepala Alan. “Heh, Ocelot! Elo disandera buat apaan, hum? Bikin mata sepet, hidung mampet ....”
“Tenggorokan gatal, bibir pecah-pecah ....” sahut Yohan.
“Udah, ah. Yuk cabut, males jadi hit elektrik!” potong Pasha.
Yohan menyalakan motor, mulai mendorong motor yang Pasha naiki. Bella masih menatap kepergian kedua remaja itu hingga menghilang di belokan.
“Tante, ayok gue anter. Bahaya lho, kalau mau disini sendirian.”
Bisa dibilang belum mengenal Alan. Bahkan baru bertemu empat kali ini. Entah kenapa Bella merasa nyaman, bahkan percaya jika Alan bocah yang baik. Nggak mungkin akan melukainya.
“Ayok, naik.” Alan menghentikan motor didepan Bella.
Nurut, karna memang tak ada pilihan lain. Dengan berpegangan bahu, Bella naik ke jok belakang. Motor pun berjalan pelan menuju kost’an.
“Kamu kelas berapa?”
Alan tersenyum mendapat pertanyaan dari Bella. “Kelas 12, Tan. Udah mau lulus. Jadi kita bisa langsung ke pelaminan.”
Tuk!
Bella memukul helm Alan. “Ngawur!”
Alan nyengenges, melirik Bella lewat kaca spion. Bella terlihat tersenyum manis. “Tante Bella aseli orang mana? Kok tinggal di kost-kostan?”
“Asli Bandung.” Jawab bella seadanya.
Motor berhenti tepat didepan gerbang. Bella turun dati boncengan.
“Makasih, ya.” Ucap bella.
“Nih.” Alan mengulurkan hape. Bella menatapnya. “Besok gue kabari kalo motor udah jadi.”
Bella meraihnya, menulis nomor. Kembali menyerahkan hape ke Alan.
“Gue nggak disuruh mampir dulu, Tan? Minum teh atau kopi gitu?”
Bella mendekik, menatap arloji ditangan. “Udah hampir magrib. Mending kamu pulang, membersihkan diri, lalu sholat. Aku juga mau mandi. Assalamualaikum.” Bella membuka gerbang, lalu masuk tanpa menoleh.
Alan tersenyum senang. “Yes! Dapat nomornya.”
**
“Cie, cie, udah punya gebetan baru.” Asti yang sedari tadi duduk diteras kamar menggoda.
Bella meletakkan helm dikursi depan kamarnya. “As, motor kamu mogok. Baru dibenerin di bengkel.” Bella cemberut, ikut menjatuhkan p****t dikursi.
“Kamu pakai jaketnya siapa, Bel?” Asti memperhatikan jaket hitam yang nempel ditubuh Bella.
Bella tersenyum. “Ini jaketnya si bocah tengil.” Tertawa kecil mengingat keteledorannya. “Ah, besok kalo gajian aku mau beli jaket.”
“Bocah tengil?” Asti membeo, terlihat sedang mengingat seseorang yang dimaksud Bella.
“Yang ketemu kita pas ada razia kendaraan.” Bella mengingatkan.
Asti menutup mulut yang membulat, bahkan kedua mata juga membulat. “Ha!? Kamu ketemu dia lagi?” Bella ngangguk dengan senyumnya. “Tadi yang anterin juga dia?” kembali menjawab dengan anggukan. “Omegod, dia bocah SMA, Bel. Elo masih waras kan? Kenapa abis ditinggal Bian elo jadi p*****l?”
Bella mengerucut. “Iisshh! Jan sebut nama dia! Ngingetin aja!” Bella mengambil kunci, lalu membuka kamar kostnya.
Menaruh tas dan sekantong P3K. Melepas sepatu dan jilbabnya, lalu melepas jaket yang setia nempel ditubuh dari pagi. Mencium aroma parfum yang khas bocah itu. Lalu tersenyum.
“Wangi banget.”
Ddrrtt ... Drrt ....
Ponselnya bergetar, ada pesan wa masuk.
[Jan lupa ya, Tan. Jaketnya dicuci, jan di kelonin.]
Chat dari nomor baru yang udah pasti siapa pengirimnya. Bella tertawa kecil, menatap jaket yang berada dalam pelukan.
“Dasar bocah! Kenapa bisa tau ya?” ngomong sendiri, membawanya masuk kekamar mandi.
**
Alan menatap rambut didepan cermin, ngambil hoddie dan memakainya. Tak lupa ngambil topi dan memakainya dengan terbalik.
“Duuh, ganteng gini kok masih jomblo sih? Heran gue?” geleng kepala menatap pantulannya dicermin.
Dengan bersiul, Alan keluar dari kamarnya. Bertepatan Rayna yang baru aja keluar dari kamar.
“Nah, kan. Mau ngeluyur lagi!” Rayna menuding Alan yang udah rapi dan wangi.
“Namanya juga anak muda.” Nggak peduliin kakaknya ngomel, tetap jalan keluar rumah.
Hari ini Bundanya pergi ke Jogja, mengurus kerjaan disana. Jadi, dia hanya dirumah berdua sama Rayna. Baru aja mau ngeluarin motor, ada mobil warna kuning masuk kepekarangan rumah. Alan mengurungkan niatnya, sudah tau siapa yang datang.
Tetap diam, duduk diatas motor sambil mengamati wanita bergamis maroon dengan tas branded ditangannya. Wajah yang sombong dan galak terpancar jelas.
Plak!
Mendengar suara tamparan, Alan segera turun. Berlari masuk lagi kedalam rumah. Mencekal tangan yang akan kembali melayangkan pukulan ke Rayna.
“Anak sialan! Lepaskan!” wanita berjilbab besar ini murka saat melihat Alan mencengkram tangannya cukup kencang.
Alan mengibaskan tangan Tiara. “Pergi dari rumah saya! Jangan pernah lo mampir kesini kalo Cuma mau nyakitin kak Rayna!” marah Alan tepat didepan wajah Tiara, ibu tiri Rayna.
“Dasar anak durhaka! Bengini kalau dididik tanpa seorang Ayah! Dua anak sama sekali nggak punya sopan santun! Ciiihh!” meludah tepat didepan Rayna.
Alan mengeratkan kepalan tangan. Jika saja yang didepannya ini seorang lelaki, sudah ia pastikan keluar rumah ini dengan wajah tak baik-baik saja.