“Assalamu’alaikum warohmatullah ....”
Wanita cantik dengan mukena warna putih tulang itu menengadahkan kedua tangan keatas. Berdoa dalam hati, mendoakan kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal. Lalu neneknya yang meninggal saat usianya 17 tahun. Lalu kedua orangtua yang selama ini merawatnya. Begitu banyak orang yang tersemat dalam doanya, sampai ia selalu lupa berdoa untuk kebahagiaannya sendiri.
“Aamiin.” Menyapu wajah dengan kedua tangan.
Menghembuskan nafas penuh kelegaan, kemudian melepas mukena. Melipatnya dengan rapi dan menyimpannya dilemari laci paling atas.
Ddrrtt ... ddrtt ....
Dering ponsel mengalihkan fokusnya. Menatap ponsel yang tergeletak diatas kasur. Ada panggilan masuk dari kontak yang bernama ‘Om Riko’. Dengan sangat malas Bella meraih ponsel itu, mendial tombol berwarna hijau.
“Assalamu’alaikum,” sapanya saat telpon terhubung.
“Kirimi alamat tinggalmu. Besok pagi om sampai Jakarta.” Sudah biasa om nya selalu berlaku begini.
Bella kembali membuang nafas kasar. “Kenapa ke Jakarta?” bukannya menjawab, Bella malah bertanya.
“cih! Apa salahnya paman merindukan keponakannya?”
Bella mendudukkan p****t ditepi ranjang. “Lebih baik nggak perlu berkunjung jika tujuan om hanya untuk meminta sertifikat dan tanda tanganku. Itu nggak akan aku lakukan!” tegas Bella.
“Bella! Jangan sampai om nekat sama kamu!” suara tinggi Riko yang terdengar sangat kesal.
Tut ... tut ... tut ....
Bella menatap layar ponsel yang sudah gelap. Kembali meletakkan ponselnya diatas tempat tidur. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan, lalu menjatuhkan tubuh dengan kasar keatas tempat tidur.
’Ya Tuhan, ada nggak sih orang yang peduli sama aku? Satu aja.’ Bisiknya dalam hati.
Riko supeno, adik kandung Rami senanta, ayah kandung Bella.
Tak ingin ambil pusing soal Riko yang mau mencarinya, Bella beranjak. Ngambil jilbab instan, memakainya lalu keluar kamar. Terlihat Asti yang duduk diteras depan kostnya. Asti tersenyum sendiri dengan layar ponsel ditangannya.
“As, cari makan yuk, laper nih.” Ajaknya.
Asti mendongak menatap Bella. Lalu berdiri. “Gue ambil duit dulu.” Masuk kekamar, detik kemudian keluar memakai jaket dan mengunci pintu kamar. “Yuk.”
Berjalan santai keluar dari gerbang kost. Selama perjalanan, Asti sibuk berbalasan chat dengan Marco, kekasihnya. Bella hanya diam sesekali melantunkan sholawat untuk menghilangkan rasa sepi.
“Pak, sate sepuluh ribu ya.” Ucapnya pada si bapak penjual sate. “As, kamu pesen berapa?” menyenggol lengan Asti.
“Eh, gue nggak jadi pesen. Marco ngajakin makan bareng diluar. Nggak apa kan, Bel, kalo lo balik ke kost sendiri?”
Kening Bella berkerut. Ditinggalkan saat jajan bareng udah terlalu sering. “Biasa aja, As. Udah hafal.” Jawabnya sedikit sewot.
Asti nyengir, merangkul Bella. “Namanya juga punya pacar, Bel. Beda dong sama yang berprinsip jomblo.” Bisiknya disamping telinga Bella.
Bella langsung menoleh dan melolot tajam. “Ngom—“
Sebuah motor matik berhenti tepat dipinggir jalan, disamping mereka berdiri saat ini. Si pengendara membuka kaca helm, lalu tersenyum. “Yuk, naik.” Perintahnya pada Asti.
Asti balas tersenyum, mengecup pipi Bella sekilas. “Duluan ya, Bel. Dadah ....” melambaikan tangan yang hanya dibalas senyuman oleh Bella.
“Asti gue bawa ya, Bel.” Ijin Marco.
Tak menjawab, Bella hanya memanyunkan mulut. Melambaikan tangan saat motor yang dibawa Marco mulai melaju meninggalkannya. Duduk dikursi plastik yang disediakan. Tak begitu lama pesanannya sudah siap. Bella segera kembali pulang setelah membayar.
Berjalan sekitar 100 meter untuk sampai ke rumahnya. Jalanan masih ramai, bahkan ada beberapa pedagang kaki lima yang Bella lewati.
“Tante,”
Dengan sangat terkejut Bella menoleh kesamping. Bocah tengil dengan motor gede warna hijau itu berhenti tepat disamping Bella. Membuka kaca helm, lalu tersenyum manis menatap Bella.
“Kamu kok disini?” tanya Bella dengan heran. Bahkan selama dua tahun lebih nge kost didaerah X, ia tak pernah melihat Alan, baru sekali ini.
“Kan lewat, Tan. Gue udah bayar pajak jalan lho. Jadi bebas dong mau lewat dimana aja.”
“Iissh!” desis Bella. “Yaudah, selamat lanjutin jalan, aku mau balik ke kostku.”
“Gue anterin yuk, Tan.”
“Kostku Cuma dekat kok.” Bella mulai lanjutin jalan.
Alan melambatkan laju motor agar tetap bisa jalan bareng sama Bella. “Tante beli apa?”
“Beli sate buat makan malam.”
“Ini kan malam valentain, tante jomblo ya? Kok nggak makan malam bareng mas pacar?”
Bella menghentikan langkah. “Aku nggak pernah pacaran kok.”
“Aseeek, gue ada kesempatan dong.” Sorak bahagia Alan.
Bella mencibirkan bibir atasnya. “Gimana motor temanku? Apanya yang rusak?”
“Gue nggak tau, ini nanti gue mau kesana. Tante mau ikut?” tawarnya.
“Umm ... nanti bisa langsung dibawa pulang?”
“Enggak tau sih, keknya besok siang baru bisa diambil. Aduuh ....” Alan berhenti dorong motor, menstandarkan motornya, menunduk mengelus kedua kaki.
“Kenapa?” tanya Bella dengan heran.
“Capek dorong motor. Ayo gue anterin, nggak kasihan liat gue kecapekan gini?”
“Aku juga nggak nyuruh kamu dorong motor, dek. Kamu aneh! Naiki aja motor kamu, lanjutin jalanmu mau pergi kemana.” Kembali Bella melanjutkan langkah.
Tak begitu lama ada beberapa pria yang berjalan dari arah berlawanan. Dari pakaiannya, sudah terlihat jika mereka ini preman.
Alan yang tau keadaan akan seperti apa, segera menghidupkan mesin motor. Naik dan berputar arah.
“Al!” panggil Bella, takut jika dalam keadaan seperti ini Alan meninggalkannya.
Alan tersenyum. “Ayo naik.” Ajaknya
Nggak lagi nolak, Bella segera naik ke jok belakang. Kebetulan malam ini ia pakai celana kulot, jadi ngeboncengnya lebih mudah. Tanpa nunggu lama, Alan segera melajukan motor menjauhi tempat itu.
“Tapi kostku kan arah kesana.” Sedikit berteriak agar Alan mendengar suaranya.
“Tau.” Jawab Alan singkat.
Bella melirik Alan melalui kaca spion, bocah itu mengulas senyum. Nggak sadar, ia pun tersenyum melihat senyum manis Alan.
Alan menghentikan motornya disebuah warung makan. “Kita makan disini ya, Tan, gue lapar.”
Bella tak menjawab, berpegangan bahu Alan, turun dari atas motor.
“Pak, nila bakar satu ya, sama es teh.” Menoleh, menatap Bella yang berdiri disampingnya. “Tante pesan apa?”
Bella mengangkat kantong plasting yang sedari tadi ia bawa. “Aku udah beli makan.”
“Yaudah, kita makan bareng disini.”
Bella mengikuti langkah Alan, duduk lesehan dipinggiran jalan. Menatap banyak motor yang memadati jalanan kota Jakarta. Ada berpuluh pasang kekasih yang berboncengan mesra mempertontonkan keromantisan hubungan mereka. Ingatannya kembali pada Bian yang dengan terang jujur bahwa tak bisa ta’aruf lagi karna akan menikah dengan seseorang yang dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Tapi ternyata wanita yang Bian nikahi tengah berbadan dua. Sungguh kejam!
Bella melirik kearah bocah disampingnya. Alan sibuk dengan ponsel, sudah bisa ditebak jika bocah tengil ini tengah asik bermain game.
Tak begitu lama pesanan Alan datang. Mereka mulai makan bareng. Dengan sengaja Alan memberikan daging ikan nila yang hanya secuil kemakanan Bella.
“Kamu ngapain, Al?”
“Berbagi. Lauk kita kan beda. Biar tante juga rasain apa yang aku rasain. Asam manisnya kita rasain bareng.”
Kata-kata Alan membuat Bella tertawa kecil. “Bagus banget kata-kata kamu.”
Alan sendiri terkekeh mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Pasalnya dia hanya asal nyeplos saja. “Tan, mau nggak?”
Bella menggigit sate, menariknya dari tusuk. “Mau apa?” tanyanya disela ngunyah.
“Nungguin gue gede.”
“Uhuk ... uhuk ....” segera ngambil minuman yang ada dihadapan. “Al, kamu ngomong apa sih. Becanda mulu.
“Gue serius, tan. Gue suka sama tante.” Ungkapnya jujur, menatap Bella yang juga menatapnya.
Bella segera menunduk. Kembali mengambil tusuk sate dan menggigitnya. Diam dengan hati yang tiba-tiba terasa berbeda. Ada getaran yang sulit ia artikan. Masa’ ditembak bocah bisa berefek begini? Batinnya.
“Nggak usah terlalu dipikirin. Yang jelas gue enggak bohong, enggak becanda.” Alan meraih gelas didepannya, meneguknya hingga tandas.
“Al, umur ki—“
“Pulang yuk, udah jam sembilan. Keburu gerbang kost tante kekunci.” Berdiri, kembali memakai sepatunya dan berjalan menuju si bapak penjual.
Tak begitu lama, Alan kembali mendekati Bella yang baru aja selesai mengelap mulut dengan tissu.
“Tan,” panggilnnya. Alan menggaruk tengkuk, terlihat kebingungan.
“Kenapa?” Bella pun menatapnya dengan bingung.
“Bisa ... pinjem uang nggak? Dompet gue ketinggalan.”