Bella memarkirkan motor diantara ratusan motor para karyawan lain. Membenarkan jilbab di kaca spion sebelum beranjak. Tersenyum menatap hoodie warna hitam yang kini membungkus tubuhnya. Lalu berjalan santai menyebrang jalan.
“Pagi, mbak Bella,” sapa satpam yang berdiri didepan gerbang.
Bella ngangguk, sedikit tersenyum sopan. “Assalamualaikum, Pak.” Lalu melanjutkan jalannya masuk kedalam.
“Wa’alaikumsalam, masaallah, bikin adem.” Si pak satpam memperhatikan Bella yang sudah agak jauh dari tempatnya berdiri.
Antri absen dengan tiga wanita yang juga bekerja dibagian kantor. Bella segera melangkah pergi menuju lift setelah absen finger.
Terlihat Aksa, salah satu petinggi pt. Santosa Explore yang berdiri didepan pintu lift. Bella ikutan ngantri dibelakangnya.
Aksa menoleh, sedikit melempar senyum. “Baru datang, Bel?” Sapanya.
“Iya, Pak.” Jawab Bella kalem.
“Kamu tinggal dimana?”
“Di kost, pak.”
Tak begitu lama, pintu lift terbuka. Aksa mengulurkan tangan, mempersilahkan Bella masuk terlebih dulu. Bella nurut, Aksa pun masuk setelah Bella berada didalam.
“Kost’an kamu yang ada didekat masjid Al-hikmah itu bukan?” tanya Aksa yang kelihatan pengen lebih akrab sama Bella.
Bella ngangguk, membenarkan. “Iya, Pak. Saya kost disitu.”
“Minggu lalu, aku mampir di toko kue Qeensa depan masjid itu. Kek lihat kamu keluar dari masjid, lalu masuk ke gerbang yang warna biru.”
Bella tersenyum lagi. “Iya, kalau lagi nggak ribet, sering sholat jama’ah di masjid.”
“Boleh minta nomor wa mu?” Aksa mengulurkan ponsel.
Ting!
Pintu lift terbuka.
Bella membungkukkan sedikit badan. “Saya duluan ya, Pak. Kemarin ada yang belum kelar saya kerjakan.” Tanpa menunggu jawaban dari Aksa, Bella melangkah keluar lift.
Aksa tersenyum miring. “Yang seperti ini yang menarik. Mengingatkanku pada ... Ah!” kembali memasukkan ponsel ke saku jas. Ia juga melangkah keluar menyusul Bella.
**
Dua jam berlalu, Aksa mencuri pandang kearah Bella melalui ruangannya. Kebetulan memang ruangannya berdinding kaca, tak terlihat dari luar, tapi bisa terlihat jelas dari dalam.
“Cie, cie, Pak Aksa, diam-diam curi pandang nih, ya.” Pandu, teman sekantor, satu rekan yang jabatannya berada sedikit dibawah Aksa.
Aksa menoleh pintu ruangan yang menutup, lalu Pandu duduk dikursi depan mejanya. Melempar map berwarna kuning.
“Tuh, tanda tangani. Hari ini ada buyer datang.” Perintahnya pada Aksa.
Aksa mulai membuka map, membaca sekilas lalu mencoretkan tinta di bagian bawah sisi kanan.
“Setau gue, itu bocah anak pesantren.” Pandu memulai obrolan.
Aksa tertarik, karna ia sedang menggali info tentang Bella.
**
Pukul 4.30pm
Bella masih betah didepan layar komputer. Sampai tak menyadari jika Aksa sudah berdiri didepannya.
“Eh, Pak.” Sangat terkejut, Bella langsung berdiri dan membungkukkan sedikit badannya. “Ada yang bisa saya bantu, pak?”
Aksa tersenyum, lalu menggeleng. “Kenapa nggak pulang?”
“Ini belum kelar, pak. Sebentar lagi pulang.” Menunjukkan selembar kertas yang harus ia benarkan.
“Kamu bisa selesaikan besok. Berkemas saja, lalu pulang “
“Iya, pak. Saya beresin meja dulu.”
“Pulang bareng saya, mau?” tawarnya.
Bella mendongakkan kepala, agak gugup. “Saya bawa motor, pak.”
Aksa menggaruk tengkuk, ada rasa malu karna ditolak. “Kalo gitu, lain kali pulang bareng saya, ya.”
Bella tersenyum kikuk. “Insyaallah, Pak.”
**
Melajukan motor pelan menyusuri jalanan yang agak ramai. Untung hari ini Asti free, jadi bisa pinjam motor untuk kerja. Sedikit menghemat ongkos.
Bella berhenti didepan apotek, membeli obat pusing dan beberapa obat lain untuk stok di kost. Setelah mendapatkan obat-obatan, Bella kembali menjalankan motor.
Tepat di jalanan yang agak sepi, motornya berhenti, katakan saja macet mendadak. Bella turun, membuka jok, lalu memeriksa bensin. Bensin masih full, jadi nggak mungkin karna bensinnya.
Bella mencoba menstater motor lagi, tetep nggak mau nyala. Akhirnya memilih menuntun motor. Sekitar 300 meter lebih, terdengar suara motor yang berjalan melambat mendekatinya.
“Tante,”
Suara yang mulai melekat ditelinga. Bella menoleh kesamping. Alan tersenyum manis, masih dengan seragam SMA nya.
Bella berhenti dorong motor. “Bisa bantuin benerin motorku?”
Alan menepikan mogenya. Mendekati motor Bella. “Emang ini kenapa, Tan?”
“Nggak tau, tiba-tiba aja nggak mau nyala.” Bella menghembuskan nafas kasar. Mengelap keringat dikening dengan punggung tangan.
Alan tersenyum memperhatikan wajah cantik Bella. Merogoh saku bajunya. “Nih, pakai aja. Masih bersih kok.” Mengulurkan saputangan berwarna hijau tua.
Tanpa canggung, Bella menerima saputangan itu, lalu mengelap keringat diwajahnya. “Makasih, ya.”
Alan tersenyum lagi saat melihat Bella masih memakai jaketnya. “Saoloh, hati gue adem banget.” Mulai memegang strang motor dan mencoba menghidupkannya.
“Susah, ya?” Bella memperhatikan Alan yang kesusahan juga.
“Iya, nih. Gue sih nggak jago soal bongkar pasang motor. Tapi kalau soal reproduksi, gue udah ngerti. Hehehe ....” Nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Mata Bella terbelalak, cukup terkejut dengan candaan Alan. “Astaga! Kamu ya! Masih bocah udah ngomongin reproduksi.”
“Becanda, Tan.” Alan ngambil ponsel, mencari kontak seseorang, lalu sibuk menulis sesuatu. “Ayo, Tan. Gue anterin pulang. Ini motornya biar diambil temen gue.”
Bella terbelalak dengan kekhawatirannya. “Nanti kalo motornya ilang gimana?”
“Kita tunggu sampai temen gue datang.”
“Temen kamu kerja dibengkel motor?”
Alan geleng kepala. “Enggak sih. Dia kerja di salon.”
“Hah?!”
Alan kembali nyengenges. “Salon motor, Tan.”
Huufftt ....
Alan duduk dipembatas jalan, terus menatap Bella yang masih berdiri disamping motor. Menatap arloji ditangan, lalu menghembuskan nafasnya kasar.
“Tan, duduk sini.” Menepuk beton sampingnya. “Kaki tante bisa pegel lho.” Lanjut Alan.
Bella menatap Alan yang juga menatapnya. Lalu kembali menatap lurus kedepan.
Alan membuka tas punggung, mengeluarkan buku tulis menyobek selembar kertas kosong, lalu menaruh diatas beton. “Sini, Tan. Rok tante nggak bakalan kotor.”
Nggak enak juga menolak lagi, bahkan Alan sampai menyobek buku tulisnya. Bella melangkah mendekat. Menggeser kertas putih itu agak jauh, lalu duduk.
Alan terus mengulas senyum menatap wajah cantik Bella.
“Eh, jaketnya masih aku pakai. Pinjem dulu, ya. Besok kalau udah aku cuci, pasti kubalikin.” Memperlihatkan jaket warna hitam yang dari pagi setia nempel ditubuhnya.
“Pakai aja, Tan. Disimpan juga boleh, apalagi yang punya ini. Boleh banget dibawa pulang, disimpan dikamar.” Menepuk dadanya sambil nyengir.
Bella mendekik, mengalihkan pandangan. “Kamu kok bisa tau namaku sih?”
“Bisalah, tante kan calon masa depan gue.”
Bella tersenyum kecil, menggelengkan kepala. “Kamu nggak dicariin mama kamu ya? Ini udah mau petang.”
Alan menggeleng. “Bunda orangnya baik banget. Marah juga Cuma bentar, udah paham kalo gue bisa jaga diri.”
Bella tersenyum getir. Mendengar kata Bunda, mengingatkannya pada Bunda Citra yang sedari kecil mengurusnya. Ibu tiri yang tidak jahat, tapi tidak cukup baik. Sadar diri, jika ia anak tiri, bahkan tak ada hubungan apapun di pesantren tempat tinggalnya sejak kecil. Kasih sayang memang ada pada Abi dan Bunda, tapi sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Ranisya dan Fano, adik-adiknya.
“Tante, bagi nomor wa nya dong.” Alan kembali mengulurkan ponsel seperti waktu itu.
Bella hanya menatapnya. “Buat apa sih?”
“Kali aja, tante butuh teman curhat, atau butuh penghibur. Gue siap jadi radionya, atau jadi pendengar setianya.”
Bella kembali tersenyum kecil. Baru aja Bella mau meraih hape Alan, ada beberapa geng motor datang. Berhenti tepat didepan Alan dan Bella.
“Anjing! Datangnya nggak tepat waktu!” umpat Alan dengan sangat kesal.
Bella terlihat takut, sekitar tujuh anak dengan seragam sekolah yang berbeda dengan Alan, membuka kaca helm. Salah satu dari mereka turun, tanpa aba-aba, menendang motor scoopy milik Bella hingga oleng.
“Astagfirllahalazim, itu motor temanku. Jangan sembarangan ya.” Marah bella yang hanya mendapat tawa ejekan dari anak-anak itu.
“Bangsad! Kalian mau nyari masalah, hah?!” bentak Alan.
“Hahahah ... Jadi, ini cewek elo, Lan?”
“Cantik juga ya. Gayaan pakai tutup kepala. Aselinya juga sering di kawinin.” Sahut yang lain.
“Bacot lo!” teriak Alan lagi.
Bella merasa terpancing. “Astagfirllah, tolong jaga ucapan kamu ya! Saya nggak seperti itu.”
“Hadeew, Lan. Cewek lo sok suci banget.” Cepat, tangan Vandi melingkar dilengan Bella.
“Lepaskan!” teriakan Bella yang sama sekali tak digubris oleh Vandi.
“Jangan sentuh dia, wooi!” Alan langsung memukul Vandi yang mencekal lengan Bella. Vandi yang nggak siap, tersungkur kebelakang.
“b******n!” Vandi bangun ditolong dua anak lainnya. “Hajar dia!”