Eps 6

2211 Kata
“Tan, besok duitnya gue balikin, sekalian nganter motor kesini.” Ucapnya saat Bella sudah turun dari boncengan. Bella ternyemun dengan anggukan. “Ini kah, yang namanya asam manis dirasain bareng?” Alan menggaruk tengkuk. “Ya ... salah satunya. Tapi ... aku beneran lupa nggak bawa dompet.” Bella tertawa kecil, membuat Alan tertegun menatapnya. “Udah, nggak usah dibalikin nggak apa. Anggap kita impas.” Alan terlihat sangat tak nyaman. “Iya deh. Maaf ya, Tan.” Bella ngangguk lagi. “Yaudah, aku masuk dulu ya. Makasih tadi udah tolingin. Assalamu’alaikum.” Alan ngangguk. “Wa’alaikumsalam.” Untuk pertama kalinya berbalas salam dengan seseorang. “Tan,” panggilnya. Bella yang sudah melangkah masuk kembali menoleh. “Jan kapok jalan sama gue ya.” Bella hanya tersenyum tanpa menjawab, melambaikan tangan dan masuk kedalam kamarnya. Setelah memastikan Bella masuk kedalam kamar, Alan menyalakan mesin motor dan melaju meninggalkan area kost. “Astaga, pangeran! Lo malu-maluin banget, sumpah!” ngomelin diri sendiri melalui kaca spion sepanjang perjalanan. ** Pagi, seperti biasa. Bella akan bangun lebih awal dari teman-teman kost yang lainnya. Langsung mandi lalu sholat shubuh, setelahnya mengaji atau mencuci. Kali ini ia memutuskan untuk membuat mie goreng sebagai sarapan paginya. “Kelaparan lo, Bel, pagi-pagi udah bagunin perut gue.” Asti nyelonong masuk ke kamr Bella, masih terlihat jika dia baru saja melek. Bahkan rambutnya masih terlihat seperti singa. Bella geleng kepala menatap Asti yang dengan biasa menjatuhkan tubuih ke kasurnya. “Lo semalam pulang jam berapa?” “Jam satu. Hehehe ....” Nyengir, meraih remote dan mulai nyalain teve. “Ke kostan Marco dulu?” “Kok tau?” tanya Asti heran. “Tuh, cupangan segede gajah.” Menunjuk kissmar didada Asti, tepat diatas payudaranya. Asti menunduk, menatap dadanya yang memang terbuka. Karna ia hanya memakai tanktop yang mempertontonkan sebagian dadanya. Nggak menyangkal atau sekedar malu, Asti Cuma tersenyum nyengir. Udah sangat biasa blak-blakan dengan Bella. “As, kapan Marco ngelamar kamu?” tanya Bella disela makan. Asti membenarkan bantal yang mengganjal kepala. “Belom tau sih. Dia belum punya uang yang cukup buat berkunjung kerumah orang tua gue.” Bella membuang nafasnya. “Jan sampai dia pergi tinggalin kamu setelah apa yang sering kalian lakuin ini, As.” “Doain ya, Bel, Marco nggak kek Bian yang Cuma nebar janji doang.” Bella mencibir. “Doa aja sendiri. Kalo ada kata Bian, aku males, nggak mau ikut komentar.” Asti terkekeh melihat tingkah Bella. “Eh, motor kamu dianterin kesini nanti sore.” “Uumm ... iya. Nanti aku kerja dianter sama Marco dulu.” Obrolan tak penting Asti dan Bella kembali berlanjut. Dulunya Asti tak terlalu menyukai Bella, tentu karna sifat Bella yang terlihat sok suci. Tak mau untuk sekedar bersentuhan dengan pria. Bahkan dimanapun Bella selalu tertutup. Hanya sekedar main kekamar tetangga saja Bella tak mau melepas jilbabnya. Namun, sekarang Asti sudah sangat terbiasa. ** Alan menghentikan langkah saat hampir keluar dari dalam rumahnya. Mobil hitam berhenti tepat didepan rumah. Si empunya mobil keluar dari dalam setelah mesin mobil mati. Radja, Pakdenya Alan membenarkan jas sebelum akhirnya melangkah kearah pintu utama rumah Alan. Mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Alan. Dengan sangat malas Alan menggapai tangan Radja, lalu mencium punggung tangannya. Jika bukan karna menghormati kakaknya, ia sangat malas bersikap baik dengan Radja. “Rayna dimana?” tanyanya. “Dalam.” Jawab Alan singkat. “Bunda kemana?” “Jogja.” Kamu udah mau berangkat?” “Ya.” Tanpa obrolan lagi, Alan segera melangkah keluar rumah menuju garasi. Nangkring diatas motor, mengecek bensinnya lebih dulu sebelum membuat mesinnya panas. “Enggak, Yah. Alan Cuma sendirian dirumah, aku mau temenin dia.” Terdengar suara Rayna dari dalam. Alan membuang nafas, sudah bisa ia tebak jika Radja selalu meminta Rayna untuk tinggal bersamanya di rumah besar berlantai dua itu. “Ayo lah, Ray, kasihan kakekmu. Dia hanya sendirian dirumah. Mamamu akhir-akhir ini terlalu sibuk.” Bujuk Radja. Alan tertawa menyeringai. “Dasar ular sawah! Keknya gue perlu pasang kamera CCTV, biar kelakuan busuknya ada sertifikat.” Tak lagi nguping apa yang mereka bicarakan, Alan memilih menghidupkan mesin motor, membleyernya cukup keras hingga suara Radja dan Rayna tak lagi terdengar. Beberapa menit kemudian motor melaju meninggalkan pekarangan. “Woi, anak setaan!” teriakan seseorang saat motor Alan hampir menabraknya. Alan sedikit menoleh, hanya tersenyum kecil lalu kembali menjalankan motornya. “Iya, bokap gue udah mati, makanya gue anak setaan.” Dia terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri. Tak begitu lama ponsel disaku celana bergetar, membuatnya harus menepikan motor lebih dulu untuk mengangkat teelpon. Tertera nama ‘Erza’ si penelfon. “Apa?” tanya saat telpon terhubung. “Jemput ya.” Suara Erza disebrang sana. “Hah?!” “Jemput, budek!” “Gue denger, babii!” “Lha, tadi ngapa nanya?” “Heran aja, jan karna jomblo kelamaan, teros minta jemput sama gue. Gue bukan pacar lo!” Terdengar hembusan nafas kesal Erza. “Motor gue bannya bocor, monyet!” Alan terkekeh, berhasil bikin temannya kesal. “Ooo, nggak jelasin dari awal sih.” “Kelamaan ngomong sama elo, buruan gue tungguin.” Nggak perlu nunggu jawaban Alan yang sudah bisa dipastikan nggak akan berhenti ngoceh. Telfon mati, Alan segera menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Pandangannya tertuju kearah bus yang berjalan melewatinya. Ada Bella yang duduk disamping kaca. Segera Alan memakai helm dan melaju mengejar bus itu. Melambatkan laju saat posisinya berada tepat disamping Bella. Lalu membuka kaca helm, melambaikan tangan kearah bus. Sayangnya Bella tak melihat itu, jadi terasa sia-sia saja. Alan kembali merogoh ponselnya. Mengirimi Bella pesan singkat. Mulai terlihat pergerakan Bella yang merogoh sesuatu dari tasnya. Lalu mengeluarkan ponsel, diam membaca pesan yang masuk. [liat samping, tan] Seketika, Bella langsung menoleh kesamping kirinya. Alan nyengir dengan lambaian tangan. Membuat Bella melotot tak percaya. Bahkan ada beberapa orang yang tertawa gemas melihat tingkah Alan. “Adeknya lupa belom dikasih uang jajan ya, mbak?” tanya seorang wanita yang duduk disamping Bella. “Uumm ... dia bukan adik saya, buk.” Si ibuk sedikit melotot, terlihat sangat terkejut. “Pacarnya?” Klunting! Bunyi pesan kembali mengalihkan pandangan Bella [turun ya, tan. Gue anterin aja.] Bella kembali menatap kearah samping, masih aja Alan mensjajari laju dengan bus, lalu melambaikan tangan beberapa kali. “Pak, berhenti.” ** Dengan mulut yang manyun Bella akhirnya turun. Kembali harus membonceng motor bocah tengil yang selama sebulan lebih ini selalu mengisi hari-harinya. “Ntar gue jemput ya, tan.” Ucap Alan saat Bella baru aja turun dari boncengan. “Nggak usah, Al. Aku nanti naik ojol aja.” Tolaknya lembut, walau emosi, ia masih bisa bersikap biasa. “Ok, ntar gue mangkal disini.” Kembali menutup kaca helm, melambaikan tangan dan kembali melajukan motornya. Sedikit kesal dengan tingkah bocahnya, tapi tetap ada senyum yang muncul dibibir Bella. Mengatur jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Setelah rileks, ia kembali melanjutkan langkah masuk kedalam pabrik. Antri absen finger sebelum masuk ke gedung A lantai tiga, tempatnya bekerja. Setelah absen, Bella memencet tombol lift, berdiri didepan pintu lift menanti pintu itu terbuka. Tersenyum sendiri mengingat wajah Alan yang sangat imut dan selalu menyebalkan. “Tadi itu siapamu, Bel?” Lamunannya buyar, sedikit terlonjak mendengar suara seorang laki-laki yang begitu dekat dengan posisinya. Ternyata Aksa sudah berdiri disampingnya, entah sejak kapan. Bella sedikit membungkukkan badan. “Assalamu’alaikum, Pak.” Sapanya ramah. “Wa’alaikumsalam. Tadi yang antar kamu itu siapa? Adik kamu?” kembali mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab. “Uumm ... iya, adik saya.” Jawabnya lirih. ‘Adik ketemu gede, maksud saya.’ Ngomong sambil menunduk tanpa mengeluarkan suara. Aksa mengerutkan kening. “Adik kamu bukannya di Bekasi ya?” Bella sedikit gelagapan. ‘Kok pak Aksa bisa tau, kalo Fano kuliah di Bekasi?’ batinnya dalam hati. Ting! Merasa terselamatkan, Bella segera masuk kedalam lift. Memencet angka tiga setelah Aksa masuk kedalam. Bella menggenggam erat tali tasnya, entah kenapa sekarang merasa sangat tak nyaman dengan Aksa. Merasa terlalu ingin tau urusannya. “Nanti, pulang bareng saya ya, Bel.” Kembali Aksa menawari. “Uumm, saya nggak bisa janji, pak.” Pengen langsung nolak tapi nggak enak, karna kemarin ia sudah menolaknya. “Kamu udah punya pacar ya?” “Hah,” Bella menatap Aksa, lalu menggeleng cepat. “Saya nggak pernah pacaran, pak.” Aksa tersenyum, ada kebahagiaan tersendiri. “Jadi, langsung ngelamar?” “Uumm ....” Ting! Pintu lift terbuka,membuat Bella merasa sangat lega. “Duluan ya, pak.” Segera melangkah keluar sebelum atasannya itu kembali mengajaknya ngomong. ** Alan telah melupakan sesuatu. Ia sudah punya janji untuk menjemput Erza. Karna melihat ada Bella, ia melupakan segalanya. Kali ini dengan kecepatan diatas rata-rata, ninja hijau itu menerobos jalanan, tak lagi pedulikan garis pembatas kanan dan kiri jalan. Pikirannya hanya takut jika sahabatnya itu kelamaan menunggu. Ciitt! Bunyi motor yang direm dadakan lengkap dengan ban motor naik keatas. Erza langsung nimpuk kepala Alan yang tertutup helm. Bhuk! “Mampir mana sih lo! Lamanya kek nungguin orang ngewee!” Omelnya, naik ke jok belakang. Tak menjawab, Alan memilih terkekeh melihat Erza bersungut. “Pegangan, ngab. Nanti jatoh lho,” berlagak seperti seorang pria yang mengingatkan kekasihnya. Tuk! Kembali Erza nimpuk kepala Alan. “Jijik, Al!” Alan nyengenges, tanpa nunggu lagi, ia segera menjalankan motor meninggalkan rumah Erza. Berkali-kali harus mendapat timpukan dari Erza karna ia membawa motor dengan brutal. Cukup sepuluh menit, ninja hijau itu terparkir digarasi sekolahan, tepat sebelum dua menit gerbang ditutup oleh satpam. Berjalan bersampingan menuju ke kelas mereka. Seperti biasa, mata anak-anak yang kebanyakan adalah cewek selalu terarah pada mereka. Alan melempar tas ke mejanya, lalu duduk dengan nyaman. Disusul Erza yang duduk dibelakangnya. Tak begitu lama Noah datang, sama saja, melemparkan tas ke wajah Alan dengan sangat sengaja. “Bangsul! Ini muka, mas. Btempat pelampiasan!” marahnya. Noah hanya tersenyum kecil, lalu duduk dikursinya, disamping Alan. Tanpa aba-aba, Noah mentonyor kepala Alan. “Semalam lo kemana, hum! Ditungguin juga, enggak nongol.” “Hampir aja kita bakar menyan sama nyanyi bareng.” Sahut Erza. Alan nonyor lengan Erza. “Jingan, dikira jailangkung!” Noah menatap Alan serius. “Emang semalam lo kemana? Nggak ada masalah, kan?” Alan geleng kepala. “Gue udah keluar rumah, sengaja ngambil jalan yang beda dari biasanya, ketemu bidadari di jalan. Jadi lupa semuanya deh.” Erza menahan tawa. “Yakin, itu bidadari? Bukan mak lobang?” “Eh, tapi ada untungnya juga sih, lo nggak datang. Semalam kita kejar-kejaran sama polisi.” Lanjut Erza. “Noah tuh hampir ketangkap.” “Anjing! Semalam gue salah ngumpet.” Menggelengkan kepala, mengingat kesalahannya semalam. “Azu yang kemarin ketangkap.” “Heleh, pasti sekarang juga udah bebas, kan?” komentar Alan, yang udah tau siapa Azu. “Dan itu bikin dia harus bener-bener pindah ke Jogja.” Lanjut Noah. “Yahh ... nggak bisa kawin lagi dong.” Timpal Erza. Bhuk! “Bacot, lo Za!” Noah nimpuk kepala Erza pakai buku. Tak begitu lama Bu Fatma, guru Bahasa Indonesia masuk, disusul Yohan dan Pasha yang udah pasti baru aja dari kantin. ** Tet! Tet! Tet! Bel pulang sekolah telah berbunyi. Alan, Noah dan Erza yang sedari tadi nongkrong di rooftop mulai beranjak. Mematikan rokok dan turun. Ngambil tas lebih dulu, lalu keluar menuju parkiran. Kedua motor gede itu keluar dari gerbang berbarengan, berjalan memenuhi jalan tanpa peduli dengan pengguna lainnya. Ah, ini sih udah jadi kebiasaan dari dulu. Alan dan Noah berpisah dipersimpangan jalan, karna Alan harus mengantarkan Erza pulang lebih dulu. Usai mengantar Erza, Alan langsung menuju pabrik tempat Bella kerja. Berhenti di warung yang ada didekat pabrik. “Kopi mocca satu ya, Buk.” Pesannya pada si ibuk pemilik warung. “Ya, mas.” Alan merogoh ponsel, masuk di layar chat ‘Tasya’. [Tan, gue udah didepan pabrik] send, centang dua abu-abu. Tak begitu lama warnanya sudah berubah jadi biru. Alan tersenyum kecil membaca status bertuliskan ‘sedang mengetik ....’ Klunting! Pesan balasan dari Bella masuk. [Aku nggak bisa pulang bareng kamu. Lain kali aja ya.] [mau naik ojol? Buruan pesan ojol] send Tasya. Bella [enggak kok.] Alan tak lagi membalas pesan dari Bella, memilih diam menikmati segelas kopi mocca yang sudah tersaji didepannya. Tak lama kemudian gerbang pabrik terbuka lebar. Beberapa orang keluar dari dalam. Mata Alan awas mencari sosok Bella diantara orang yang keluar itu, namun tak ada. Mungkin belum keluar, atau bisa jadi dia lembur. Pikirnya. Memilih kembali meraih ponsel yang ada diatas meja. Baru saja mau mengetik pesan, matanya menangkap sosok Bella yang ada didalam mobil warna hitam. Mobil itu keluar dari pabrik, berjalan lambat melewati warung dimana Alan tengah duduk. Tak sengaja tatapannya bertemu dengan Bella, saling pandang tanpa bertegur sapa. Mata Alan kembali mengawasi sosok pria yang duduk di kursi kemudi samping Bella. Tak ingin ambil pusing, Alan segera menghabiskan kopi, meninggalkan uang dan keluar dari warung. Menaiki motornya, memilih untuk pulang ke rumah. Sesampainya dirumah, Alan menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur. Pikirannya tertuju pada Bella dan pria yang surang mencuri star darinya. “Apa itu tadi pacarnya tante Bella ya?” ngomong sama bayangannya. “Eh, tapi nggak mungkin. Semalam kan tante bilang kalo nggak mau pacaran. Jadi ... itu nggak mungkin kalo pacarnya. Tapi, itu cowok pasti suka sama Tante.” Alan segera bangun, melepas baju seragam serta celana abunya. Bersisa boxer dan kaos dalam yang sangat tipis. “Mending mandi, ngambil motor dan main ke kost’an tante. Nanyain kejelasannya. Biar gue nggak penasaran sama tuh cowok.” Segera keluar dari kamar dan masuk ke kamar mandi. Tok! Tok! Tok! Baru saja masuk, pintu sudah ada yang mengetuk. “Al, buruan, gue kebelet pipis!” teriak Rayna dari luar. Ceklek! “Aaa!” rayna berteriak kencang sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Sintinng ya lo! Telanjang didepan gue!” ngomel sambil berlari keluar rumah. Tentu menuju ke rumah sebelah untuk numpang kencing. Alan terkekeh melihat kakaknya yang selalu begitu. Usai mandi dan dandan rapi, Alan keluar kamar. Makan lebih dulu, lalu pergi menuju bengkel tempat Yohan bekerja. Menitipkan motornya disana dan membawa motor milik teman Bella untuk mengantarkan ke kostan. Sesampainya di kost, gerbang tinggi berwarna biru itu tak ditutup, ada mobil warna hitam yang terparkir didepan kost. Mata Alan menyipit saat membaca plat mobil. Ini mobil yang berbeda dari yang tadi. “Aaa! Tolong! Jangan, Om!” teriakan yang membuat bulu kuduk Alan merinding. Segera ia menyetandarkan motor, melangkah mencari sumber suara. “Hiks ... jangan! Tolong jangan lakukan ....” “Tante,” lirih Alan saat menyadari jika itu suara Bella.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN