“Stop, sampai sini aja, pak.”
Bella menolak saat Aksa akan mengantarkannya masuk ke gang.
“Tapi kan kostmu masih harus jalan kesana.”
“Nggak apa, saya jalan kaki aja. Udah biasa kok. Makasih ya, tumpangannya. Saya permisi. Assalamualaikum.”
Aksa menghentikan tangan Bella saat hampir membuka pintu. “Besok pagi saya jemput ya.”
Bella mengerjab beberapa kali. “Uumm ... besok saya berangkat sendiri aja, pak.”
Aksa membuang nafas melalui mulut. “Kamu ... menghindari saya?”
“Eh, enggak, pak. Saya nggak enak ngerepoti bapak. Dan ... ada beberapa karyawan lain yang sangat tak suka jika saya terlalu dekat dengan bapak.” Jelasnya jujur. Karna memang ada beberapa karyawan yang sinis melihat Aksa mendekatinya beberapa kali. Apa lagi melihat Bella yang terlihat jual mahal. Itu berkesan sombong.
“Yakin, karna itu?” tanya Aksa menatap Bella dengan serius.
Bella menunduk, mengangguk samar. “Yaudah, pak, saya permisi ya. Asslamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Baru saja Bella turun, ponsel di dalam tasnya bergetar. ada panggilan masuk. Bella membungkukkan sedikit badan saat mobil Aksa melaju meninggalkannya. Baru setelah mobil menghilang, ia mengangkat telfon.
“Assalamu’alaikum, bund,” sapanya saat telfon terhubung.
“Wa’alaikumsalam, Bel, tadi om Riko kesini. Nanyain alamat kost kamu. Katanya udah telfon kamu beberapa kali, tapi nggak kamu angkat.” Jelas Citra disebrang telfon.
“Bunda kasih alamat kostku?”
“Iya. Katanya ada hal penting yang mau dia bahas sama kamu. Makanya bunda kasih alamat kostmu. Mungkin dia udah sampai di kostmu.”
Bella terbelalak saat melihat mobil warna hitam sudah terparkir didepan kamar kostnya. Bahkan gerbang kost masih terbuka lebar. Segera ia melangkah masuk, terlihat Riko yang mengintip isi dalam kamar melalui jendela kamar.
“Bund, nanti Bella telfon lagi ya. Assalamu’alaikum.” Tanpa menunggu jawaban Citra, Bella segera mematikan telfon. Kembali memasukkannya kedalam tas.
Riko tersenyum menyeringai melihat keponakannya datang. Bersedekap menatap Bella dengan pandangan yang menakutkan.
“Jadi, kamu bersembunyi disini?”
Bella memilih diam, membuang nafasnya kasar, lalu duduk dikursi teras depan kamarnya. “Kenapa om datang? Aku kan sudah jelasin ditelfon.”
Riko menengadah. “Mana sertifikat rumah itu?!” pintanya.
“Om kalah judi lagi kan, makanya mau jual rumah untuk menutupi hutang?” tebak Bella.
Riko terbelalak, matanya melotot hampir keluar dari tempatnya. “Nggak usah banyak bacot! Kamu tinggal kasih sertifikat rumah itu. Lalu beres. Aku juga nggak akan gangguin kamu lagi.”
Bella berdiri. Balas menatap pamannya tanpa rasa takut. “Sertifikat itu peninggalan nenek. Nenek nyuruh aku ngejaga peninggalan kakek. Bukan buat sesuatu yang sama sekali nggak penting!”
Bella segera berbalik, memasukkan kunci kamar dan masuk. Tangan Riko menghalanginya saat Bella hendak menutupnya rapat. Hingga aksi dorong pintu itu terjadi. Bella yang kalah tenaga, jatuh terduduk dilantai.
Brutal Riko melangkah masuk, membuka setiap laci yang ada. Mengacak apapun isi didalam lemari itu.
“Jangan berantakin kamarku, om!” bentak Bella dengan sangat kesal.
Seperti tuli, Riko tak mempedulikan apapun yang keluar dari mulut Bella.
“Om nggak akan nemuin apapun disini. Sertifikat itu nggak ada disini!” teriak Bella yang mulai kesal karna kamarnya benar-benar sudah berantakan.
Seketika pandangan Riko beralih ke Bella. Matanya menyorot tajam, membanting toples kecil berisi camilan hingga roti kering itu bercecer memenuhi lantai. Berjalan mendekati Bella yang berdiri menatapnya penuh amarah. Cepat tangan kekar itu mendarat keleher Bella, mencekiknya hingga Bella tak bisa bernafas.
“Dasar jalang! Dimana kamu sembunyiin sertifikat itu, hum?!” teriak Riko.
“Aakkgg ....” Bella kesulitan untuk sekedar mengeluarkan suaranya. Kedua tangan menggenggam erat tangan Riko yang mencekik erat lehernya. Memukul tangan itu yang sama sekali tak berasa untuk Riko. “Lep—pass ... om ....” pintanya.
“Katakan, dimana kamu simpan sertifikat itu?!”
Masih saja Riko menekan leher Bella. Karna Bella hanya diam tak amu bicara, Riko menyeringai. Menatap tubuh Bella yang tertutup kemeja warna abu-abu. Cepat tangan yang satunya menarik paksa jilbab yang membungkus kepalanya.
“Aaa!” teriak Bella saat jilbabnya benar-benar terlepas. Rambutnya berantakan, kuncir rambut sudah terlepas entah kemana.
“Akan lebih baik jika aku mencicipi sedikit tubuhmu ini, keponakanku tersayang.” Bisik Riko tepat didepan wajah Bella.
“Tolong! Jangan, om!” bulir bening menetes membasahi kedua pipinya.
Riko mendorong tubuh Bella hingga terjatuh tepat diatas kasur. Dengan tangan masih berada dileher Bella, Riko menarik kemeja yang masih membungkus tubuh Bella. Kancing kemeja itu terlepas, berlari entah kemana.
“Hiks ... jangan! Tolong jangan lakukan ....” mohon Bella dengan berlinang air mata.
Tak mempedulikan itu, Riko kembali melancarkan aksinya. Namun ....
Bhuk!
Tangan yang hampir menyentuh dadaa itu batal. Alan menariknya, melayangkan pukulan tepat di pelipisnya.
Riko jatuh dari atas ranjang. Alan meraih selimut yang ada diatas Bella, menutupi tubuh Bella yang sempat ia lihat. Kembali meraih kerah baju Riko, melayangkan beberapa pukulan hingga hidung Riko hampir patah.
“Pergi, Bajinngan!” teriak Alan dengan sangat emosi.
Dengan susah payah Riko bangun, mengelap darah yang keluar dari bawah mata. Menatap Alan dengan tajam. “Tunggu pembalasanku!”
“Iya, gue tunggu di pinggir jalan! Jan didalam kost!” teriak Alan tanpa rasa takut sedikitpun.
“Ciih!” sebelum benar-benar pergi, Riko meludah tepat didepan Alan.
Melihat mobil Riko berjalan keluar dari kost, Alan segera menghampiri Bella yang duduk diatas kasur menangis sambil memeluk lututnya.
“Tante,” ucapnya lembut, bahkan tak berani menyentuh Bella.
Bella mengangkat wajah, menatap Alan dengan linangan air mata. Kedua tangan mencengkram selimut yang menutupi tubuh dengan sangat kencang. “Makasih, Al.” Suara serak karna isak tangis.
Alan ngangguk, cukup bingung dengan keadaan ini. Pengen banget nenangin Bella, tapi nggak ngerti harus lakuin apa. Pengennya membawa Bella kedalam pelukan, mungkin bisa membuat wanita itu sedikit tenang, tapi Bella tak seperti wanita-wanita diluaran sana yang bisa dengan mudah bersentuhan dengan lawan jenis.
“Tante ganti baju dulu aja, nanti gue bantuin bersihin kamar. Gue tunggu diluar, ya.”
Bella ngangguk tanpa menatap Alan. Melihat anggukan Bella, Alan melangkah keluar kamar. Duduk dikursi depan kamar Bella.
Alan ngambil sebatang rokok, menyalakannya dan mulai menghisap. Menghilangkan rasa sepi dan penasaran tentang lelaki yang tadi ia hajar. Cukup lama, bahkan sampai ia habis rokok sebatang.
Bella keluar kamar membawakan segelas teh hangat. Menaruh dimeja kecil yang terletak didepan Alan.
“Maaf ya, adanya Cuma minum. Camilanku habis diberantakin tadi.” Bella ikutan duduk disamping Alan. Tentu dengan jarak yang cukup jauh.
Alan terdiam, menoleh, menatap wajah Bella yang masih sangat murung. “Tan ...” ucapnya tertahan.
“Dia ... omku. Adik kandung Ayahku.” Seakan tau apa yang akan Alan tanyakan.
Alan mengalihkan pandangan, tangannya mengepal. Sangat sakit melihat orang yang ia pedulikan diperlakukan tak manusiawi. Bagaimana bisa paman sendiri melakuakn hal keji terhadap keponakannya? Benar-benar b***t! Seyalan!
“Aku berhutang banyak sama kamu.” Bella menatap wajah Alan. “Andai kamu nggak datang, aku nggak tau, apa yang akan terjadi sama aku.” Menunduk, menghapus bulir bening yang menetes dipipi.
Alan kembali menarik tangannya yang hampir menyentuk lengan Bella. “Udah, tan. Jan diingat lagi. Mulai sekarang posisi tante udah nggak aman. Pasti itu orang bakal balik lagi kesini.”
“Tapi aku nyaman ngekost disini, Al. Aku udah tinggal dua tahun lebih disini.”
Alan membuang nafas melalui mulut. Meraih gelas teh yang tadi dibawakan Bella, lalu meminumnya sedikit. “Mulai besok gue antar jemput ya.”
Bella menatap Alan, mencari keseriusan dari wajah bocah disampingnya. “Kenapa?”
“Gue nggak mau terjadi apa-apa sama calon makmum gue.” Jawab Alan tanpa beban.
Bella mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan kedua pipi yang sekarang merona. Tangannya mencengram ujung jilbab erat. Ada rasa yang berbeda saat bersama Alan. Bocah tengil yang umurnya sangat berbeda jauh darinya mampu menimbulkan rasa yang membuncah dihati.
“Uumm ... aku mau beresin kamar dulu ya.” Segera berdiri, masuk kedalam kamar.
Alan tersenyum kecil melihat tingkah Bella yang terlihat sangat lucu. Kembali meminum teh, lalu mengikuti Bella masuk kedalam kamar.
Menyadari Alan yang ikut masuk ke dalam kamarnya, Bella sedikit menoleh. Lalu kembali memberesi bajunya yang sudah berantakan dilantai.
Sementara Alan mengambil sapu, menyapu beling dari toples yang tadi dilempar Riko. Alan bersenandung memecah keheningan, cukup menyadari perubahan Bella yang menjadi canggung karna kata-katanya tadi.
Hampir satu jam acara beresin kamar, mereka lakukan, Bahkan benerin lemari yang rusak juga. Alan sedikit kesulitan karna ia tak mempunyai pengalaman menjadi tukang.
“Bisa nggak, Al?” tanya Bella yang memperhatikan kebingungan Alan sejak tadi.
“Pasti bisa, tan. Ada paku enggak, tan?”
Bella geleng kepala, tapi detik kemudian berdiri. “Aku cariin di gudang. Keknya ada deh.” Segera keluar dari kamar menuju gudang yang ada disamping garasi motor.
Alan duduk dilantai, membuka ponsel. Langsung masuk ke goggle, sharecing tentang tata cara membenarkan pintu lemari yang rusak. Membaca beberapa artikel yang menjelaskan tentang cara-caranya.
Setelah paham, Alan kembali memasukkan ponsel kedalam saku celana. Tak sengaja matanya menatap sesuatu dibawah lemari. Mengambil benda yang tertinggal disana. Bh berwarna putih kombinasi coklat, membuat Alan mengulas senyum. Meneliti barang khusus wanita itu dengan teliti.
“Waahh, 38, lumayan gede ya. Mantap.” Ucapnya sambil nyengenges.
Mendengar langkah kaki Bella, ia segera melempar bh itu kedalam lemari. Tak mau jika Bella merasa malu karna harta karunnya dilihat orang lain.
“Ini pakunya, AL. Kamu bisa milih, mau pakai yang gede apa kecil.” Meletakkan beberapa paku diatas lantai.
Alan tersenyum mengingat angka yang tadi ia lihat. Memilih paku yang paling kecil, lalu mulai memasangnya. Memukul paku itu pelan-pelan.
Tuk! Tuk! Braak!
Tetiba pintu lemarinya jatuh. Esel yang tadi hanya lepas bagian atas, sekarang bagian bawah juga ikut lepas. Untung saja Bella cepat menghindar, kalo enggak, itu pintu udah nimpuk kepalanya.
“Yaah, pintunya malah ngambek.”
Bella melotot, menatap lemari yang sekarang malah terbuka lebar tanpa pintu. “Al, kok malah jadi rusak parah sih.” Mulutnya manyun.
Alan menggaruk tengkuk yang jadi gatal dengan sendirinya. “Gue panggilin Mang Jupri aja ya.”
“Siapa Mang Jupri?” tanya Bella dengan mulut manyun.
“Tetangga rumah yang sering benerin genteng di rumah gue.” Alan merogoh ponsel dari saku celana, mencari kontak Mang Jupri dan melakukan panggilan telfon.
“Hallo, Mang.” Sapanya saat telfon sudah tersambung. “Tolong benerin pintu lemari teman saya ya. Nanti alamatnya saya kirim. Bawa esel dua sekalian.” Menutup telfon saat yang disebrang menyanggupi. Sharelok ke nomor Mang Jupri dan kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Nyengir natap Bella yang masih cemberut natap pintu tergeletak didepannya.
“Maaf deh, tan. Gue kan emang nggak pernah pegang palu.” Sesalnya dengan wajah memelas.
Bella berdiri, ngambil sebotol minum dan meneguknya. “Harusnya kan kalo nggak bisa, bilang dari awal, bukan malah sok bisa dan merusak segalanya.” Masih aja bibir itu maju.
Alan ikutan manyun. “Yah ... dimarahin.” Cemberut, merasa sangat bersalah. Menyingkirkan pintu yang jatoh, menaruh disamping lemari, lalu ia berjalan keluar dari kamar kost Bella. Duduk di depan kamar menunggu Mang Jupri datang.
Mulai dengan kebiasaannya, mengeluarkan ponsel dan main game favorit. Bahkan lupa sama Bella yang ngambek, butuh di bujuk-bujuk biar ngambeknya luluh. Namanya bocah kan beda ya, apa lagi modelan agak cuek dan tengil begini. Harus sabar deh.
Bella cemberut menatap Alan yang asik main game tanpa peduliin dia. Berdiri diambang pintu dengan kedua tangan yang bersedekap didepan d**a.
“Mang, sini, Mang!” teriak Alan saat melihat seorang lelaki yang datang dengan motor bebek.
Mang Jupri memutar motor, masuk ke gerbang kost Bella. Melepas helm dan segera berjalan mendekati Alan.
“Mana yang mau dibenerin, mas?” tanyanya.
“Itu didalam.” Bella yang jawab, mempersilakan Mang Jupri masuk.
Alan hanya diam, melirik sebentar, lalu kembali asik dengan layar didepannya. Bella tambah kesal, menghentakkan kaki pelan, menyusul Mang Jupri masuk. Bergegas menuju dapur untuk membuatkannya minum.
Acara benerin pintu lemari yang memakan waktu sekitar setengah jam itu selesai. Mang Jupri segera pamit pulang. Alan masih berdiri didepan kamar kost Bella. Tak begitu lama, Yeni, teman satu kontrakan yang berbeda kamar, masuk gerbang. Tersenyum saat tatapannya bertemu dengan Bella.
“Baru balik dari Jogja, mbak?” sapa Bella dengan sangat ramah.
“Iya. Baru banget. Turun bandara langsung kesini.” Mengambil kunci kamar dari dalam tas lalu memasukkannya. “Asti masuk malam?”
“Iya, mbak. Hampir dua minggu ini, dia masuk malam terus. Dina juga, aku kejatah sendirian di kontrakan.” Adu Bella pada teman kostnya.
Yeni terkekeh. “Sekarang ada aku. Aku masih free seminggu.” Membuka pintu. “Aku mau istirahat dulu ya.” Melihat anggukan Bella, Yeni segera masuk kedalam kamar, lalu menutup pintu kamarnya rapat.
Tak begitu lama terdengar adzan magrib. Bella menjawil bahu Alan.
“Hhmm.” Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun.
“Denger adzan nggak?” tanya Bella.
“Denger.” Jawab Alan singkat, masih fokus menembak lawan.
“Yaudah, nunggu apa lagi.”
Tetap diam tak menyahut, hingga menit kemudian. “Argg! Kamvret! Kalah lagi di level 18. Awas aja ya, nanti gue kalahin lo!” ngomel saat ponsel bertuliskan game over.
Bella membuang nafas kasar melalui mulut. Beneran kek guru yang berhadapan sama muridnya. Tangannya kembali menjawil Alan. “Al, ke masjid gih. Sebelum iqomah.”
Alan menoleh, menatap Bella dengan bingung. Tapi detik kemudian menyimpan ponsel di saku celana, lalu berdiri menghadap Bella. “Yaudah, gue pergi ya. Sering-sering chat, biar gue tau keadaan lo aman.” Tersenyum, menunduk sedikit, lalu melangkah menjauh dari hadapan Bella.
Bella menatap punggung yang semakin menjauhinya. Alan kembali menoleh saat sampai diluar gerbang, tersenyum dengan mengedipkan satu matanya. Lalu melambaikan tangan.
Bella tertawa kecil, memegangi kedua pipi yang terasa memanas. Tak ia sadari jika hatinya mulai menghangat dengan kehadiran Alan.
Setelah keluar dari gang, Alan berjalan kearah selatan, ngambil ponsel dan memesan ojol melalui aplikasi. Mampir kewarung untuk membeli air mineral. Matanya memicing, menangkap sosok Riko yang ada disebrang jalan.
Pasti Riko sedang merencanakan sesuatu, kan? Keadaan tante beneran nggak aman.