“Ma, Mama nggak harus melakukan ini. Mendatangi keluarga Cecil dan memaki mereka. Kalau Mama mau salahin, salahin saja Rio, Ma. Kalau Rio bisa menahan diri, pasti nggak akan kayak gini jadinya.”
Mario muncul di lantai tiga dan langsung mengutarakan keberatannya pada Mama. Sore itu, sepulang kerja, lagi-lagi drama yang didengar Mario. Cecil merengek dan menangis seolah dialah wanita paling menderita di dunia. Diceritakannya secara berlebihan bagaimana mamanya Marisa datang dan terus memojokkan dirinya karena sudah hadir sebagai orang ketiga dalam pernikahan Mario dan Marisa.
Karena tidak tahan dengan rengekan Cecil dan juga sindiran mertuanya, Mario langsung meninggalkan rumah Cecil tanpa sempat ganti baju dulu. Langsung menuju ruko tempat Marisa tinggal. Perasaannya masih mendidih sewaktu tiba di sana. Maksud dia memberikan alamat Cecil pada mama mertuanya tadi pagi supaya mama mertunya iba pada kondisi Cecil yang sedang hamil dan urusannya untuk menjadikan Cecil istri kedua bisa mendapat dukungan darinya.
Nyatanya, mama mertuanya malah meradang dan memarahi Cecil dan keluarganya.
“Nah, kamu sadar, tuh.” Mama memandang biasa saja kedatangan Mario. Tidak menyuruh duduk apalagi menawari makan.
Fasilitas bintang lima ala sultan yang biasa dia berikan pada Mario sebagai menantu kesayangannya langsung dia cabut ketika tahu Mario sudah menikah lagi.
“Rio sadar, Ma. Dan Rio sedang berusaha memperbaikinya sekarang. Tapi Rio nggak bisa memulihkan keadaan kembali seperti sebelumnya. Rio cuma manusia biasa, yang selalu khilaf dan nggak bisa bertindak bijaksana. Rio benar-benar minta maaf karena udah bikin Mama kecewa sama Rio.”
“Sangat,” kata Mama sambil memandang menantunya yang berdiri di ujung tangga dengan pandangan kesakitan teramat besar. “Kalau Risa bisa menerima semua perlakuan ini, Mama nggak bisa. Mama merasakan sakit hatinya Risa. Mama nggak ikhlas anak Mama diginiin!”
“Rio minta maaf, Ma.” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutnya sekarang. Kemarahan yang meluap seketika redup karena perasaan bersalah.
“Cari kata lain selain ngomong maaf melulu!” kata Mama.
Ruangan seketika bisu. Hanya desing kipas angin yang berputar mendinginkan suhu ruangan yang memanas dengan cepat. Mama memandangi Mario yang berdiri membeku menatap lantai. Seandainya waktu bisa diputar ulang, dia mau memilih kembali pada saat dia meniduri Cecil. Saat pertama baginya merasakan nikmatnya dunia dan membuatnya meminta lagi dan lagi. Setann sedang mengambil alih isi kepalanya waktu itu.
Saat ini isi kepalanya beneran penuh. Dia nggak tahu lagi harus bagaimana menyatukan dua keluarga yang jelas saling membenci satu sama lain. Cecil dan keluarganya menginginkan perceraian Mario dan Marisa. Demikian juga sebaliknya. Keinginan untuk menyatukan mereka dalam damai ternyata tidak semudah perkiraannya. Dia pikir, diam dan sikap pasrah Marisa saja sudah cukup. Dia lupa kalau menikah itu bukan hanya menyatukan dua kepala tapi juga dua keluarga. Di belakang Marisa masih ada mamanya, papanya dan entah siapa lagi nanti. Kalau dia ingin mendapatkan izin Marisa, mungkin dia harus menjauhkan istrinya itu dari keluarganya.
Mario kepala keluarga. Meski rasa bersalah itu sangat besar, dia tidak ingin istrinya melawan. Dia harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan keduanya.
=*=
Di sinilah mereka berdua saat ini. Mario tidak mau kembali ke rumah Cecil dan mendengar rengekannya yang membuat gendang telinganya hampir pecah. Dia menghubungi Marisa dan memintanya membawakan pakaian ganti yang ada di ruko Marisa dan mengantarkan diam-diam ke hotel tempatnya akan menginap malam ini.
“Kamu ke mana sewaktu aku datang ke tempatmu tadi?”
“Ke kantor sebentar. Ini akhir bulan dan aku harus laporan. Kenapa? Kamu berantem sama Mama?”
“Emang mamamu nggak cerita?” tanyanya menyelidik.
Marisa menggeleng. “Mama diam saja sejak pulang dari tempat Cecil. Apa Mama melakukan sesuatu sama istri kamu?” tanya Marisa santai.
Dia tahu mamanya. Wanita itu nggak akan melakukan kekerasan fisik. Paling banter Mama akan mengeluarkan sindiran-sindiran pedas. Dan Marisa nggak akan menyalahkan mamanya. Apa yang dilakukan Mama hanya mewakili perasaannya yang tidak tersampaikan. Dia terlalu pengecut untuk mendatangi rumah Cecil dan memancing keributan.
“Mama menghina Cecil dan menyangsikan anak dalam perutnya. Dia bilang wanita perayu kayak Cecil bisa saja berhubungan dengan lelaki lebih dari satu. Hanya saja aku yang kena apesnya harus tanggung jawab.”
Marisa mendengkus. Mama mewakili pikirannya. Hal itu sempat terlintas juga di kepalanya.
“Bisa saja apa yang dibilang Mama benar,” kata Marisa santai. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Mario duduk di kasur dan Marisa duduk di kursi tak jauh dari kasur.
“Aku yakin itu nggak mungkin.”
“Kenapa nggak mungkin? Kamu sangat butuh pengakuan kalau organ reproduksimu berfungsi dengan baik sampai nggak bisa berpikir soal kemungkinan itu?”
“Aku tahu banget Cecil itu gimana?”
“Sebesar apa kamu tahu soal Cecil? Kamu sendiri bilang kalau hubungan kalian awalnya bukan karena cinta karena kalau cinta kamu sudah punya aku.”
Ada keraguan di mata Mario. Tapi dia menepisnya dengan cepat. Mario nggak mau kalau sampai kelelakiannya diragukan.
“Itu nggak mungkin. Sekali aku bilang nggak mungkin, ya nggak mungkin!” katanya bersikeras.
“Terserah kamu.” Marisa enggan berlama-lama dengan suaminya. Dia berdiri dan bersiap pergi meninggalkannya.
“Jangan pergi,” pinta Mario ketika dia melihat istrinya bersiap pergi. Dia mengulurkan tangan padanya. “Aku nggak mau melewati malam ini sendirian.”
“Kamu bisa pulang ke rumah Cecil. Aku ikhlas kalau jatahku hilang.”
“Sa …,” rengeknya. Hanya pada wanita ini dia nggak harus pura-pura kuat. Mario bebas bermanja dan kelihatan lemah di hadapan Marisa. “Aku butuh kamu malam ini.”
Marisa memandang uluran tangan suaminya. Di hadapan Mario, dia juga nggak harus pura-pura tegar. Meski kadang dia bersikap egois, Mario masih tetap mencintainya. Hanya saja lelaki ini gampang dipengaruhi. Karena itu Mario selalu membutuhkan Marisa yang tegas untuk meluruskan kebimbangannya.
Diambilnya uluran tangan Mario dan lelaki itu menarik istrinya hingga duduk di pangkuannya. Didekapnya tubuh Marisa erat-erat. Dan Marisa memeluk kepala suaminya lalu menciumnya.
“Apa kamu masih menginginkan aku? Seperti dulu kamu mengejar aku semasa kuliah?” tanya Marisa lirih. Dalam pelukannya dia merasa Mario mengangguk.
“Apa kamu mencintai Cecil?” tanyanya lagi. Mario diam. Dia sendiri bingung bagaimana perasaannya pada wanita itu.
“Aku tidak tahu,” katanya jujur.
“Apa aku egois kalau aku minta kamu jangan mencintainya? Kamu boleh mengakui anaknya tapi jangan mencintai ibunya.”
Tubuh Mario menegang. Tidak mengira akan mendapatkan permintaan seperti ini dari istrinya.
“Sa ….”
“Aku masih mencintai kamu, Yo. Tapi aku bukan perempuan yang bersedia membagi suami dengan perempuan lain. Aku memaafkan kesalahanmu kali ini asalkan kamu berjanji nggak akan menyentuh dia sampai aku siap. Apa aku boleh meminta janjimu itu?”
“Tapi dia istri aku, Sa.”
Hati Marisa mengeras. Dia cukup paham kalau sampai Mario terus-terusan menyentuh Cecil, maka usahanya untuk mendapatkan suaminya kembali bakalan susah. Bisa jadi karena sering bersentuhan dan mereka juga akan segera punya anak, Mario bakalan mencintai Cecil tanpa sadar. Dan saat itu terjadi, Marisa berada di pihak yang kalah.
“Kalau begitu nggak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Aku mau pulang.” Marisa melepaskan diri dari pelukan Mario dan bersiap meninggalkan lelaki itu.
“Apa karena Mama?”
Marisa menghentikan langkahnya dan memandang Mario sembari mengernyit. “Soal apa?”
“Sikap dan keputusan kamu akhir-akhir ini. Semua terasa berbeda. Kupikir kamu akan menerima kehadiran Cecil dan anakku dengan lapang dadaa.”
“Apa selama ini terlihat begitu?” tanyanya getir.
“Maksudmu?” Mario malahan nggak mengerti maksud pertanyaan istrinya. Bukankah sikap diam dan pasrahnya Marisa selama ini karena dia setuju Mario membagi dirinya antara Marisa dan Cecil?
Marisa mendesah. “Kalau begitu mari kita luruskan. Selama ini aku diam bukan karena aku setuju dimadu. Aku nggak pernah suka dimadu dan menyetujui poligami. Kamu silakan pilih dari sekarang, Cecil atau aku yang akan kamu pertahankan. Aku diam karena aku sedang berpikir, Yo. Dan aku nggak sanggup berpikir sendiri. Perbuatanmu ini mendapat persetujuan dari Mama Nani dan aku merasa jadi pihak yang dilecehkan. Kalian seolah sedang menertawakan aku.” Marisa menahan agar tangisnya tidak keluar saat ini. Suaranya seperti tersangkut di tenggorokan.
“Nggak begitu, Sa.”
“Tapi seperti itulah perasaanku! Kalian sedang menertawakan ketidakmampuanku buat bereproduksi! Dan aku bukannya nggak sanggup. Tapi belum sanggup! Apa Mama Nani tau kondisi aku saat ini? Mama Nani tau kalau aku sakit? Seandainya kamu kasih tau dia, apa mungkin dia menyesal?”
“Jangan sampai kamu lakukan itu, Sa. Kamu akan menyesal.”
“Aku sudah menyesal sekarang, Rio! Kupikir kamu lelaki masa depanku tapi nyatanya jodoh kita cuma bisa sampai di sini. Aku minta ce—”
“Jangan pernah ucapkan itu! Aku nggak akan pernah menceraikan kamu, Sa!”
Marisa tidak kuat menahan tangis. Dia meraung dan menghentakkan kakinya ke lantai. Hal yang dia tahan berminggu-minggu akhirnya meledak juga. Diterjangnya tubuh Mario dan dipukulinya dadaanya. Mario menerima perlakuan istrinya tanpa membalas sama sekali. Dia merasa berhak menerimanya.
“Kamu egois tahu nggak! Kamu menahan aku cuma buat disakiti! Cuma buat ngeliat kegembiraan kamu sama Cecil yang bakalan punya anak? Ceraikan aku, Rio! Ceraikan aku! Aku nggak mau melihat gimana perempuan itu udah ngambil tempat aku! Aku nggak sudi berbagi pelukan sama dia! Aku benci dia tahu! Aku benci Cecil. Dia berengsek keparatt yang sudah seenaknya mengambil kamu dari aku. Ceraikan aku Rio! Ce-rai-kan ….”
Tubuh lemas Marisa meluruh ke lantai. Mario menunduk dan memeluknya. Awalnya Marisa menolak tapi lama kelamaan dia membiarkan suaminya memeluknya. Lalu Marisa menangis di pelukan suaminya. Seharusnya saat ini mereka sudah berada di Bandung dan Marisa melakukan terapi dengan didampingi suaminya. Hanya karena izin dari Cecil nggak juga didapat, terapi itu urung dilakukan. Entah kapan penyakit Marisa sembuh dan entah kapan dia bisa membahagiakan Mario.
“Aku mencintai kamu, Sa. Aku nggak sanggup kehilangan kamu.”
“Tapi aku nggak sanggup disakiti terus-terusan kayak gini, Yo. Aku sakit. Dan aku mau sembuh. Bukan cuma penyakit aku tapi hati aku juga mau sembuh.” Marisa makin terisak.
“Aku … aku janji bakalan nganter kamu ke Bandung buat berobat. Nggak perlu izin Cecil lagi. Kita pergi ke Bandung segera, ya. Setelah Mama kamu pulang?” tanya Mario.
Marisa tidak menjawab. Dia hanya terisak. Dia sadar kalau masalah ini nggak bisa diselesaikan sekaligus. Harus pakai skala prioritas, mau yang mana diselesaikan lebih dulu. Apa soal perasaannya atau sakitnya dulu?
“Hhh, kamu yakin bisa menghadapi kemarahan dia nantinya?” tantang Marisa.
“Kamu prioritas aku sekarang. Sembuh dulu, nanti biar aku urus soal Cecil. Jangan pikirkan yang lain, oke?” Mario mendekap tubuh istrinya erat-erat dan mereka berusaha menyembuhkan perasaan satu sama lain.
Malam itu, yang hilang kembali datang. Yang pernah pergi kembali hadir. Mario dan Marisa menghabiskan malam dengan isi kepala yang sama-sama penuh. Mario dengan pikirannya menemukan jalan bagaimana menyatukan Cecil dan Marisa dalam satu kapal. Sementara Marisa berpikir apa yang akan dia lakukan setelah sembuh nanti. Apa tetap bersama Mario dan menjalani kehidupan poligami, karena dia tahu Mario pasti akan mengusahakan langkah itu. Ataukah dia akan merelakan lelaki itu selamanya dan mencari kebahagiaannya sendiri?
Sementara jauh dari mereka, di lantai tiga sebuah ruko, Mama sedang menyusun rencana untuk menemui besannya dan meminta pertanggungjawaban atas nasib yang menimpa putri tersayangnya.©