10| Perempuan-Perempuan

1389 Kata
“Rio minta maaf, Ma.” Lelaki itu menunduk ketika ibu mertuanya meminta penjelasan alasan perbuatannya. Marisa nggak bilang kalau mamanya datang. Dia takut Mario malah menghindar dan nggak mau datang mengunjunginya. Ketika tiba gilirannya dikunjungi Mario, Marisa membiarkan dia dan Mama bertemu. Tentu saja Mario terkejut, tapi dari pandangan istrinya dia tahu kalau Mama sudah tahu semuanya. Tidak ada yang bisa ditutupi dan tidak ada kata lain yang pantas diucapkan selain maaf. “Perbuatan kamu ini … pasti sudah kamu pikirkan masak-masak, kan? Resiko dan juga konsekuensi yang harus kamu hadapi.” Mario menelan ludah. Pertemuan dengan ibu mertuanya sudah dia perkirakan dan meskipun dia sudah menyiapkan diri, Mario tidak pernah benar-benar siap berada dalam situasi seperti ini. “Apa salah Marisa sama kamu, Rio? Kenapa kamu tega menyakiti dia. Kamu tahu, kan kalau perbuatan kamu ini sama aja kayak penghinaan buat Mama? Dulu kamu masuk ke keluarga kami, Mama terima dengan baik. Kamu ingin cepat-cepat menikahi Risa, padahal dia pengen kuliah S2, Mama dukung. Apa pun keinginan kamu, Mama dan Papa selalu mendukung karena kami percaya sama kamu. Sekarang? Kamu malah menyakiti dia dengan kawin lagi. Apa nggak menghina Mama dan Papa namanya?” “Ma … Rio nggak pernah bermaksud kayak gitu. Ini karena keadaan. Risa—” “Risa cerita soal dirinya yang nggak bisa melayani kamu. Dan Mama tahu dia nggak pernah mengalami trauma apa-apa. Mama yakin kalau kondisi dia bisa dijelaskan secara medis. Dan benar, kan? Istri kamu itu sakit. Apa dia meminta penyakit seperti itu? Kalau tahu dia punya penyakit itu mungkin dari pertama dia nggak akan mau nikah sama kamu. See? Mama aja bisa pakai otak Mama untuk berpikir kalau ada sesuatu yang nggak beres sama Risa. Dan kamu … apa napsu kamu sudah mengambil alih semua logika berpikirmu?” Mario hanya diam menerima semua ucapan Mama yang menyakitkan baginya. Yang dikatakan Mama sebagian besar memang benar. Otaknya sedang tidak dalam kondisi prima ketika memutuskan untuk selingkuh dengan Cecil. Yang Mario ingat, dia baru saja menghadiri acara khitanan anak sepupunya. Waktu itu Marisa tidak ikut karena ada pertemuan dengan downlinenya. Jadilah dia menghadapi sindiran keluarga seorang diri. Tantangan dari seorang paman membuat harga dirinya sebagai lelaki terusik. Paman itu bilang kalau lelaki di keluarga mereka itu pejantan tangguh semua, tidak bisa membuat hamil satu perempuan, bisa mencoba dengan perempuan lain. Dan itulah pilihan yang dia lakukan. Terbakar emosi, Mario mengikuti kata hati melakukan perbuatan laknat itu dengan Cecil. SPG tempat dia bekerja yang kerap menggodanya. Mario pikir, daripada harus mencari, kenapa tidak didekati saja yang sudah pasti mau. “Rio khilaf.” Mama mendengkus dan memalingkan mukanya. Jawaban khas pesakitan ketika dalam keadaan terdesak. “Khilaf kok berkali-kali,” sindir Mama. Mario tidak akan menyanggah omongan Mama. Sepenuhnya dia sadar kalau yang dia lakukan memang salah. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi dan dia juga nggak bisa kembali ke titik nol. Yang dia usahakan saat ini adalah bertanggung jawab pada kedua istrinya. Berusaha membahagiakan mereka tanpa menyakiti salah satunya. “Jadi sekarang kamu maunya gimana?” Mario menarik napas pelan. Ini bagian terpentingnya. Dipandangnya ibu mertuanya dengan takut-takut. “Cecil, istri kedua saya sedang hamil. Rio nggak mau bayinya lahir tanpa bapak. Dia anak Rio, Ma.” “Risa juga bukannya nggak bisa kasih anak, Rio.” “Maaf, Ma. Rio baru tahu keadaan Risa setelah menikahi Cecil.” “Jadi kamu mau tetap nikah sama Cecil?” “Rio sama Cecil baru nikah siri. Kalau Risa izinkan, baru Rio bakal urus nikah secara sah-nya.” “Berani sekali kamu,” desis Mama. “Meskipun Risa kasih izin, Mama nggak akan menerimanya. Sekali kamu mengesahkan pernikahan kamu dengan perempuan itu, kamu udah Mama anggap nggak ada! Kamu bukan lagi menantu Mama!” “Ma, kalau Rio nggak mengesahkan status pernikahan kami, anak Rio juga nggak bisa disahkan secara hukum.” “Mama nggak peduli! Kamu harus pilih salah satu! Risa atau perempuan itu! Kalau kamu bersikeras mempertahankan perempuan itu, ceraikan Risa.” Mario memandang istrinya yang berdiri diam dengan tatapan datar. “Tapi Risa nggak keberatan dimadu.” “Nggak keberatan bukan berarti setuju buat kasih izin.” “Sa … bener kata Mama kamu? Kupikir kita sudah sepakat kemarin.” Mario memandang istrinya yang kini menatapnya sedih. “Aku setuju buat membagi waktu kebersamaan kita, Yo. Kita nggak pernah membicarakan soal izin menikah lagi. Dan benar kata Mama, kalau kamu mau mengesahkan pernikahan kamu sama Cecil, kamu harus ceraikan aku.” Mario terhenyak. Ini sama saja dia tidak dapat izin dan dipaksa harus memilih. Selama dia dan Marisa masih terikat dalam pernikahan, selama itu juga status Cecil cuma istri siri Mario. =*= Mama memandang ke sekeliling ruang tamu yang sempit. Seperti déjà vu saja. Dia merasa berada di rumah putrinya. Tirai yang menggantung di jendela ruang tamu sedikit kebesaran karena memang bukan ukurannya. Sofa tamu ini juga, terlalu besar untuk ruang tamu yang sempit karena memang sofa ini dipesan untuk ruang tamu yang lebih besar. Ini baru ruang tamu. Mama yakin kalau dia diizinkan masuk lebih dalam, dia bakal menemukan isi rumah Marisa yang berpindah ke sini. Di depannya, duduk perempuan muda yang konon sudah dinikahi menantunya sebulan yang lalu. Di sebelah perempuan muda itu ada perempuan yang sepantaran atau lebih tua sedikit darinya. Perempuan itu terlihat angkuh karena sejak Mama datang, dia tidak mau menurunkan dagunya. Sama seperti anaknya, dia juga bermuka masam. Gimana tidak masam, karena saat ini yang datang ke rumahnya adalah ibu kandung Marisa. “Kalian pasti sudah menduga kenapa saya datang kemari. Jangan heran kenapa saya bisa tahu alamat ini. Sebelum bertemu kalian, Mario sudah lebih dulu tinggal bersama saya. Bukan hal sulit untuk mengorek keterangan dari dia.” Cecil kelihatan menelan ludah. Selain menahan mual, dia juga berdebar dengan maksud kedatangan mamanya Marisa. “Kita bertiga perempuan. Seharusnya kita bisa memahami masalah ini dan menempatkan diri kita pada posisi yang tepat. Cecil, kamu itu perempuan. Sama seperti anak saya. Kamu tahu Mario sudah menikah, tapi kenapa kamu tega merayu dia? Apa Bogor sudah kekurangan stok lelaki single untuk kamu pacari? Okelah kamu sama Mario pacaran, tapi di mana harga diri kamu sampai menyerahkan badan kamu segala? Nggak usah salahkan laki-laki, mereka itu sama kayak kucing garong! Udah dikasih makan masih mencuri ikan.” Cecil menatap ke taplak meja. Tidak berani menatap wajah mamanya Marisa. “Ibu ini maunya apa? Datang ke rumah saya terus ngoceh panjang lebar. Sampai menghina anak saya segala. Memangnya kenapa Mario pacaran sama anak saya? Anak Ibu mungkin lebih cantik dari anak saya, tapi anak saya punya pesona yang bisa bikin Mario kepincut! Buktinya, dia menikahi anak saya.” “Itu karena anak Ibu hamil. Kalau nggak hamil pasti sudah ditinggal sama Mario. Apa Ibu nggak ngajarin sama anak Ibu kalau perempuan itu harus punya harga diri? Nggak asal melorotin celana di depan laki-laki?” “Kurang ajar! Berani Ibu menghina anak saya di rumah saya sendiri!” Kartika berdiri dan menatap galak pada Mama. Mama tidak mau kalah, dia ikut berdiri dan kini, dua perempuan itu saling berhadapan. “Mungkin ini memang rumah Anda, tapi perabotannya itu hasil nyolong dari rumah anak saya,” sindir Mama dengan suara yang ditenang-tenangkan. “Heh, jadi Ibu datang ke sini mau minta perabotan yang sudah dikasih Mario sama anak saya? Apa hak Ibu? Kenapa nggak anak Ibu aja yang datang sendiri ke sini dan minta langsung?” “Sejak kapan Mario punya hak sama perabotan yang dibeli pake uang anak saya? Jangan mimpi jadi orang kaya kalau kenyataannya masih kere, Bu! Nanti bisa tekanan batin. Terus ibu jadi stres.” “Ibu tuh yang stres! Mau ikut campur urusan anak orang. Urus saja anak sendiri biar bisa hamil! Nih! Anak saya—” Dielusnya perut Cecil yang tau-tau sudah berdiri di sebelahnya. “Di rahim ini ada anak Mario yang ditunggu-tunggu. Dan karena anak dalam perut ini, makanya anak saya menang satu langkah dari anak Ibu,” katanya menyombong. Tapi Mama nggak terpengaruh. Dia malah memandang sinis pada Cecil dan menatap jijik pada perutnya yang masih rata. “Beneran kamu hamil atau cuma pura-pura saja biar bisa menjebak Mario?” “Saya memang hamil, kok. Ada hasil USG-nya,” kata Cecil dingin. “Yakin itu anak Mario? Atau ada orang lain juga yang tanam saham di situ?” tanya Mama sinis. Dan Mama yakin, walau sekilas, dia melihat ada keraguan dalam tatapan Cecil.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN