“Mungkin Rio bakalan nemenin Risa ke Bandung buat berobat, Ma. Setidaknya 3 hari kami menginap di rumah sakit.”
Mama mendengkus. Dia sudah tahu cerita soal penyakit Marisa dan menawarkan untuk menemaninya.
“Kayak dapet izin aja dari perempuan itu.”
“Rio bilang nggak perlu izin. Kalau Cecil nggak mengizinkan, dia bakal tetap pergi buat nemenin Risa.”
Mama memandangi putrinya. Sebenarnya dia tidak berencana lama tinggal di sini, tapi kalau Rio nggak mau mengantar dia yang akan mengantar. Mama nggak mau membiarkan Risa melakukan pengobatan tanpa ada yang menemani. Masalah sakitnya bukan saja menyerang fisik, tapi juga menyerang psikologisnya. Tuduhan dari Rio salah satunya. Lelaki itu selalu mengatakan kalau Marisa terlalu tegang dan tidak santai.
“Mama akan tetap di sini sampai kamu beneran pergi ke Bandung. Mana tahu tiba-tiba Rio membatalkan rencananya buat nemenin kamu. Mama tahu kok tipe perempuan kayak apa Cecil itu. Tukang drama. Bisa aja pas kalian berdua lagi di Bandung dia ngaku-ngaku kalau kandungannya kenapa-kenapa trus minta Rio datang buat nemenin dia.”
“Pikiran Mama kreatif sekali.” Maksud Marisa bercanda tapi Mama malah melotot.
“Lihat saja nanti. Omongan Mama ini jarang ada yang meleset!” katanya lagi.
Marisa mendesah. Emang benar. Mama suka bener kalau ngomong. Kalau seperti ini susah juga. Rio mau pergi ke Bandung kalau Mama sudah pergi. Sedangkan Mama nggak akan pergi sampai dia dan Mario beneran pergi ke Bandung.
Keesokan harinya, Marisa menghubungi Mario ketika jam kantor. Jangan sampai dia menghubungi suaminya ketika sedang berada di dekat Cecil. Marisa malas berhubungan dengan perempuan itu. sebisa mungkin demi ketenangan perasaannya, dia nggak mau sampai melakukan kontak dengan Cecil.
Marisa: Kapan kita akan ke Bandung?
Mario: Mama kamu kapan pulang?
Marisa: Mama mau mastiin aku dan kamu beneran ke Bandung sebelum pulang.
Mario: Kok gitu?
Marisa: Mama takut kamu berubah pikiran.
Lama berjeda tak terlihat jawaban chat Mario di layar ponsel. Mungkin lelaki itu sedang memikirkan perkataan ibu mertuanya.
Marisa: Yo? Kalau minggu ini gimana? Lima hari aja kita di sana. Tiga hari perawatan yang dua harinya perjalanan.
Masih juga belum ada tanda-tanda Mario sedang mengetik jawaban. Marisa nggak mau berpikir buruk. Mungkin Mario sedang dipanggil atasan atau ada hal penting yang harus dia kerjakan. Marisa memilih menunggu.
Mario: Oke.
Jawaban yang datang singkat sekali. Oke? Oke untuk apa? Pergi ke Bandung minggu ini? Atau pergi selama lima hari.
Apa pun maksudnya yang penting mereka jadi pergi. Marisa pun mulai menyusun rencana perjalanan dan memberi tahu mamanya soal ini. Mama nggak banyak menanggapi. Dia butuh bukti nggak cuma janji dan kata-kata. Dia mau lihat sampai hari H, apa benar Mario menemani Marisa.
Ternyata Mario menepati janjinya. Pada hari keberangkatan, dia sudah berada di depan ruko Marisa dan mereka pun jadi pergi berdua ke Bandung. Marisa merasa nggak perlu bertanya macam-macam soal Cecil. Dia butuh mood yang baik untuk menjalani pengobatan ini. Walau dia merasa, Mario lebih pendiam dari biasanya.
Tiba di rumah sakit di Bandung, Marisa langsung menuju loket pendaftaran untuk mengkonfirmasi kedatangan mereka. Sebelumnya Marisa sudah melakukan reservasi sehingga mereka tinggal registrasi ulang saja. Dari sudut matanya dia melihat Mario berjalan sedikit menjauh darinya dan berbicara dengan menunduk di telepon. Marisa sudah menduga-duga kemungkinan yang terjadi. Tapi sekali lagi, dia butuh mood yang baik untuk melakukan pengobatan ini.
Setelah urusan administrasi selesai, Marisa dibawa perawat menuju ruang rawat inap. Dia dijadwalkan melakukan dilatasi berbantu setelah pengecekan fisiknya selesai. Mario mengiringi Marisa dan perawat dari belakang. Dia masih ada di ruangan ketika perawat melakukan cek tensi dan sebagainya pada istrinya. Dia juga masih ada disisi Marisa ketika perempuan itu dibawa ke ruangan khusus. Ketika perawat melakukan anestesi, Marisa masih memandang suaminya sebelum rasa kantuk yang teramat besar melanda dirinya.
Untuk melakukan dilatasi berbantu, Marisa harus dibius total. Ini dilakukan beberapa kali. Selanjutnya Marisa bisa melakukan dilatasi sendiri sampai sembuh di rumah.
Entah berapa lama proses dilatasi berbantu itu berlangsung. Yang Marisa tahu, kegelapan dan mimpi-mimpi indah menghampirinya selama dia dalam pengaruh anestesi. Namun ketika dia terbangun, mimpi-mimpi itu pergi dan dia harus merasakan kenyataan yang menyakitkan.
Seorang perawat memberi tahu kalau suaminya pergi terburu-buru dan menyampaikan pesan kalau ada keadaan darurat yang membuatnya harus meninggalkan istrinya.
Marisa terhenyak, tapi dia sudah tidak punya air mata untuk menangis atau mengeluh.
=*=
Kedua wanita itu duduk berhadapan di ruang tamu. Sebelumnya, Mama Nani enggan menemui besannya karena tahu maksud kedatangannya. Dimintaanya asisten rumah tangga untuk bilang kalau dia sedang sakit dan tidak bisa ditemui. Namun Mama Ratih, mamanya Marisa, tahu kalau besannya cuma pura-pura. Dia memilih menunggu sampai besannya itu keluar dari kamar. Dia berharap, kalau tidak bisa menemui besan perempuannya, dia bisa menemui besan lelaki yang pulang dari kantor.
Harapannya terkabul, Mama Nani yang merasa sia-sia menghindar dari dia akhirnya keluar dan mau menemui Mama Ratih.
“Ibu sudah tahu maksud kedatangan saya, kan? Jadi kita langsung saja. Saya cuma mau nanya, kenapa Ibu melakukan hal ini sama anak saya? Sewaktu Ibu melamar Marisa untuk Mario, Ibu pernah berjanji akan menganggap dia sebagai anak Ibu sendiri dan menjaganya. Tapi nyatanya? Kenapa Ibu melakukan ini sama Marisa?”
Mama Nani terdiam. Dia mengeraskan hati karena nggak mau terlihat bersalah di hadapan besannya.
“Apa dua tahun nggak bisa hamil lantas jadi alasan untuk membenarkan Mario menikah lagi?”
Mama Nani menatap tajam wanita yang duduk di hadapannya. “Bukan saya yang menyuruh Mario menikah lagi.”
“Tapi tekanan dari Ibu yang membuat dia mengambil keputusan itu. Dan Ibu menyetujui pernikahan mereka?”
“Itu anak Mario! Cucu saya! Di keluarga ini tidak ada lelaki yang tidak bertanggung jawab. Mario harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
“Bertanggung jawab kan nggak harus dengan menikahi perempuan itu. Apa Ibu nggak mikir gimana perasaan Marisa?”
Mama Nani memandang jijik pada Mama Ratih. Dia merasa kalau besannya ini sangat egois.
“Saya nggak mengira kalau perkataan ini keluar dari seorang ibu. Bagaimana kalau yang hamil di luar nikah itu adiknya Marisa. Apa Ibu nggak mau lelaki yang menghamilinya itu menikahi dia sebelum janin itu dilahirkan?”
Mama Ratih terdiam. Benar juga. Dia juga nggak mau menanggung malu karena anaknya hamil di luar nikah. Dia pasti akan meminta lelaki yang menghamilinya itu menikahi anaknya meskipun cuma nikah siri.
‘Deg!’
Itulah yang terjadi saat ini. Keluarga perempuan itu melakukan hal ini untuk menutupi aib. Tubuh Mama Ratih mendadak lemas. Dia masih belum percaya kalau hal semacam ini menimpa putrinya.
“Keluarga kami bukan keluarga kere, Mario sanggup menghidupi dua perempuan. Kenapa harus ribut-ribut, sih Bu? Terima saja. Lagian kata Mario, Marisa juga tidak keberatan. Kita sudah tua, Bu. Nggak perlu egoislah. Biar saja anak-anak yang menjalani. Buat saya, yang penting sudah terbukti kalau Mario itu sehat. Dia laki-laki tulen yang bisa menghasilkan keturunan. Nggak tau kalau yang lain,” katanya menyindir.
Mama Ratih yang tadinya sudah mulai menurun emosinya mendadak naik lagi.
“Anda pikir anak saya mandul?”
Mama Nani menatap besannya heran. “Saya nggak ngomong begitu. Anda yang menyimpulkan seperti itu.”
“Asal Anda tahu saja. Anak saya nggak mandul! Kalau Anda mau bersabar setidaknya setahun lagi, akan terbukti kalau anak saya itu bisa menghasilkan keturunan juga. Selama ini dia tidak hamil, karena anak saya dan anak Anda nggak pernah bisa berhubungan suami istri. Hhh!” Mama Ratih tersenyum sinis melihat raut terkejut pada wajah besannya.
“Kenapa? Anda terkejut? Tanya sama anak kesayangan Anda kenapa mereka nggak bisa melakukan hubungan suami istri. Dan … tanya juga sama anak kebanggaan Anda itu, siapa yang selama ini lebih banyak mengeluarkan uang dalam rumah tangga mereka. Maaf, saya sebetulnya nggak mau ikut campur urusan rumah tangga mereka. Kedatangan saya kemari hanya mau bilang, kalau keluarga ini sudah tidak bisa lagi mendukung Marisa dan memberikannya kenyamanan, tolong … minta sama Mario untuk mengembalikannya pada kami. Jangan buat anak saya terombang-ambing. Karena saya sebagai ibunya, tidak ikhlas jika anak yang kami besarkan dengan kasih sayang harus tersiksa dalam pernikahan yang menyakitkan!”©