9| Harga Diri

1933 Kata
Wanita setengah abad itu memandang tajam wanita di hadapannya. Ketika mereka bertemu pertama kali, dia membawa bocah laki-laki berumur tiga tahun yang suka berteriak-teriak. Manjanya minta ampun, rewelnya minta ampun. Dalam hati dia merapal doa semoga nanti anak Mario dengan wanita ini tidak seperti bocah itu. Mereka dikandung ibu yang sama, bisa jadi gen menyebalkan muncul pada salah satu sifat cucunya. Dibanding istri pertama Mario, wanita ini jauh dari kata sempurna. Tapi dia mengandung cucunya, janin yang bisa menyelamatkan muka dan juga nama baik keluarga mereka. Baginya, hal ini begitu penting karena dia sudah muak dengan omongan kerabat dan juga tetangga ketika mereka bertemu dan berkumpul. ‘Kenapa Mario belum punya anak juga?’ ‘Ngapain KB, nanti kandungannya kering, lho.’ ‘Kerja melulu kalau belum punya anak, cari duit buat siapa?’ ‘Kapan nih nambah cucu dari Mario?’ ‘Udah ke dokter? Cek atuh, mana tau ada yang salah.’ ‘Anakmu ganteng. Tapi ….’ Itu baru sindiran halus. Belum seberapa dibanding saudara yang terang-terangan memberikan ramuan untuk menambah vitalitas atau kesuburan. Perasaan, dalam keluarganya nggak ada bibit kemandulan. Sebagai wanita, dia sudah melahirkan dua anak perempuan dan satu anak lelaki untuk suaminya. Sedangkan suaminya, jangan ditanya. Sebelum menikah dengan dia, suaminya sudah punya anak dari istri yang lain. Lima orang! Jadi sangat tidak mungkin ada bibit mandul dalam keluarga mereka. Kalau pun memang ada yang mandul, itu pasti istri Mario. Terbukti sekarang, kan? “Jadi gimana, Ma? Cecil harus berbagi Mario sama Marisa? Sekarang saja Mario sudah sering ninggalin Cecil demi istri pertamanya. Padahal jelas-jelas Cecil ini lagi hamil dan butuh perhatian lebih.” Nani, ibu Mario, memandang menantu barunya ini dengan tatapan menyelidik. Rubah betina seperti Cecil ini banyak tipu muslihatnya. Sebagai wanita, dia pasti tahu resiko berhubungan dengan lelaki beristri. Sebenarnya hak Mario mau mempertahankan Marisa atau menceraikannya. Bagi Nani tidak penting siapa istri Mario selama dia bisa memberinya cucu yang sehat. Tapi mempertahankan keberadaan Marisa di keluarga mereka sama saja memelihara aib yang bisa menjatuhkan harga dirinya. “Biar saja Mario mempertahankan Marisa semampu dia. Kamu tinggal lihat saja sejauh mana perempuan itu bisa bertahan. Mama nggak punya dendam sama Marisa.” Pandangan Nani melembut. “Sekarang kamu fokus saja sama janin dalam perutmu. Mama nggak mau anak itu kenapa-kenapa. Karena kalau sampai terjadi sesuatu sama dia, bukan tidak mungkin nasibmu bakalan sama dengan Marisa.” Cecil terdiam. Tidak disangka ibu mertuanya akan mengatakan hal seperti itu. Dipikirnya dia bakalan jadi anak emas karena sudah mengandung bakal anak yang bisa menyelamatkan nama baik Mario. “Jangan minta Mama ikut campur dalam hubungan kalian bertiga. Lagian, kalau Mario bisa membagi dirinya secara adil, apa yang harus dipusingkan?” Senyum Nani mengembang tiba-tiba. Buat dia masalahnya selesai ketika Mario, anak lelaki satu-satunya, bisa menghamili seorang perempuan. “Pikirkan saja rencana selanjutnya. Karena Mama nggak mau Mario cuma punya anak satu.” Cecil semakin terdiam. Satu saja belum dilahirkan, dia sudah dituntut untuk produksi lagi. Apa memang di keluarga ini begitu? Perempuan itu cuma pabrikan yang bertugas memproduksi anak? Cecil menggigit bibir. Niatnya datang ke rumah mertuanya untuk minta pembelaan dan pembenaran, malah sekarang dia diminta ikhlas. Ilmunya belum setinggi itu. =*= “Mama? Kok datang nggak bilang-bilang?” tanya Marisa begitu melihat mamanya muncul di depan laundry. “Sendirian? Papa nggak ikut?” tanyanya lagi sembari membantu mamanya memindahkan barang-barang bawaan dari taksi ke dalam laundry. “Papa mana bisa ninggalin Maya. Anak itu badannya aja yang gede tapi kelakuannya kayak bayi.” “Kalian berdua yang manjain dia sampai segede itu.” Mama tertawa pelan. Dua bidadarinya memang betulan bidadari bagi hidupnya dan juga suaminya. Mereka membesarkan Marisa dan adiknya dengan limpahan materi dan kasih sayang. Sampai mereka beranjak dewasa pun, kalau masih bisa dibantu akan dibantunya. Ratih, mamanya Marisa, memang tidak ingin melepaskan pandangan sejenak pun dari kedua putrinya. “Waktu kamu cerita kalau sekarang tinggal di ruko, Mama sudah yakin ada apa-apa sama kamu. Makanya Mama berunding sama papa kamu buat datang langsung ke sini nggak pake pamit dulu.” “Kalau Risa nggak ada di ruko, terus Mama gimana?” “Kan ada pegawai kamu. Lagian kerjamu apa, sih? Paling juga kayak Maya. Depan leptop terus berjam-jam. Sampai nggak sempat keluar kamar. Makan pun kalau nggak Mama atau Papa yang bawain ke kamar, nggak akan makan dia!” Mama sedikit curhat tentang kondisi adiknya. “Sudah, yuk. Kita naik.” Marisa mengajak Mamanya ke atas setelah sebelumnya menitipkan pesan pada pegawainya. “Tinggi banget, sih, Sa. Apa betismu nggak kayak talas Bogor tiap hari naek turun sampai—lantai berapa kamu tinggal, Sa?” “Lantai tiga, Ma,” kata Marisa memimpin di depan mamanya. “Huft! Harusnya kamu bikin eskalator buat orang tua kayak Mama. Untung saja papamu nggak ikut. Nggak kebayang gimana mulutnya kalau dia tahu harus naek ke lantai tiga.” Marisa yang sedang menyiapkan minum untuk mamanya tergelak. Papa memang sudah punya masalah dengan sendi-sendinya. Rumah mereka saja tidak ditingkat karena Papa malas naik turun ke atas. Biar saja sempit-sempitan di perumahan tipe 45 tanpa lantai dua daripada harus bolak-balik ke atas untuk membuka jendela atau beres-beres. Orang tua Marisa sudah pensiun dan mereka memilih tinggal di kota kecil di Jawa Tengah. Membeli rumah di kompleks menengah ke atas dan menghabiskan hari tuanya dengan membuka toko sembako di depan rumah. Bersaing dengan minimarket franchise yang berdiri tiap 200 meter. “Kamar kamu enak juga. Kayak apartemen saja.” “Mama bisa saja. Ini belum renov, Ma. Risa nggak ada waktu bikin sekat-sekat jadi yaa main di perabot saja.” “Bagus, kok. Kamu memang berbakat menata ruangan.” Marisa menyodorkan minuman dingin pada mamanya yang duduk di tepi kasur. “Di sini nggak ada sofa kerajaan kayak di rumah Mama. Jadi kalau mau baring, di kasur saja, ya, Ma. Mmm, berhubung ranjangnya cuma satu, nggak papa, kan kita tidur sekasur?” Marisa tahu, omongannya bakal memancing Mama dan berkembang ke arah yang lainnya. Mungkin memang sudah waktunya dia mengungkap apa yang sedang terjadi padanya saat ini. “Suami kamu emang nggak pulang? Tugas luar kota lagi?” selidik mamanya. Mario memang sering bertugas ke luar kota kalau ada event besar. Marisa menggeleng dan duduk di samping mamanya. “Dia ada di Bogor, kok,” katanya sambil menunduk. “Di rumah istri kedua,” katanya getir. Marisa nggak mau memandang ke arah mamanya. Untungnya, mamanya ini punya respon yang cepat jadi dia nggak sampai menjatuhkan gelas yang sedang dipegangnya. Diletakkannya gelas itu di meja kecil dekat tempat tidur. “Istri kedua? Maksud kamu Mario kawin lagi? Kok, kamu nggak ada cerita sama Mama?” “Nggak tahu harus cerita dari mana, Ma.” “Sebulan lalu … waktu kamu datang ke rumah Mama, dia udah kawin?” Marisa mengangguk. “Nikah diam-diam. Pas Risa lagi di rumah Mama, dia nikah siri sama perempuan lain. Soalnya perempuan itu hamil, Ma.” “Jadi selama ini dia selingkuh dari kamu?” tanya mamanya nggak percaya. Marisa mengangguk. “Ya Tuhan, anak itu udah Mama anggap anak sendiri dari masih kuliah. Tega banget dia berbuat kayak gini sama kamu.” Nani mengelus dadaanya dan mengatur napas supaya lebih tenang. Firasatnya benar, sudah terjadi sesuatu sama anaknya. Makanya dia gelisah terus selama ini, pikirannya nggak tenang. Tapi setiap kali ditelpon, Marisa selalu bilang kalau baik-baik saja. Nggak ada masalah apa-apa sama Mario dan mereka sedang sama-sama sibuk. “Kok, kamu bisa setenang ini, sih? Emang kamu ikhlas?” “Karena Mama nggak ngeliat Risa sebulan yang lalu. Kemarin-kemarin Risa hancur banget, tapi Risa nggak pengen Mama sama Papa ikut khawatir sama kondisi Risa. Lagian Mario masih tetep baik sama Risa, kok, Ma. Dia tetep pulang ke sini meski nggak tiap hari.” “Ya Tuhan! Terbuat dari apa, sih hati kamu? Masih bisa bilang Mario itu baik? Dia itu udah selingkuhin kamu, Sa!” “Tapi nggak sepenuhnya salah Mario, Ma. Risa juga yang salah karena nggak sempurna jadi istri. Wajar Mario selingkuh.” “Wajar? Berbuat curang kayak gitu wajar?” Mama berdiri dan memandang tegas pada putrinya. “Coba, sekarang bilang sama Mama, bagian mana dari perbuatan Mario yang kamu bilang wajar itu. Apa alasannya?” “Ma, sudahlah. Semua sudah teratasi, kok. Risa saja bisa menerima keadaan.” “Mama yang nggak bisa terima, Sa. Mama ngebesarin kamu dan merawat kamu penuh kasih sayang dari kecil bukan buat disakiti kayak gini! Mama nggak bisa tinggal dia. Mama harus ketemu sama Mario dan keluarganya.” Mama bersiap meninggalkan Marisa, tapi keburu tangannya ditahan sehingga langkahnya pun terhenti. “Ma, please. Jangan sekarang. Mama baru datang. Kita ngobrol dulu baik-baik, kita makan dulu, ya?” Mama memandang putrinya sedih. Sejak dulu Marisa memang anak yang tegar, tapi sejujurnya dia lebih suka melihat putrinya menangis meraung-raung dan merutuki Mario daripada kelihatan menerima seperti ini. Rasanya hatinya lebih tercabik mengetahui putrinya menyimpan banyak penderitaan seorang diri. “Mama sakit hati, Sa. Sakit hati.” Nani tidak bisa menahan air matanya. Dia duduk kembali di tepi kasur dan mulai terisak. “Mario itu anak baik di mata Mama. Dia selalu bisa bikin Mama seneng. Mama percaya banget sama dia, Sa. Masa iya dia setega ini sama Mama. Kurang ngasih apa Mama sama dia? Kalau dia udah nyakitin kamu, sama kayak dia udah nyakitin Mama. Pokoknya Mama nggak terima, Sa. Mama nggak terima!” “Ya terus Mama mau apa? Mereka udah nikah, Ma. Masa disuruh cere.” “Kenapa enggak? Dulu Mario dan keluarganya minta kamu baik-baik sama Mama. Sekarang juga mereka harus mengembalikan kamu baik-baik kalau emang mereka nggak membutuhkan kamu lagi.” “Tapi Marisa belum mau cere, Ma!” “Kalau gitu Mario yang harus cerein perempuan itu. Dia masih bisa jadi bapak anak itu tanpa harus menikah.” “Mereka cuma nikah siri, Ma,” ujar Marisa lemah. “Oh! Baguslah kalau begitu. Jangan sampai kamu kasih izin mereka menikah resmi!” kata mamanya mantap. “Tapi itu artinya kamu bakalan dimadu selamanya, Sa,” sambung mamanya sedih. Dilema memang. “Risa memilih jalan ini, Ma. Risa nggak mau mengalah sama pernikahan kami. Mario punya alasan kenapa selingkuh. Risa bisa menerima itu, Risa udah cerita sama Mama kondisi Risa, kan? Dan ternyata Risa emang beneran sakit. Mario udah tahu kondisinya dan dia sangat menyesal. Kita berdua salah, Ma. Kalau dari awal kita berdua tahu kondisi Risa, mungkin Mario juga nggak akan selingkuh. Ini salah Risa juga karena nggak bisa melayani Mario sebagai istri.” Kemarahan Mama yang berapi-api langsung mendingin mendengar cerita putrinya. Ini bukan kesalahan Marisa. Tidak ada wanita yang minta dilahirkan dengan kondisi tidak sempurna. Ini hanya soal keadaan. Dan juga waktu. Seperti kata Marisa tadi, seandainya kondisinya diketahui sejak awal, mungkin Mario tidak akan selingkuh. Mama juga tahu kalau Mario bukan tipe lelaki gatal yang suka tebar pesona. Pasti ada alasan yang membuat dia berbuat seperti itu. “Tapi selingkuh, apalagi sampai hamil tetap bukan jawaban dari masalah kamu. Tidak ada pembenaran untuk perbuatan itu. Mama tetap nggak bisa menerima kelakuan Mario!” Mama kembali mengeras. Dia tidak mau terlihat lemah dan bersimpati pada menantunya. “Terus Mama mau apa? Semua udah terjadi. Sekarang ada anak Mario di dalam rahim perempuan itu. dan anak itu harus punya bapak, Ma!” “Bikin perjanjian! Mario harus menceraikan perempuan itu kalau anaknya sudah lahir. Lagian, nggak ada perempuan baik-baik yang mau ditiduri sama lelaki beristri! Mama yakin itu. Pokoknya, selama Mama di sini, Mama harus ketemu sama keluarga Mario dan juga keluarga perempuan itu!” “Mama mau apa? Sudahlah, Ma. Kita semua baik-baik saja, kok.” “Nggak ada yang baik-baik saja ketika harga diri kamu dirusak, Marisa. Kamu harus belajar soal itu!”©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN