Empat tahun yang lalu.
"Surprise........."
Jika ada hal yang paling aku inginkan untuk menjadi hadiah pada saat wisudaku mungkin itu adalah kehadiran Saka, dan yah siapa yang menyangka jika dia tidak hanya datang dengan tangan kosong melainkan membawa buket bunga dan boneka Shooky yang langsung diberikan kepadaku. Kini aku benar-benar terkejut dengan kehadirannya.
"Kamu nggak suka aku datang, Ran?" Senyuman terlihat diwajahnya yang biasanya kaku saat aku tak kunjung mendekatinya, ya bagaimana aku akan mendekatinya jika aku merasa dunia kini serasa berhenti berputar, udara serasa menipis di sekelilingku tersedot karena kehadiran sosoknya yang aku rindukan setengah mati. Beberapa waktu ini kami nyaris tidak memiliki waktu untuk bertemu dan berkomunikasi karena Saka pun tengah menempuh pendidikan di Akmil Magelang, satu waktu dulu saat mulai melanjutkan pendidikan kami masing-masing aku pernah memintanya untuk datang saat wisuda, dan inilah, Saka benar-benar mengingat apa yang aku katakan.
Dia benar-benar datang dan hatiku menggelembung penuh kebahagiaan yang bahkan tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.
"Rania......." Kembali aku mendengarnya memanggil namaku, dan saat itulah Mama dan Papa berpamitan sembari berbisik pelan, temui dia. Dan tanpa harus diminta dua kali, aku menghambur ke arahnya yang kini menungguku dengan tangan terentang, memeluknya yang tertawa saat menahanku agar tidak jatuh.
"Kamu bener-benar bikin kejutan tahu....."
.................. .................. ..................
Kejutan yang menyenangkan, yang sayangnya kini hanya menjadi sebuah kenangan saja. Melihat foto wisudaku bersama dengan Saka yang rela bela-belain dari Magelang ke Jakarta hanya untuk menghadiri wisudaku padahal dia pun sibuk dengan tahun terakhirnya di Akmil memutar kenangan indah yang sayangnya tidak aku rasakan lagi keindahannya. Foto itu aku cetak berbagai ukuran, dan salah satunya aku cetak kecil untuk aku gantung di dalam mobil.
Hatiku sangat perih saat melihat bagaimana lebarnya senyum kami berdua saat menatap ke arah kamera, terlihat kami berdua bahagia namun sekarang jangankan tersenyum di foto, bahkan aku nyaris tidak melihat raut wajah suamiku sendiri selain muka datarnya.
Seharusnya pertemanan kami berkembang menjadi cinta yang indah dalam pernikahan ini, bukan malah menghilang dan menjadikan kami orang asing satu sama lainnya. Sungguh merasakan semua hal ini membuatku lelah, kini saat sendirian seperti ini aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Katakan aku menyedihkan, namun di parkiran resto tempat reuni beberapa saat lalu ini aku menangis, benar-benar menangis tersedu-sedu menumpahkan perasaan hancur yang aku sembunyikan mati-matian dari orang lain. Saat sendirian inilah aku, hancur, remuk, berantakan.
Entah berapa lama aku menangis, sungguh miris menangisi seorang yang bahkan tidak pernah memikirkan kita. Aku menangis sepuasnya sampai hatiku lega, tidak, aku tidak akan pernah menumpahkan air mataku di rumah, di hadapan Saka. Baru saat akhirnya tangisku berhenti dengan sendirinya, aku melajukan mobilku kembali ke rumah.
Ck, rumah? Entahlah apa aku bisa memanggil rumah dinas suamiku sebagai rumah karena aku merasa itu bukan tempatku untuk pulang yang sebenarnya.
.
.
.
"Baru pulang?"
Pertanyaan yang aku lontarkan tersebut membuat Saka mendongak, jika biasanya aku akan menyambutnya dengan senyuman dan rentetan kalimat cerewet tentang betapa sibuknya aktivitasku hari ini tentang kesibukanku dikantor, giat dan aktivitasnya dengan Ibu-ibu yang lain, kali ini aku hanya menatap Saka dengan dingin.
Tidak, sebenarnya jika Saka mau memperhatikan, perubahan sikapku ini tidak mendadak, melainkan sudah jauh-jauh hari, sayangnya Saka tidak memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak memedulikanku. Saka hanya sibuk dengan tugasnya, dan juga seseorang yang bahkan aku tidak sudi menyebut namanya dengan benar.
Pernikahan kami dingin, kehangatan pertemanan yang dulu kami jalin tidak ada lagi semenjak mereka dijodohkan empat tahun lalu, aku mengira Saka akan berubah saat mereka menikah, sayangnya pernikahan kami sudah menginjak tahun ketiga namun sikapnya masih begitu dingin. Sungguh mengerikan saat seorang istri harus mengemis untuk nafkah batin dari sang suami, bukan hanya soal urusan ranjang, tapi untuk sebuah perhatian.
Aku benar-benar lelah, itu sebabnya aku lebih memilih untuk mematikan hatiku. Tidak ada senyuman, aku hanya bersedekap membalas tatapan heran suamiku atas perubahan sikapku. Aku berubah, dan Saka yang membunuh Rania yang ceria.
"Kenapa kamu, Ran? Aku ada salah apa lagi sama kamu?"
Banyak.
Aku ingin meneriakkan hal itu kepada suamiku. Ada banyak luka yang kamu torehkan. Diammu, ketidakpedulianmu, kamu yang tidak pernah memandangku sebagai istri, semuanya, kamu adalah bentuk luka yang nyata untukku. Semua kalimat itu ingin aku teriakkan, segala hal yang membuat batinku begitu perih hingga tangis disetiap sujudku tidak pernah melegakan, namun alih-alih mengatakannya, aku justru mengangkat bahunya acuh.
"Nggak, kamu nggak salah! Nggak pernah salah juga." Aku berbalik, sikapnya yang jutek ini tentu saja membuat alis Saka terangkat tinggi, dan saat sampai di depan pintu, aku tidak bisa menahannya lagi. "Kamu tahu Ka, Dani melihatmu bersama Alisa hari ini dan mencecarku habis-habisan di acara reuni. Kamu sukses bikin aku jadi istri paling menyedihkan karena suamiku memilih bersama wanita lain dibandingkan istrinya sendiri."