"Kamu tahu Ka, Dani melihatmu bersama Alisa hari ini dan mencecarku habis-habisan di acara reuni. Kamu sukses bikin aku jadi istri paling menyedihkan karena suamiku memilih bersama wanita lain dibandingkan istrinya sendiri."
Aku beranjak pergi. Tidak lagi menoleh ke arahnya, namun dari langkahnya yang berat aku tahu jika dia mengikutiku, mengabaikan kehadirannya sama seperti dia yang selalu mengabaikanku, aku memilih untuk sibuk di dapur, menyiapkan oatmeal dan s**u almond untuk makan malamku. Selama reuni tadi aku nyaris tidak bisa menelan makanan berat yang membuatku kelaparan.
Sebelumnya, sebelum hatiku mati, dapur ini selalu penuh dengan masakan dan bahan-bahan makanan, aku selalu menyiapakn hidangan yang berbeda untuk suamiku namun mendapati aku lebih sering membuang makanan itu daripada melihatnya dimakan oleh suamiku membuatku perlahan menyerah. Aku lelah dikecewakan dan aku memilih untuk menjaga hatiku dengan tidak menyiapkan apapun.
Sama seperti sekarang, tidak ada penawaran untuk makan malam atau sekedar kopi dan teh hangat, aku menyiapkan makanan dan minuman untuk diriku sendiri.
"Dani melihatku?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Saka membuatku memutar bola mata pelan. Jengah dan jengkel.
"Iya, dia melihatmu bersama pembantu kesayanganmu di RST, dan bertanya sebenarnya siapa yang kamu nikahi, aku atau si anak pembantu kesayanganmu itu." Semua yang aku katakan adalah salinan kalimat dari Dani, tidak ada yang aku lebihkan atau kurangi.
"Berhenti menyebut Alisa dengan kalimat-kalimat buruk, Rania!" Desahnya gusar, dan kali ini aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melayangkan tatapan tajam ke arahnya. "Harus berapa kali aku mengatakannya. Pembantu hanya sebuah pekerjaan bukan hal yang patut kamu hina!"
"Jangan pernah mengajariku tentang siapa-siapa yang harus aku hormati, Ka. Orangtuaku cukup baik dalam mengajariku hal itu. Benar pembantu bukan pekerjaan yang hina, kecuali pembantunya itu menempel ke majikannya seperti plester koreng!"
Aku mengedikkan bahuku pelan, mengejeknya biar dia semakin terbakar, enak saja dia memintaku untuk menghormati manusia yang bahkan tidak menghargai perasaanku. Bisa aku dengar geraman kesal Saka atas tanggapanku.
"Aku cuma nganterin Alisa pulang, Ran. Aku benar-benar keluar sama Kapten hari ini, aku nggak bisa ikut reuni sialan itu! Bukan maksudku menghabiskan waktu dengan Alisa, berhentilah bergaul dengan Dani, dia hanya memperunyam sesuatu yang tidak seharusnya dipermasalahkan."
Oatmealku selesai begitu juga dengan teh hangatku, dan saat aku berbalik aku menghadap ke arahnya yang tengah jengkel. Dulu aku sangat takut jika membuat mood-nya memburuk, tapi kembali lagi, hatiku yang sudah mati membuatku tidak bisa merasakan apapun lagi, yang ada aku justru jengah dengan sikapnya. "Kalau aku tidak boleh berteman dengan teman-teman yang sudah aku kenal sejak SD sampai SMA, kamu juga tidak boleh berteman dengan anak pembantu sialan itu, Saka Aryaatmaja!"
"Kamu marah perkara aku nganterin Alisa?!"
Sudah tahu masih nanya lagi! Kenapa seorang Letnan seperti Saka bisa setolol ini? Sungguh aku sangat bangga dengan diriku sendiri yang memiliki kesabaran sebesar Samudera dalam menghadapinya. "Tentu saja aku marah! Masih nanya lagi. Iya, aku tahu kamu ada kerjaan dengan Kaptenmu, aku paham jika memang Kapten dan tugasmu lebih penting dariku, tapi Alisa? Kamu dan Dani berpapasan, kalau kamu lebih memilihku, kamu masih bisa nemenin aku, tapi nggak kan?! Kamu nggak milih sama aku meskipun kamu bisa! Kamu lebih milih nganterin Alisa yang menurutmu serapuh kaca, manusia paling harus dihormati dan dijaga sedunia ini lebih dari apapun! Dan kamu nanya ke aku apa aku marah ke kamu?"
Aku melayangkan pandangan sengit ke arahnya, sungguh aku membencinya, aku benci aku harus memakluminya yang terus menerus menempel ke Alisa. Rasanya ingin sekali aku lemparkan mangkok oatmealku untuk mengguyur kepalanya agar otaknya sedikit waras.
"Kamu tahu sendiri kan kalau Alisa....."
Seharusnya Saka diam saja, akan lebih baik jika dia menutup mulutnya dan berhenti menyebut nama wanita sialan itu, tidak, bahkan disaat aku hendak makan saja dia masih terus menyebut nama wanita sialan itu. Dan kali ini kesabaranku sudah habis, geram mendengar namanya disebut lagi dihadapanku membuatku membanting mangkok oatmealku, tidak peduli kakiku melepuh karena panas, rasa sakit didalam hatiku jauh lebih menyakitkan.
"Bisa nggak sih kamu minta maaf saja! Nggak usah terus-terusan nyebut nama wanita sialan itu di depan wajahku! Aku muak, aku benci, Ka! Kenapa hal sesederhana seperti ini saja kamu tidak pahami."
Persetan dengan perut lapar, aku sudah kenyang melihat perhatian besar suamiku kepada wanita lain yang dibelanya mati-matian!