Layu Tanpa Jiwa

679 Kata
"Anjirlah, itu anak Babu masih ngintilin laki lo? Demi apa?" "Busyeeet, bilangnya sibuk sama tugas ternyata pergi sama si anak pembokat!" "Lo nggak ada ngerasa dikibulin, Jun! Aelaaah, kalau gue udah mencak-mencak pasti." Serentak teman-temanku semuanya mencibir hal yang sama saat menanggapi kabar yang dibawa oleh Dani. Rasanya kesal, malu dan marah kini aku rasakan campur aduk menjadi satu. Kenapa di dunia yang begitu lebar ini Dani harus melihat Saka? Dan Saka, kenapa priaku itu terus menerus menempel ke Alisa? Apa sih bagusnya anak pembantu itu, awalnya aku tidak memiliki masalah apapun terhadap anak pembantu keluarga Aryaatmaja tersebut, tapi semakin lama, semakin aku melihat kedekatan diantara dirinya dan juga Saka dalam tempo yang tidak wajar membuatku turut menbencinya seperti temanku yang lain. Percayalah, dulu aku seringkali menegur temanku jika ada yang berani menyebut Alisa sebagai anak Babu atau anak pembantu karena aku bukan seorang yang suka pembullyan, tapi sekarang dengan semua hal yang Alisa lakukan kepadaku, yang dengan beraninya dia memonopoli suamiku disaat seharusnya Alisa sadar diri dan sadar posisi jika Saka telah menikah, aku sepakat jika Alisa hanyalah anak pembantu yang menjelma menjadi benalu tidak tahu diri dalam kehidupanku. Teman-temanku bukan seorang pembully, tapi mendapati ada manusia yang sangat keterlaluan seperti Alisa tentu saja mulut mereka tidak bisa berbicara dengan baik. Cengkeramanku pada ujung dressku menguat, mati-matian aku menekan ego dan harga diriku sebagai seorang istri yang terluka, dadaku bergemuruh keras penuh dengan rasa panas yang membakar, aku ingin berteriak keras tapi pada akhirnya kesadaran akan statusku sebagai putri Tanaka dan Nyonya muda dalam keluarga Aryaatmaja membuatku mau tak mau menelan emosiku kembali. Alih-alih sebuah teriakan keras dan makian, aku justru tersenyum kepada teman-temanku, topeng penuh sandiwara yang selalu aku gunakan untuk mengelabui dunia, topeng yang membuat semua orang percaya jika kehidupan rumah tanggaku bahagia dan Saka yang mencintaiku sepenuh hati. Jika ada hal yang bisa aku banggakan mungkin kemampuan aktingku. "Kebetulan mungkin mereka papasan, Dan. Tahu sendiri kan kalau Alisa memang jadi perawat di RST. Kalian nggak perlu suudzon, tenang, aku percaya sama suamiku. Lagi pula seperti yang kalian katakan, Alisa itu cuma anak pembantu, dia bukan sainganku." Kembali aku tersenyum ke arah mereka, tampak mereka hendak mendebat saat memandangku dengan aneh, tapi saat aku mulai menarik seafood platter yang ada di hadapanku, mereka memutuskan untuk tidak memperpanjang obrolan tentang suamiku. Sungguh, betapa pun aku benci dengan suamiku aku tidak akan berbicara semua hal itu kepada temanku, meski aku percaya temanku yang ada disini bukanlah seorang yang buruk. Pembicaraan tentang suamiku yang kegap dengan Alisa memang tidak dilanjutkan, tapi otakku terus berputar tentang mereka berdua. Marah? Tentu saja aku marah. Selama aku bekerja di Pabrik Papa, nyaris tidak pernah Saka menjemputku ditempat kerja, bahkan berapa kali aku naik ke mobilnya bisa dihitung dengan jari, itu hanya saat ke kondangan atau ada acara keluarga, selebihnya kami benar-benar seperti dua orang yang hidup dibawah atap yang sama. Jika sebelumnya aku berusaha untuk mendekatkan diri, berusaha menceritakan keseharianku kepada Saka meski aku tahu dia tidak pernah mendengarkan, dan aku masih mengurusnya selayaknya istri, tapi lama-lama aku muak juga. Cintaku yang menggebu diawal perlahan memudar, aku mengira cintanya akan tumbuh perlahan dalam ikatan pernikahan tapi rupanya yang ada aku justru kehilangan Saka. Dia ada di dekatku namun tidak bisa aku jangkau. Perih, hancur, sedih, aku bahkan sudah tidak tahu lagi bentuk hatiku. "Bibir lo bisa senyum, tapi gue tahu Jun kalau hati lo terluka." Dan sialnya, diantara semua orang yang ada disini, Danilah yang berani mengatakan hal sialan ini. Aku menatapnya tajam, kami berdua bukan anak-anak lagi hingga aku tidak terlalu menanggapi celetukannya. "Iya, gue sakit dibikin Saka, tapi bukan berarti gue bakal lari nyari penyembuhan ke laki-laki lain." Dani terkekeh di sela-sela asap rokoknya, tampak jelas jika dia geli dengan ucapanku yang tanpa basa-basi, untuk beberapa saat dia sibuk dengan ponselnya sebelum dia kembali bersuara. "Kalau lo udah capek, lo bisa ikut gue, Jun. Tenang saja, gue bukan tipe orang yang suka bekasan temen gue sendiri, apalagi modelan si Saka." Anjirrrr, asem bener omongan si Kutu satu ini. "Gue cuma prihatin, lo yang dulunya bersinar sekarang layu kayak ada jiwa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN