POV Rivan + Ilana
"Bagaimana? Tidak berani?" Tatapku mengejek. Bisa-bisanya dia mau mengibuliku. Dikiranya aku bodoh, mungkin sehingga bisa dengan mudah ia bohongi. Ibu dan aku berbeda. Ibu gampang percaya sementara aku ... beda.
"Siapa juga yang gak berani. Harusnya kamu bilang sama temenku Mas, WA dia bukannya bilang padaku." Dia berpaling saat tidak sengaja bertemu tatap denganku. Aku yakin dia takut ketahuan makanya mengalihkan pandang.
"Aku bilang padamu karena aku yakin kamu adalah Rini. Jadi, aku bilang padamu."
"Sudah kubilang aku bukan Rini!" katanya dengan wajah jengkel. Dia menyentak napas keras yang aku yakin dia lakukan untuk menutupi jati dirinya agar tidak terbongkar.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Ya ya, baiklah aku akan percaya padamu jika, saat ini kamu bilang pada temanmu agar dia foto dengan Lana sekarang juga lalu mengirimkannya padaku," kataku penuh kemenangan.
Melihat mata Rini melebar kaget membuatku semakin yakin bahwa dia benar Rini. Aku mengenalnya sebagai sahabat dekat Ila bahkan sebelum aku dan Ila menikah, sudah kenal selama itu jadi mana mungkin aku tidak paham dengannya? Dia juga sering main ke rumah kami, jadi aku sangat paham wajah Rini.
Dengan raut wajah jengkel dia meraih HPnya lalu menekan benda di tangannya itu dengan kuat lalu menempelkan ke telingannya.
"Sayangnya nomer temanku tidak aktif," katanya yang membuatku tertawa kecil.
"Apa kamu kira aku percaya? Sini berikan HP-mu!" Kuulurkan tanganke arahnya. Dia setengah mendelik.
"Siapa yang tahu bahwa kamu bukan orang jahat, Mas? Bisa-bisa kamu membawa lari HPku. Ini lihatlah!" Dia menekan HP-nya lalu menghadapkan layarnya yang tengah memanggil 'si bawel' itu ke arahku.
"Gak berdering, kan? Itu artinya nomer temenku gak aktif!" katanya jutek.
Aku tidak serta-merta percaya ucapannya maka merogoh saku celanaku, menghela napas karena tak menemukan benda yang kucari. Pasti tertinggal di rumah. Aku bersidekap lalu dengan tatapan penuh ejekan berkata pada perempuan entah benar namanya Lili atau Rini. "Kalau begitu setelah aktif, kamu bilang padanya agar foto dengan Lana lalu kirim ke WA-ku."
Sayang sekali aku tidak membawa HP, mungkin jika aku membawa HP, aku akan menelepon Rini, dengan begitu akan tahu dia Rini atau bukan. Jika dia Rini, pasti HPnya berdering saat kutelepon.
"Iya! Nanti aku bilang pada temenku!"
Aku pun membalikkan badan, memilih pergi. Karena tidak membawa HP, aku memutuskan pulang ke rumah dulu untuk mengambil benda itu. Aku langsung menuju kamar begitu sampai, tampak Rifani sedang membereskan tempat tidur. Tanpa membuang waktu aku mengambil HP di meja dan buru-buru melangkah menuju pintu.
"Kamu anggap aku apa, Mas? Kamu masuk gak nyapa sama sekali, seolah gak ada aku di sini," ucap Rifani. Aku yang saat ini tiba di ambang pintu langsung membalikkan badan dan menatapnya.
"Aku buru-buru, Fan."
"Setidaknya kamu nyapa aku, Mas!"
"Hal seperti ini saja kamu ributkan, Fan! Sudah Mas bilang bahwa mas buru-buru!" Aku menatapnya jengkel. Akhir-akhir ini dia begitu menyebalkan.
"Ada yang mau aku omongin, Mas."
"Kalau begitu cepat katakan! Mas buru-buru!" kataku tak sabar.
"Aku ingin kita cari kontrakan, Mas. Aku gak betah tinggal di sini sama ibu yang selalu saja sinis padaku," katanya to the poin.
"Apa?!" Aku menatapnya kaget. Sebelah mataku terpicing, benar-benar heran dengan jalan pikirannya. Bagaimana mungkin dia mengajak pindah kontrakan sementara ibuku sudah tua butuh aku di sisinya. Apa dia tidak berpikir ibu sudah tua? Bagaimana jika ibu sakit tidak ada yang mengurus?
"Ya Mas kita cari kontrakan?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Fani apa kamu sudah gila?! Bagaimana bisa kamu mengajak mas meninggalkan ibu, Fan?! Bagaimana kalau ibu kenapa-napa di rumah sendirian?! Mas tidak habis pikir padamu, Fan! Ternyata hatimu sangat jahat!"
Dengan kesal aku keluar dari kamar lalu, Brak! Pintu kamar kubanting dari luar. Terdengar isakan kecil. Entah kenapa sekarang dia jadi sangat menjengkelkan, sebentar-sebentar mengeluh tentang sikap ibu. Sementara saat aku masih pasangan menikah dengan Ila dulu, Ila tidak pernah mengeluh tentang ibu justru sebaliknya, Ila sangat menyayangi ibu, selalu saja di hadapanku dia memuji tentang sikap ibu yang baik padanya, memuji masakan ibu, berkata tentang ibu yang baik-baik bukan sebaliknya. Andaikan saja waktu bisa diulang, tentu aku tidak akan menikahi Rifani. Dalam hati aku berjanji seandainya Ila mau rujuk denganku, aku akan menceraikan Rifani. Ya walau aku mencintai Rifani, tapi ternyata cintaku pada Ila lebih besar. Dan lebih dari itu, ibu sangat menyayangi Ila begitu pun sebaliknya. Beda dengan ibu dan Rifani yang tak bisa akur sama sekali. Rifani benar-benar payah, mengambil hati ibu saja dia tidak becus. Memang harus ekstra sabar menghadapi istri lembek sepertinya.
POV Ilana
"Apa, Sayang?" Tatapan Kak Adam lekat ke wajahku tampak begitu penasaran. Aku memandangnya, tak yakin ia akan setuju dengan rencana Rini.
"Rini barusan bilang, Bang Rivan curiga bahwa dia adalah Rini. Rini mengatakan pada Bang Rivan bahwa ia adalah adik Rini bernama Lili tapi Bang Rivan gak percaya."
"Lalu?" Kak Adam mendekat ke arahku, mengangkat ujung daguku lalu mendongakkannya, tatapannya berlama-lama ke wajahku membuatku merona malu.
Aku tersenyum tak nyaman karena terus diperhatikan.
"Bang Rivan bilang kalau dia bukan Rini, maka bang Rivan ingin bukti agar dia percaya, maka aku harus foto dengan Rini juga Umi di Bandung. Dengan begitu Bang Rivan akan percaya. Nah, Rini mengusulkan agar kita ke Bandung juga dia. Dia bilang akan carikan karyawan toko, nanti dia akan WA bang Rivan sebagai Rini kalau adiknya tidak menunggu toko lagi karena takut pada Bang Rivan. Aneh banget kan ide temanku itu? Masa kita harus ke Bandung beneran? Mau ngapain coba ke sana? Dia bilang sama ibu dan Bang Rivan bahwa Rini ke Bandung sepuluh hari," jelasku seperti yang dikatakan Rini barusan. Kak Adam tersenyum lebar memandangku.
"Wah, temanmu itu ternyata cerdik sekali, Sayang. Pengertian pada pengantin baru." Tangan Kak Adam mengusap lembut bibirku dan sebelah matanya mengerling jail.
"Seharusnya adik senang kita bisa bersama selama sepuluh hari. Adik pasti sudah selesai datang bulan." Ia mengulum senyum dengan tatapan penuh arti. Aku mengangguk dengan d**a berdebar.
"Iya, tapi, buat apa kita ke Bandung sepuluh hari?"
"Tentu saja untuk bersenang-senang, Sayang. Sekalian kita bulan madu."
"Dengan Rini dan Umi juga?"
"Iya, aja Mama juga sekalian, biar kita tidak ada yang ganggu." Kak Adam mengerling membuatku jadi malu.
"Kita tidak harus sepuluh hari di Bandung, kita bisa ke Bali juga, atau ke mana saja. Jika mantan ibu mertua adik minta bukti foto, tinggal kirimkan saja. Bilang saja Rini sedang ngidam tiba-tiba ingin main ke mana-mana."
Benar juga yang dikatakan suamiku. Aku pun mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu mengecup keningku, aku menunduk malu saat tatapan kami bertemu.
Satu tangan Kak Adam mendongakkan daguku lalu tangan lainnya menekan bibirnya sendiri.
"Apa?" tanyaku walau paham maksudnya.
"Ingin dicium istri," jawabnya sambil mengedipkan mata menggoda.
"Iiih, apaan, siiih."
"Cium, Sayang." Dia kembali menekan-nekan bibirnya lalu mengerucutkannya, bertingkah sok imut. Aku benar-benar tak percaya mendapati sikap asli bosku yang ternyata seperti ini.
"Ayo Sayang tunggu apa lagi? Kakak ingin dicium istri. Sejak kita sah jadi suami istri, adik belum pernah mencium kakak. Ayo." Dia menatapku tak sabar. Kembali mengerucutkan bibirnya.
Dengan wajah merona malu juga jantung berdetak kencang tak keruan aku mendekatkan bibirku ke bibirnya. Kak Adam terus memandangiku membuatku jadi semakin malu saja maka aku pun memejamkan mata.