10

1348 Kata
POV Rivan Setelah berkata begitu, ibu bergegas pergi. Aku memandangi Rini. Dia terlihat salah tingkah terus kuperhatikan. Gelagatnya mirip sekali dengan Rini. Itu membuatku semakin yakin bahwa dia benar-benar sahabat baiknya Ila bukan Lili seperti yang dikatakannya. Pasti ada yang disembunyikan darinya. Aku sangat yakin. "Ada apa Mas lihatin aku sebegitunya? Naksir, ya? Sama seperti kakakku, aku juga sudah punya suami, sudah punya anak, jadi maaf gak boleh naksir aku!" ucap Rini dengan pedenya sampai mataku melebar tak percaya mendengar ucapannya. "Bilang apa kamu barusan Rin? Aku naksir kamu?! Mimpi kamu, Rin!" Aku mengembuskan napas keras, sangat jengkel padanya karena dia terus saja mengelak bukan Rini. Dia memang cantik, tubuhnya seksi dengan wajah keibuan, tapi aku sama sekali tak tertarik padanya. Hanya Ila yang kucintai dari dulu hingga sekarang. Bahkan sudah menikah dengan Rifani pun cintaku pada Ila tidak luntur. Cintaku pada Ila malah semakin kuat begitu aku dan Ila bercerai. Ah bodohnya aku dulu tidak mau menceraikan Fani. Jika aku mau menceraikan Fani, tentu saja Ika masih jadi istriku. "Kalau gitu ngapain lihatin aku terus? Gak naksir kok lihatin terus." Ucapan Rini menyentakku dari lamunan. Aku tersenyum mengejek. "Itu karena aku tidak yakin kamu Lili! Sudahlah Rin bilang saja apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku? Ila ada di mana? Apa dia saat ini sedang bersama pebinor itu?!" tanyaku bertubi-tubi dengan d**a naik turun menahan amarah. "Maksudnya apa sih? Aku gak kenal siapa itu Ila! Aneh, deh." Dia menggelengkan kepala dengan tatapan jengkel. Aku mengernyit saat melihat Ibu berjalan ke emperan toko membawa mangkuk putih gambar ayam jago dengan sendok biasa juga sendok garpu di atasnya. "Kukira ibu mau membuktikan perempuan ini Rini atau bukan," kataku yang ibu jawab dengan anggukan. Aku mengernyit, heran karena ibu membawa bakso bukannya bukti. Ibu mengangguk. "Ya ini ibu mau buktikan, Van," kata Ibu sambil mengulurkan mangkuk yang dibawanya pada Lili. "Coba kamu makan," kata ibu. Aku mengernyit, benar-benar heran pada Ibu. "Ibu traktir aku?" tanya Rini. "Sudah makan saja." "Tapi ini sudah dibayar belum? Aku tidak mau kalau disuruh bayar kan ibu yang ingin aku makan." "Sudah! Ayo cepat makan!'?" kata Ibu tak sabar. Rini pun meraihnya lalu meletakkan mangkuk bakso ke meja, ia duduk di kursi lalu meraih sendok di mangkuk. "Terima kasih ya Bu traktirannya?" ucap Rini. "Iya, cepat makan!" kata Ibu. "Kenapa ibu malah menyuruhnya makan? Apa dengan menyuruhnya makan, Rini akan mengaku bahwa dia sebenarnya adalah Rini bukan Lili?" tanyaku yang sejak tadi bingung dengan sikap ibu. Entah apa rencana ibu sebenarnya aku tidak tahu. Ibu tidak menjawab, ia terus mengamati Rini yang makan dengan raut wajah menghayati seolah bakso yang dimakannya benar-benar enak. "Terima kasih, Bu, baksonya," ucapnya begitu selesai. Ibu mengangguk dengan bibir mengulas senyum. "Bararti dia benar-benar Lili. Ibu lega karena ternyata Ila tidak membohongi ibu, Van. Ila itu sayang pada Ibu, Ila tidak mungkin membohongi ibu." Senyum merekah lagi-lagi terbit di bibir ibu. Aku menatap ibu bingung. Bagaimana mungkin ibu menyimpulkan begitu hanya dengan semangkuk bakso yang dihabiskan oleh Rini? Melihatku kebingungan, Ibu pun menjelaskan. "Dia bukan Rini tapi Lili, Van. Jika dia Rini, dia pasti akan muntah-muntah karena mual. Kemarin saja waktu dia mencium bau bakso yang sedang dimakan Umi, Rini mual-mual, jadi dia bukan Rini. Kalau Rini, dia pasti mual-mual karena Rini sedang hamil muda. Selalu mual jika mencium makanan amis." Benar juga yang dikatakan ibu, Rini sedang hamil muda. Aku mengamati Lili yang sangat mirip dengan Rini. Tapi bagaimana bisa kakak adik terlihat begitu mirip seolah satu orang yang sama? Sementara kembar pun pasti ada bedanya. "Mungkin Rini sudah tidak mual, Bu," kataku yang masih ragu. "Tidak mungkin. Baru juga kemarin pagi Rini mual-mual, Van." "Tapi bisa jadi dia sudah tidak mual mencium bau bakso. Tapi tidak tahu juga kalau mencium bau ikan, Bu. Coba ibu suruh dia makan ikan berani tidak?" Ibu mengangguk-angguk. "Oh iya juga ya, baiklah ibu beli ikan di depan dulu." Lalu ibu pun keluar. Perempuan di hadapanku tersenyum kecil. "Sudah kubilang aku bukan Rini tidak percaya, Mas." "Jika wajahmu bukan wajah Rini, aku pasti percaya." "Ya terserah mas ajalah. Percuma juga aku terus menjelaskan." "Aku yakin kamu adalah Rini!" "Terserah Mas saja," sahutnya sambil menggelengkan kepala. Dia berdiri lalu merapikan baju-baju di manekin. "Dosamu besar jika sampai kamu mendukung hubungan gelap Ila dan bosnya yang sok kegantengan itu!" Dia menoleh. "Hubungan gelap gimana, Mas, maksudnya?" Aku mengibas tangan ke udara sambil berjalan mendekatinya. "Jika kamu benar Rini, kamu pasti tahu jika Ila ada main dengan pebinor itu. Ila selingkuh dengan pebinor itu." Dia menatapku heran. "Siapa yang pebinor?" "Bosmu!" kataku jengkel. Dia mengedikkan bahu tak acuh, terus berlagak tidak tahu apa-apa. "Itu bukan urusanku, Mas." Ibu masuk dan langsung menyerahkan nasi bungkus yang dibawanya pada Rini. "Ini coba kamu makan!" kata ibu. Rini pun meraihnya. Dia memandang ibu. "Ibu mentraktirku lagi? Makasih, ya?" Lalu dia duduk di kursi yang tadi di dudukinya lalu mulai makan. Nasi bungkus itu berisi nasi, mir bihun, sambal lele goreng, udang, juga ikan kembung. "Sungguh enak sekali. Banyak lagi lauknya. Sebenarnya tadi pagi aku belum makan, Bu. Jadi aku berterima kasih ibu mentraktirku makan. He he." Rini mendongak memandang ibu lalu kembali menyuap. Ibu dan aku terus memperhatikannya sampai nasinya habis. "Berarti dia memang bukan Rini, Van. Rini jangankan makan ikan, mencium bau nasi kemarin mual-mual. Itu artinya Ila memang benar-benar pergi ke Bandung dengan Rini yang sedang ngidam jalan-jalan ke sana." Ibu tersenyum kecil. "Namanya orang hamil, apa saja diingini," lanjut ibu. "Termasuk ingin jalan-jalan ke Bandung." Aku memandang Rini, masih tak yakin bahwa dia adalah Lili bukan Rini. Kenapa sangat mirip? Tapi Rini sedang hamil, pasti akan mual jika mencium bau ikan sementara perempuan itu makan dengan lahap. "Yasudah Bu, kalau begitu ibu kuantar ke rumah sekarang." "Ibu mau belanja dulu, Van, nanti gampang pulangnya naik becak." "Ya sudag kalau begitu aku ke konter dulu. Dan kamu ...." Aku menuding Rini. "Jangan harap aku percaya ucapanmu sepenuhnya." "Terserah mas saja," sahutnya santai. Dengan jengkel aku keluar dari toko, menuju parkiran lalu mengendarai motor menuju konter. Aku yakin sekali dia adalah Rini. Siapa yang tahu jika dia sudah tidak mual-mual lagi? Aku tersenyum saat ide brilian tiba-tiba merasuk ke benakku. Aku yakin sekali Rini akan mati kutu dan dia pasti akan jujur. Alih-alih ke konter, akhirnya aku kembali ke pasar Kam. "Mau apa lagi kamu ke sini, Mas?" tanyanya heran. Tanpa basa-basi aku pun menjawab perkataannya yang membuat wajahnya seketika berubah syok. Kamu kira aku bodoh apa Rin? Oh tidak sama sekali. Lihatlah wajah Rini sekarang berubah pucat. POV Adam "Kenapa Rini gak juga menghubungiku ya, Kak?" tanya Ila cemas. "Mungkin sebentar lagi, Sayang. Sabarlah," sahutku sambil menoleh sekilas, kulihat wajah Lana tampak risau. Dia sebentar-sebentar menghela napas. "Jangan cemas, Dik." "Gimana aku gak cemas? Aku yakin pasti ibu sudah tahu bahwa aku sebenarnya gak ke Bandung." Aku akhirnya kembali menepikan mobil walau baru saja jalan karena Lana terlihat cemas. Aku mendekat ke arah istriku dan mengusap wajahnya. "Tenang, Sayang." "Aku takut ibu kepikiran lalu drop, Kak. Aku takut ibu sampai menyusul bapak. Gara-gara aku, bapak meninggal, aku gak ingin gara-gara ulahku ibu sampai ...." Matanya berkaca-kaca. Jari telunjukku mendarat di bibir Lana. "Itu tidak akan terjadi, Sayang. Mantan ibu mertua adik pasti baik-baik saja. Dan juga, perlu diingat ini baik-baik, bukan adik yang menyebabkan bapak meninggal. Bapak mendengar ucapan adik, bukan adik sengaja bilang pada Bapak agar bapak drop. Jadi, bukan adik yang menyebabkan bapak meninggal." Tanganku mengusap wajahnya perlahan. Lana selalu saja dibayangi perasaan bersalah atas meninggalnya bapak mertuanya padahal itu bukan salahnya. Takdir hidup seseorang sudah ditetapkan jadi aku tidak ingin Lana terus-menerus merasa bersalah. "Sudah, tenang saja. Coba senyum, Sayang?" ucapku sambil mendongakkan dagunya. Lana pun tersenyum kecil walau terlihat terpaksa. Aku mengusap kepalanya, mencium keningnya dan kembali ke posisi semula. Kedua tanganku terjulur ke arah stir siap mengemudi saat tiba-tiba HP Lana berdering, Lana segera mengangkatnya. "Iya, Rin, bagaimana? Apa ibu sudah tahu bahwa aku gak ke Bandung?" tanya Lana dengan wajah tegang. Sesaat kemudian, mata Lana melebar kaget. "Apa, Rin?!" ucap Lana setengah berteriak sambil memandangku. "Tapi aku gak tau suamiku bakal setuju apa gak, Riin." Lana lagi-lagi menatapku. "Apa, Sayang?" tanyaku penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN