9

1134 Kata
Aku menggaruk rambut. Dari ekspresi Lana sepertinya dia tampak keberatan jadi lebih baik tak memberitahu keinginan Mama padanya sekarang. Pelan-pelan saja Lana pasti akan mengerti. "Bukan apa-apa, Sayang. Ayo, masuklah." Dengan tatatapan penuh cinta aku mengisyaratkan agar dia segera masuk mobil namun dia tetap berdiri diam di tempatnya, memandangiku dengan wajah penasaran. Dengan gemas, aku segera mengangkat tubuhnya. Lana membeliak kaget. "Ka-kaaak." Dia menatapku protes. Aku mendudukkannya ke jok kemudian memajukan tubuh mendekat ke arahnya. "Ada apa Sayang?" tanyaku dengan bibir mengulum senyum. "Malu dilihatin nama," katanya. Aku pun menoleh, benar saja ada Mama di ambang pintu rumah, perempuan ayu itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Aku menyentil hidung Lana. "Tidak perlu malu, Sayang. Mama sudah tahu kalau adik adalah istri kakak." "Iiiih." Dia mencubit lenganku. "Ya jelas taulah kan mama nyaksiin ijab kabul kita. Tapi kan aku malu, Kak, dilihat Mama." Cup. Aku mencium cepat pipi Lana setelah itu menutup pintu mobil di samping tubuhnya. "Selamat bersenang-senang Sa-yaaang!" Seru mama setelah aku duduk di samping Lana. Aku membunyikan klakson sambil melambaikan tangan pada Mam, tanpa membuang waktu segera melajukan mobil ke jalanan yang ramai. Lana sesekali menghela napas, ia duduk dengan tak tenang. "Kenapa Sayang?" "Kak, aku beneran gak nyaman banget pakai ini." Lana mengusap kepalanya, lalu tangannya dengan cepat melepas jilbab di kepalanya. Aku merasa malu sendiri saat melihat merah-merah di lehernya. "Kenapa dilepas, Dik? Pakai lagi. Itu jadi terlihat." Aku menunjuk lehernya yang jenjang. "Aku ngerasa aneh pakai jilbab, Kak. Dan gak nyaman banget rasanya. Risih." "Jika tidak dipakai, maka semua orang akan melihat tanda itu." Aku kembali menunjuk lehernya. "Pasti akan sangat malu." Aku nyengir teringat akulah yang membuat tanda itu. "Nanti aku pakai jilbabnya kalau udah mau turun, Kak." Aku mengangguk. "Baiklah," sahutku, merasa lega dia mau memakainya nanti. Aku menatap lurus ke jalanan yang padat kendaraan. "Kalau bukan karena ini, aku malas pakai jilbab." Aku langsung menoleh saat mendengar ucapan Lana barusan. "Memangnya kenapa jika pakai jilbab?" "Aku ngerasa aneh, Kak. Dan malu." "Oh, begitu." Berarti harus pelan-pelan mengajarinya berhijab. "Tapi pakai jilbab kan wajib bagi perempuan." Aku meliriknya. Lana sama sekali tak menjawab, ia menatap ke luar jendela. Terlihat jelas di wajahnya membahas tentang jilbab tak membuat ia nyaman, jadi aku memilih mengalihkan topik daripada membuatnya bete dengan membahas hal yang tak disukainya. "Adik ingin ke mana?" "Terserah kakak." "Jangan bilang terserah, sebut saja nama yang pasti. Ke puncak, ke Taman Matahari, Taman Mini, atau ....?" "Kakak inginnya ke mana? Aku nurut aja," sahutnya. "Ditanya balik bertanya." Aku menggelengkan kepala. Lana mengulum senyum. HP di tas tangannya tiba-tiba berbunyi, Lana pun mengangkatnya dengan senyum terkembang. "Halo, Rin, bagaimana kabarmu?" Sapanya. "Loadspeaker Sayang," ucapku setengah berbisik. Lana mengangguk. "Cieee pengantin baru. Sedang apa, niiih?" Terdengar suara Rini. "Di mobil, nih," jawab Lana sambil melirikku. Ia menatap layar HP-nya dan tersenyum. "Ada apa, Rin? Tumben telpon." "Pengen nelpon masa gak boleh, La. Ganti vidio, dooong. Aku pengen liat wajah pengantin baru." "Oke." Lalu Lana menekan HPnya. "Rin? Rin? Ri-niii, kamu kenapa sih kok bengong gitu?" Lana sedikit berteriak, membuatku mengerutkan kening heran. "Kenapa Sayang?" tanyaku penasaran. "Gak tau nih Kak si Rini, dari tadi dipanggilin diam aja. Ri-niii," ucap Lana dengan gemas. "Ila itu kamu? Aku pangkling banget tau, Rin." "Pangkling kenapa sih? Lebay." "Ya pangkling. Sumpah aku kaget banget liat kamu pakai jilbab La, sumpah cantik banget. Kamu pantas pakai jilbab dari pada enggak." "Ih, Rin, apaan, siiih. Ini tu terdesak, taa-u. Ada alasannya kenapa aku pakai jilbab." "Apa alasannya?" Pertanyaan Rini membuatku seketika menoleh memandang istriku, takut jika ia membocorkan perbuatanku semalam. "Rahasia!" jawab Lana. Ia tersenyum padaku. "Apa pun rahasianya, pokoknya kamu pantas banget pakai jilbab, La. Sumpah seriusan aku gak bohong." "Gak usah godain aku deh, ini tu hanya sementara." "La! Ada ibu mertuamu! Sudah dulu ya nanti sambung lagi!" Lana memandangi layar HPnya. "Ibu ke toko?" tanyaku. "Rini bilang begitu, Kak. Duuh, pasti ketauan deh kalau aku gak ke Bandung," sahutnya cemas. Aku menepikan mobil lalu mendekat padanya, menggenggam kedua tangannya. "Tenang, Sayang, jika sampai ketahuan adik tidak ke Bandung, nanti cari alasan yang tepat." "Ibu orangnya mudah kepikiran, Kak, aku takut ibu kenapa-napa." "Iya, Sayang. Semoga ibu tidak kenapa-napa, ya? Kita tunggu saja informasi dari Rini. Ya?" Aku mencoba menenangkannya yang terlihat begitu cemas. Semalam Lana terus mengatakan bahwa ia takut ibu kenapa-napa jika sampai tahu pernikahan kami. Aku sangat tahu walau hanya mantan ibu mertuanya, tapi Lana sangat menyayanginya. Juga mantan mertuanya itu satu-satunya nenek Umi. *** POV Rivan "Mana Ila?!" tanyaku tanpa basa-basi begitu masuk toko. Ternyata benar yang kutakutkan, Lana dan Rini memang tidak ke Bandung. Jangan-jangan Lana saat ini bersama bosnya yang sok kegantengan itu. Sok segala-galanya. "Teganya kamu bohongi ibu, Rin! Padahal ibu percaya padamu!" Ibu menatap Rini dengan wajah jengkel. Rini menatap ibu, kemudian menatapku dengan wajah terlihat bingung. "Ila, Ila siapa ya? Dan kalian ini siapa?" tanya Rini, ia terus menatapku dan ibu bergantian. "Sudahlah Rin tidak usah pura-pura amnesia kamu! Mana Ila?!" "Ila siapa sih? Aku gak kenal Ila. Dan kalian ini siapa?" Rini tampak kebingungan. Aku mengerutkan kening heran. Begitu pun ibu menatap Rini tanpa kedip. "Kamu Rini kan?" tanya ibu terlihat sangsi. Rini menatap ibu masih dengan ekspresi kebingungan. Tangannya menunjuk dirinya sendiri. "Aku Lili bukan Rini. Apa, ibu teman kakak saya? Kakak saya sedang pergi ke Bandung jadi saya disuruh menggantikan jaga toko," jelas Rini. Aku menatapnya tak percaya. Dia Rini, aku yakin itu. "Jadi, kamu bukan Rini?" tanya ibu yang langsung dijawab gelengan kecil. "Bukan, Bu, aku Lili adik Rini. Kak Rini masih di Bandung sekarang. Katanya akan pulang sepuluh harian lagi." "A-paa?!" Mata ibu melebar tak percaya yang dijawab anggukan oleh perempuan di depan kami. "Katanya Kak Rini, Kak Rini masih betah di sana. Dan katanya Kak Rini lagi, temennya sedang melihat lokasi yang bagus untuk jualan apa, gitu. Katanya temennya ingin buka usaha." Ibu mengangguk. "Oh, begitu," kata Ibu. Aku heran kenapa ibu dengan mudahnya percaya padahal perempuan di hadapan kami ini memang Rini. "Dia ini Rini, Bu." Aku mencoba meyakinkan ibu. Ibu memandang Rini, ibu yang tadinya tampak percaya dengan ucapan Rini kini terlihat sangsi. "Apa kamu benar bukan Rini? Kalian mirip sekali," kata Ibu, tatapannya berlama-lama ke wajah perempuan yang aku yakin dia adalah Rini. "Ya jelas mirip Bu, bibit dan tempat menampung bayinya sama. He he." Rini terlihat gugup. Aku yakin bahwa dia benar-benar Rini. Dia Rini. Ibu bisa dengan mudah dibohongi tapi aku tidak. "Rin sudahlah tidak usah akting kamu! Katakan di mana Ila. Apa dia bersama pebinor itu?!" Aku mulai habis kesabaran karena terus dipermainkan oleh Rini. "Maaf Mas aku Lili bukan Rini." Ibu memandangi Rini tanpa kedip, lalu ibu membalikkan badan, melangkah cepat keluar dari toko. Aku mengerutkan kening heran. "Ibu mau ke mana?" tanyaku. "Ibu punya cara ampuh untuk membuktikan dia benar-benar Rini atau bukan, Van. Tunggu 2 menit ibu segera kembali."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN