8

1104 Kata
POV Rivan + Adam "Mas, udah mateng, sarapan dulu baru berangkat, Mas." Aku yang sedang memakai sepatu mau berangkat ke konter menoleh saat mendengar suara Rifani semakin mendekat kemari. Saat menoleh, kulihat dia berjalan mendekat. "Ayo makan dulu." Dia meletakkan piring dan mangkuk yang dibawanya ke meja. Aku mendekat ke arahnya lantas duduk, menerima sendok yang diulurkannya lantas menyendok sayur dari mangkuk. Di piring, tampak ikan lele goreng agak remuk. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah diajari berkali-kali, tetap saja tidak becus masak. Harus sabar memang memiliki istri lemot seperti Rifani. Entah kenapa akhir-akhir ia selalu membuat moodku jelek. "Kenapa hanya dipandangi saja, Mas?" Aku menarik napas. "Kamu seperti mau memberi makan kucing, Fan. Goreng lele saja sampai remuk begini," jawabku sambil menyendok nasi, lele, juga tumis bayam. Aku mengunyah lalu memuntahkannya cepat. Bisa-bisa kenapa darah tinggi makan asin-asin terus. "Nanti kamu belikan saja sayur untuk ibu, mas sarapan di luar saja." Mata Rifani berkaca-kaca. "Gak enak ya, Mas?" "Kalau enak, mas sudah habiskan, Fan." Rifani mengusap air mata di pipinya. "Kamu berubah, Mas." Aku menghela napas. "Siapa yang tidak kesal setiap hari kamu memberi mas dan ibu makanan asin? Kamu tahu? Ila, dia diajari sekali langsung bisa. Tidak harus mengajarinya berkali-kali, Fan!" kataku jengkel. Pintu terbuka lalu ibu melangkah masuk. Perempuan bertubuh tambun itu membawa bungkusan di tangannya. "Eh sudah siap ternyata anak ibu. Ayo sarapan dulu, Fan, ini ibu beli nasi uduk." Sambil ibu melirik sinis ke arah Rifani. Rifani mengalihkan pandang. Ibu duduk di kursi lalu membuka nasi bungkus. Karena lapar, maka aku langsung menyuap dengan cepat. Selain itu ingin segera membuktikan sendiri yang kulihat kemarin benar Rini atau bukan. "Ya sudah Bu, aku berangkat dulu." Aku mencium punggung tangan ibu begitu selesai makan. "Aku ingin ke toko pasar Kam dulu, ingin memastikan Rini berangkat kerja atau tidak. Jika dia tidak berangkat kerja, berarti kemarin aku salah lihat. Jika berangkat kerja berarti bisa jadi kita dibohongi Rini dan Ila, Bu." "Ibu ikut, Van. Ibu juga penasaran." "Ya sudah, Bu, ayo." Aku dan ibu pun menuju pasar Kam dengan mengendarai motor. "Kalau menurut ibu, Ila memang di Bandung, Van. Karena kan Ila memang pamit ke Bandung." "Iya tapi aku ragu, Bu. Takutnya Ila membohongi ibu karena kemarin aku melihat Rini. Apa ibu tidak takut Ila ternyata tidak ke Bandung tapi bersenang-senang tinggal serumah dengan bosnya yang tidak tahu diri itu?" "Tidak mungkin Ila sampai kumpul kebo dengan bosnya, Van. Ibu tahu siapa Ila, dia perempuan baik-baik." "Iya, Bu, semoga Ila tetap Ila yang seperti dulu tidak murahan." Motor akhirnya tiba di depan toko pakaian yang terbuka lebar. Dengan tidak sabar, aku melangkah cepat masuk ke dalam toko. POV Adam Aku terus mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Kenapa lama sekali dari tadi tidak keluar-keluar? Sebenarnya apa yang Mama dan Lana lakukan di kamar? Sungguh lama sekali. Aku menghela napas, semoga mama tidak memaksakan kehendaknya pada Lana. Aku sangat setuju Lana memakai jilbab, tapi memaksakan kehendak aku tidak suka. Aku tidak ingin Lana tertekan dan bisa saja malah lari dariku, jadi harus pelan-pelan memberitahunya, begitu rencanaku. Aku masih ingat dengan jelas kelakuan Mama yang memaksa Rifani mantan istriku menutup aurat, namun Rifani selalu menolak. Katanya Fani, dia risih dan panas jika pakai jilbab. Mama dan Rifani selalu tak pernah berpendapat tentang cara berpakaian. Aku setuju dengan Mama bahwa perempuan wajib menutup aurat, tapi aku tidak ingin memaksakan kehendak. Jadi diberi pengertian pelan-pelan saja. "Ayah sedang mikirin apa?" Suara Umi membuyarkan lamunanku tentang Rifani. Aku memandang Umi dan tersenyum kecil padanya. "Tidak papa, Manis. Ayah sedang menunggu mama dan nenekmu kenapa tidak keluar-keluar dari kamar?" "Baru aja mama dan nenek masuk ke kamar, Yah. Belum lama." Aku tersenyum. Sudah tiga menit. Kenapa harus selama itu? Karena penasaran apa yang Mama dan Lana lakukan di kamar, akhirnya aku menyusul mereka. Aku menghentikan langkah saat mendengar suara istriku tepat di depan pintu kamar Mama yang sedikit membuka. "Aku beneran pakai ini, Ma?" Itu suara Lana, yang langsung dijawab oleh Mama. "Iya, Sayang, kamu pakai itu." "Apa ... Mama gak punya cara lain selain ini?" Suara Lana bernada protes. Itu kan ... seperti dugaanku mama benar-benar memaksakan kehendaknya. Ma, Mama, benar-benar tidak sabaran. "Tidak ada Sayang, itu satu-satunya cara." "Aku terlihat lucu." "Lucu bagaimana? Kamu terlihat sangat cantik, Sayang. Duh cantiknya menantu mama ini." Ma-maaa. Aku menggelengkan kepala gemas. Aku yang tadinya berniat masuk untuk melihat Lana mengurungkan niat, memutuskan kembali menunggu di ruang makan. Tak lama kemudian mereka muncul. Mama menggandeng tangan Lana, Lana berjalan dengan menatap ke bawah. Dia memakai dres polos cokelat s**u dengan jilbab serupa, aku menunggunya mengangkat kepala. Sepertinya apa dia memakai jilbab? Tapi Lanaku tetap menunduk tidak mau mengangkat wajahnya sama sekali. "Sayang, coba pandang Kakak," kataku, penasaran sekaligus takut dia akan marah karena perbuatan Mama padanya. Aku beranjak berdiri lalu berjalan mendekat ke arahnya, kini berdiri di depannya. "Aku malu, Kak." "Malu kenapa?" Aku mendongakkan dagu Lana sehingga kini aku bisa melihat wajahnya yang terlihat tak nyaman. "Kamu cantik sekali, Sayang, pakai jilbab." Pujiku. Kenyataanya memang begitu. "Aku ngerasa aneh," jawabnya sambil menyentuh ujung jilbabnya. Dia tersenyum canggung. "Kamu cantik, Sayang," ujar Mama. "Umi, coba kamu lihat bunda kamu, dia sangat cantik, kaan, pakai jilbab?" Umi yang sedang mengunyah roti mengangguk. Gadis kecil itu mengangkat kedua ibu jarinya ke udara dengan tatapan ke arah Lana. "Bunda sang-aaaat, cantik! Cantik! Can-tiiik!" Seru Umi. "Seperti bidadari turun dari langit untuk kakak miliki." Lanjutku sambil meraih kedua tangannya, aku menatap tepat ke manik mata Lana dan mengecup tangannya. Mama berdeham kecil. Wajah Lana merona, dia mengalihkan pandang terlihat begitu malu. "Kakak apaan, sih." "Kakak bicara realita, Sayang. Adik memang seperti bidadari turun dari langit untuk kakak miliki." "Gombal." Dia tersipu. Aku menyentil hidungnya. "Nah sekarang, kalian segera berangkat saja, sana. Mama juga akan berangkat jalan-jalan dengan Umi." "Ho-reeee!" Umi mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Lana tersenyum kecil. Ia menunduk menatap ke arah ujung jilbabnya, lagi-lagi terlihat tidak nyaman. Aku memandang Mama, mama mengedip padaku. "Ayo Sayang, kita berangkat sekarang." Aku menggandeng tangan istriku. "Umi ingin ikut bunda?" tanya Lana. "Gak, Bun, Umi mau pergi sama nenek baru." Mendengar sahutan Umi, Lana pun menatap Mama yang tengah tersenyum. "Baiklah." Lirih Lana. "Jangan nakal ya, sama nenek?" "Siap, Bun!" Umi menempelkan telapak tangannya ke kening. Lana melambaikan tangan. Aku ikut melambai pada Umi lantas kembali menarik tangan istriku keluar. Kubuka pintu mobil setibanya di halaman, namun bukannya segera masuk Lana malah hanya diam dengan tatapan ke arahku. "Kenapa, Sayang?" "Kak, masa aku pakai gini? Aku ngerasa aneh banget dan gak nyaman banget." "Tidak aneh, Dik. Kamu hanya belum terbiasa. Nanti lama-lama, kamu akan terbiasa, Sayang." Lana menyipitkan sebelah mata, menatapku seolah sedang salah dengar. "Belum terbiasa apa maksud kakak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN