Episode 9 : Edelwais yang Masih Ragu

1450 Kata
Baik Sunny bahkan Sandy masih bungkam. Keduanya telanjur tidak percaya dengan permohonan yang Bubu layangkan.  Menikah, sedangkan usia Bubu dan Edelwais baru dua puluh lima tahun?  Edelwais bahkan lebih tua beberapa bulan dari Bubu. Juga, Edelwais yang bahkan masih … lumpuh. Belum ada kemajuan dari pengobatan yang Edelwais jalani, tanpa terkecuali emosi Edelwais yang masih naik turun. Edelwais masih kerap menyakiti, menghukum dirinya sendiri. Bahkan jika dibiarkan, Edelwais bisa bunuh diri. “Aku tahu, Edelwais pasti enggak mau nikah sama aku.” Bubu menatap tak bersemangat Edelwais yang masih menunduk. Ia dapati, Edelwais yang seketika mengangguk lemah. Sedangkan Sandy dan Sunny yang masih menjadi pengamat baik, juga semakin penasaran. Kedua sejoli itu kerap saling berkode mata, memperhatikan interaksi Bubu dan Edelwais yang menjadi berjarak. Lebih tepatnya, Edelwais terkesan sengaja menghindar, menutup diri dari Bubu, padahal biasanya, Bubu menjadi satu-satunya sosok Edelwais bergantung. Bubu berdeham. “Aku memang bukan kriteria suami idaman Edel, tapi aku akan berusaha menjadi suami sekaligus teman hidup yang baik buat Edel.” Bubu menunduk serius. Diam-diam, Edelwais melirik Bubu. Sedangkan di hadapan mereka, Sandy dan Sunny semakin melirik penasaran. “Kamu sudah bahas ini dengan, … orang tuamu?” Sandy angkat bicara sembari membiarkan Sunny mengambil alih piringnya yang hanya meninggalkan beberapa tulang ayam. Bubu mengangguk, menatap Sandy penuh keseriusan. “Sudah, Om. Bismillah! Papah sudah dukung, sedangkan Mamah pasti lebih!” Kendati menyibukkan diri, merapikan setiap piring di sana tanpa terkecuali piring Bubu, Sunny kerap melirik dan menyimak apa yang terjadi. “Rasanya terlalu cepat. Padahal aku rasa, aku belum lama melahirkan Edel. Tapi sekarang, dengan sangat sadar aku mendengar ada pemuda yang mengajak Edel menikah,” batin Sunny yang merasa sangat terharu. Kedua matanya tak hanya terasa menghangat, melainkan basah. Kini, giliran Edel yang diminta untuk menjawab. Semua mata tertuju pada Edel yang masih menunduk dalam. “Del …?” panggil Sandy sangat hati-hati. Jantung Edelwais mendadak berdetak lebih cepat. Gugup, tegang, bahkan takut, ia rasakan dalam waktu bersamaan. “Mungkin Edel takut diserang sama fans-ku,” ucap Bubu sambil melirik Edel. Sandy dan Sunny refleks menertawakan ucapan Bubu yang mereka yakini sengaja menyindir Edelwais. “Memangnya kamu punya fans?” sergah Edelwais sambil menatap tak habis pikir Bubu. “Banyak. Kamu sendiri yang sering bilang, kan?” balas Bubu dengan entengnya. Edelwais mendengkus sambil menepis tatapannya dari Bubu. “Enggak apa-apa, Del. Sebanyak-banyaknya fans Bubu, kamu masih punya fans setia yaitu Mumu. Bisa Papah pastiin, ribuan fans Bubu enggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama Mumu!” ucap Sandy meyakinkan di sela tawanya. Celotehan Sandy sukses membuat Sunny bahkan Bubu terbahak. “Setia apa, Pah? Waria di pengkolan saja, Mumu embat! Si Mumu mah enggak ada setia-setianya!” keluh Edelwais dan seketika membuat kebersamaan di sana semakin dipenuhi tawa. “Oh … berarti itu si Mumu lagi usaha. Usaha nyari yang beda!” sangkal Sandy yang kemudian semakin tergelak. Sandy sampai memegangi perutnya yang terasa kaku karena terlalu banyak tertawa. “Sepertinya Mumu memang lebih depan daripada aku,” gumam Bubu yang kemudian bertanya kepada Edelwais, “Kamu sukanya pria romantis sekaligus humoris kayak Mumu, kan?” Refleks menatap Bubu, Edelwais menggeleng ngeri. “Lihat, aku sampai merinding!” ucapnya sembari menyodorkan kedua tangannya. Seperti yang ia katakan, bulu kuduknya kompak berdiri. Suasana yang seharusnya dipenuhi keseriusan justru diwarnai gelak tawa. Bahkan karena tawa tak berkesudahan tersebut pula, mereka jadi lupa dengan apa yang awalnya mereka bahas. Mengenai lamaran Bubu, ajakan menikah yang Bubu ajukan, akankah Edelwais berikut orang tuanya akan menerimanya? *** “Ditolak,” ucap Bubu sambil menunduk dan refleks tersenyum kecut. Setelah kompak terdiam tak percaya, Rafael yang refleks berkode mata dengan Fina, langsung tertawa. “Pah … Edel masih trauma. Dia nolak aku karena dia takut aku seperti Raga. Lagipula, emosi Edel masih belum stabil.” Bubu berusaha membela diri. Fina yang turut menahan tawa, berangsur merangkul Bubu. “Enggak apa-apa … enggak apa-apa. Dulu, Mamah juga nolak Papah. Papah sampai mohon-mohon ke Mamah sambil modus,” ucapnya meyakinkan seiring tangan kanannya yang sibuk mengelus punggung Bubu. Bubu memelotot tak percaya, menatap sang mamah, kemudian Rafael yang mulai menepi dari tawanya. “Itu kartu lama, kan?” elak Rafael di antara tawa yang tersisa.  Fina dan Bubu yang kompak diam, mesem dan menatap Rafael sambil menggeleng tak habis pikir. Akan tetapi, Rafael kembali tertawa dan terpingkal-pingkal. “Ya sudah. Besok coba lagi saja,” ucap Fina sengaja menyemangati Bubu. Bubu mengangguk-angguk mengerti. “Iya, Mah. Pasti aku coba lagi, kok.” Fina tersenyum lebar sambil membingkai wajah Bubu menggunakan kedua tangannya. “Kenapa harus Edel?” tanya Rafael tiba-tiba dan seketika menyikapi Bubu dengan serius. Tak ada lagi ledekan apa lagi tawa yang ia lakukan. Fina yang awalnya tersenyum, juga menjadi menyikapi Bubu dengan serius. Ia tak kalah penasaran dari Rafael, kenapa Bubu justru memilih Edelwais. “Karena aku yakin. Memangnya, ... kenapa lagi?” balas Bubu. “Jangan bilang ini itu, karena nantinya, akulah yang akan menjadi imam istriku, bukan orang lain, apalagi mereka yang hanya ingin merussak kehidupanku.” Fina tersipu. Kedua tangannya kembali membingkai wajah Bubu, di mana, ia juga sampai berjinjit dan melayangkan ciuman dalam di kening sang putra. “Kamu memang yang terbaik. Kamu yang terbaik dalam semua hal!” ucap Fina. Apalagi, meski Rafael juga pria yang sangat tanggung jawab, Bubu tidak sampai emosional seperti Rafael yang tak jarang meledak-ledak, di saat Rafael masih seusia Bubu. Dan Fina sangat bangga memiliki Bubu. Bubu mengulas senyum sambil menatap Fina penuh rasa terima kasih. “Thank you, Mah! Aku akan selalu berusaha jadi yang terbaik!” Rafael mesem sambil menunduk. Dan mau tidak mau, ia memang harus mengakui, sulungnya memang lebih baik darinya. “Ya sudah. Kamu istirahat. Papah berangkat dulu,” ucap Rafael sembari menepuk-nepuk punggung Bubu menggunakan kedua tangannya. “Tunggu, Pah. Aku juga mau langsung berangkat! Aku mandi dulu!” Bubu bergegas berlalu dari sana dengan bersama ransel hitam cukup besar yang masih menghiasi punggungnya. Rafael dan Fina kembali terbengong-bengong melepas kepergian sulung mereka. “Tuh anak enggak ada capeknya?” gumam Rafael. Memang baru pukul sepuluh pagi, tapi masalahnya, Bubu baru kembali dari Singapura dan sebelumnya sampai turut mengantar Edelwais pulang ke rumah gadis itu bersama Sunny dan juga Sandy. “Ya sudah, Pah. Aku siapin bekal buat Bubu dulu. Tunggu, ya!” Fina juga bergegas, buru-buru ia meninggalkan ruang keluarga lantai bawah kebersamaan mereka. Rafael mengangguk-angguk, kemudian duduk sambil menunggu Bubu maupun Fina yang menyiapkan bekal untuk Bubu. Sebab masih seperti saat awal mereka menikah, membuat bekal masih menjadi kebiasaan Fina demi menjaga kesehatan keluarga mereka. Fina bahkan masih aktif menghabiskan waktunya untuk memasak aneka masakan lezat. Tentunya, Ray yang paling hobi makan, akan menjadi sosok yang paling sibuk meminta dimasakan ini itu. *** Edel Aku hanya terlalu takut kehilangan kamu, Bu. Iya, aku tahu aku plin plan, padahal sebelumnya, akulah yang mengajak menikah duluan.  Namun sungguh, aku masih trauma. Apalagi kita sama-sama tahu, fans kamu terlalu banyak, sedangkan aku … semuanya juga tahu gimana keadaanku? Kamu tahu? Sekarang aku masih nangis. Ya … aku tahu kamu tahu aku lebih dari siapa pun, bahkan dari diriku sendiri. Dan meski aku sadar, cepat atau lambat aku akan kehilangan kamu bahkan tanpa ikatan pernikahan di antara kita, intinya … aku belum siap kamu berubah terus kamu ninggalin aku.  Aku cuma punya kamu. Bahkan ke orang tuaku, aku enggak bisa seterbuka ini. Maafin aku, yah, Bu. Aku beneran minta maaf. Pesan dari Edelwais tersebut, langsung membuat d**a Bubu terasa sangat sesak. Beberapa kali, Bubu sampai mengkembung-kempiskan pipinya, sesaat sebelum akhirnya Bubu juga sampai mengempaskan punggungnya pada kursi kerja selaku tempat kini ia duduk.  “Edel …?” desis Bubu yang kemudian mendengkus. Bubu segera menarik diri kemudian membalas pesan dari Edelwais. Bubu Aku enggak akan berubah apalagi ninggalin kamu. Justru, apa pun yang terjadi ke kamu, itu akan menjadi tanggung jawabku, Del. *** Di kamarnya, Edelwais yang duduk di kursi roda menghadap jendela kaca di kamarnya, memang masih menangis. Pesan masuk dan itu dari Bubu, langsung membuat Edelwais terdiam tak percaya, meski tak lama setelah itu, tangisnya menjadi semakin pecah, benar-benar pilu. “Aku memang enggak mau kehilangan kamu, tapi aku takut, bersamamu justru akan membuatku benar-benar kehilangan kamu!” batin Edelwais. Bubu Besok siang, aku jemput kamu. Kita ngobrol sama yang lain, biar lebih enak. Biar kamu juga terbiasa bersosialisasi lagi. Dan pesan dari Bubu kali ini, langsung membuat Edelwais tidak percaya diri. Edelwais belum siap menerima tanggapan orang-orang mengenai keadaannya yang harus menghabiskan waktunya di kursi roda. Edelwais berkecil hati, malu semalu-malunya. “Apa kata orang? Mereka pasti akan mengecapku enggak tahu diri.” Edelwais menggeleng takut. Terus begitu seiring tubuhnya yang sampai gemetaran. Akankah Edelwais memiliki keberanian untuk kembali bersosialisasi dengan lingkungan bahkan itu orang-orang terdekat Bubu? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN