Episode 10 : Kesempatan

1446 Kata
“Pegang tanganku.”  Bubu kembali mengulurkan kedua tangannya, tapi Edelwais hanya menatap ragu uluran tangan tersebut. Bisa Edelwais pastikan, berat badan Bubu turun drastis dan itu karena Bubu kelelahan. Kenyataan tersebut terlihat jelas lantaran lengan kemeja panjang warna biru tua yang Bubu kenakan, disingsing hingga siku. “Aku benar-benar jahat, kalau aku tetap nolak Bubu. Bubu tulus banget,” batin Edelwais yang kemudian menunduk dan merenung. Ia merasa perlu dan memang harus memberi Bubu kesempatan. “Del ...? Ayo, pelan-pelan, kita belajar.”  Bubu menatap Edelwais sarat perhatian. Tatapan yang begitu teduh dan sukses membuat hati Edelwais diselimuti rasa hangat. “Kalau aku jatuh, kamu tangkap aku, ya?” Edelwais menatap Bubu penuh harap. Ia tidak mau membuat Bubu semakin lelah. Dan ia sungguh ingin mencoba. Mencoba bangkit sesuai apa yang Bubu tuntunkan. “Kalau kamu jatuh, berarti kamu harus menerima lamaran aku,” balas Bubu masih menyikapi Edelwais dengan serius.  Balasan Bubu sukses membuat Edelwais tersipu. Bisa Edelwais rasakan dengan jelas, kedua pipinya menjadi terasa hangat.  “Berarti aku harus pura-pura jatuh?” ucap Edelwais yang kemudian menatap Bubu dengan malu-malu. Bubu terdiam merenung seiring bibir berisinya yang turut mengerucut. “Mungkin kurang lebih seperti itu!”  Edelwais tersenyum sambil menggeleng geli. “Benar-benar enggak romantis!”  Bubu segera berjongkok kemudian mencubit kaki Edel. “Sakit?” lirihnya sambil menatap Edelwais penuh kepastian. “Dikit!” balas Edelwais tak kalah lirih. “Berarti harus lebih keras, ya?” balas Bubu dan langsung dihadiahi cubitan gemas di hidung, oleh Edelwais. Bubu berangsur beranjak kemudian kembali mengulurkan kedua tangannya dan langsung diterima oleh Edelwais. Melihat Edelwais yang antusias dan sampai tersenyum semangat, Bubu yakin emosi berikut suasana hati Edelwais sedang sangat baik. Entah kenapa, padahal sebelumnya, Edelwais terus menolak untuk bangkit apalagi bertemu orang lain bahkan itu saudara sekaligus keluarga besar Bubu. “Pelan-pelan. Hati-hati.” “Kalau aku jatuh, berarti aku pura-pura, yah, Bu?” “Pura-pura? Berarti kamu ngarep banget sama aku?” “Siapa sih yang enggak mau sama kamu?” “Serius, ya, Del?” “Iya ….” “Iya, apa?” “Aku mau!” “Oke. Aku pegang kata-katamu. Lusa, kita bahas ini di acara makan malam keluarga.” Dari balik kamar Edelwais, Sunny yang diam-diam mengintip langsung tersenyum haru. Hatinya berbunga-bunga di tengah napasnya yang menjadi memburu. Segera, setelah menutup pintu kamar Edelwais dengan hati-hati, Sunny menghampiri Sandy yang tengah menunggu di meja makan seorang diri. Sebab meski mereka memiliki tiga orang anak dan menjadikan Edelwais sebagai satu-satunya putri mereka, kedua putra mereka masih melanjutkan pendidikan di luar negeri. “Mereka enggak makan malam dulu? Kasihan Bubu, pasti dia kelelahan bahkan belum makan,” ujar Sandy yang memang masih membiarkan piringnya kosong. “Bubu lagi nuntun Edel buat belajar jalan!” sergah Sunny bersemangat dan langsung meraih piring Sandy. Ia mengisinya dengan nasi berikut lauk malam ini. Sandy mengernyit tak percaya seiring senyum bahagia yang merekah menghiasi wajahnya. “Edel, mau?” Sunny langsung mengangguk, menyikapi kebahagiaan Sandy dengan senyum yang jauh lebih ceria. “Alhamdulillah!” ucap Sandy tak hentinya memanjatkan syukur, meski kemungkinan Edelwais akan kembali berubah pikiran juga masih ada. **** Mumu yang baru datang ke rumah Rafael dan mendapati Ray sibuk mematut penampilan di cermin lemari hias yang ada di ruang keluarga lantai bawah, langsung terbahak. Sebab, bocah semok itu tengah menahan napas agar perut buncitnya terlihat lebih rata. “Ray … Ray. Makanya, kalau naruh gentong jangan di perut. Naruh gentong itu di--” ucap Mumu di sela tawanya. Ray yang tidak terima segera berkata, “Di mulut kamu, biar mulutmu enggak tumpah-tumpah!” “Maksudmu, bibirku dower, gitu?” keluh Mumu tak terima. Tak ada lagi tawa yang menyertainya, sebab emosilah yang kini menguasai. “Enggak hanya dower, tapi ember tukang ngerumpi!” tegas Ray sama sekali tidak peduli dengan kemarahan Mumu. “Berani kamu yah, Ray, sama aku!” gertak Mumu yang seketika melangkah cepat menghampiri Ray. “Eh, Mu! Stop dulu. Tuh pacarmu datang!” tahan Ray. “Siapa? Pacarku yang mana? Pacarku kan banyak?” balas Mumu yang seketika mengikuti tuntunan Ray, meski Ray menunjuk sosok yang dimaksud menggunakan dagunya. Sosok tersebut ada di belakang Mumu. Sosok berjilbab yang tak lain Pansy, musuh bebuyutan Mumu. Pansy menenteng sebuah kotak terbilang besar dan Mumu berikut Ray ketahui sebagai perlengkapan Pansy sebagai montir.  “Ciee …,” goda Ray. Mumu langsung merengut sambil menggeleng dan menatap Ray. “Dia bukan pacar. Dia cuma fans berat aku!” bisiknya. Ray terkikik hingga perut buncitnya menjadi agak terguncang-guncang. “Ray … Mas Bubu-nya, ada?” sapa Pansy. “Mas Bubu? Mas Bubu mah sudah pergi dari pagi! Memangnya kalian sudah janjian?” balas Ray. Mumu langsung tersenyum geli sambil melirik Pansy yang seketika kebingungan. “Kalau aku perhatiin, bukannya dibenerin, sebenarnya kamu justru merusaak semua mesin di sini, deh, biar kamu lebih sering ke sini. Ini di rusakk, itu dirusak. Gitu saja terus biar kamu bisa modus deketin Bubu!” “Ciee … ciee!” goda Ray sembari tersenyum jail, dan kemudian berkata, “Tapi kata mamah sama papah, Mas Bubu sudah ngebet nikah! Lagi cari jodoh sih, kayaknya!” Mumu langsung menyikapi kabar tersebut dengan serius tak ubahnya Pansy yang seketika menjadi berdebar-debar. Pansy bahkan menjadi kerap menelan salivanya lantaran ia mendadak merasa sangat tegang. “Ya Alloh … jodohkanlah kami. Karena demi apa pun yang ada di semesta ini, hamba sungguh mencintai dan hanya mencintai Mas Bubu! Amin … amin ya Robbal Alamin!” batin Pansy yang refleks terpejam melangitkan doa-doa terbaiknya untuk hubungannya dengan Bubu. *** Sebuah Pajero putih menepi di depan pintu gerbang rumah Rafael. Tampak Bubu yang bergegas turun dari pintu kemudi kemudian memutari mobil bagian depan. Bubu tak lantas membuka pintu penumpang sebelah kemudi selaku pintu keberadaan Edelwais, sebab ia justru membuka pintu penumpang bagian tengah. Bubu mengeluarkan kursi roda Edelwais dari sana tanpa menerima bantuan siapa pun, baik itu satpam atau sopir yang langsung berusaha meringankan kinerja Bubu. Namun, Bubu sibuk sendiri dan hanya meminta sang sopir membukakan pintu untuk Edelwais, sebelum akhirnya Bubu membopong Edelwais untuk menempati kursi roda. “Bos, mobilnya diparkir?” tanya sang sopir. Bubu sengaja menghentikan langkahnya. “Oh, iya, Pak. Diparkir saja ke depan biar enggak ngalangin jalan. Ini tolong, maaf kuncinya,” ucapnya yang kemudian mengangsurkan kuncinya kepada sang sopir yang langsung menghampirinya dengan setengah berlari. “Bu … aku malu lagi,” lirih Edelwais tak lama setelah Bubu kembali mendorong kursi rodanya. “Malu? Kamu pakai baju, kan? Hidungmu juga enggak ngumpet di telinga?” balas Bubu sambil terus mendorong kursi roda Edelwais. “Kamu yah, Bu. Aku serius.” “Aku juga serius. Udah, kamu jangan secemas itu. Oh, iya ….” Bubu sengaja menahan ucapannya. “Apa?” Edelwais yang penasaran sampai menoleh dan menengadah hanya untuk menatap wajah Bubu secara langsung. Dan ia semakin penasaran lantaran Bubu sampai memelankan langkahnya. “Nanti jangan sampai bahas Rean, apalagi kalau di depan Nanay, ya?” pinta Bubu. “Memangnya kenapa?” balas Edelwais semakin penasaran. “Mereka sudah putus, sedangkan dalam waktu dekat, Rean akan menikah dengan wanita lain,” jelas Bubu sarat pengertian. “Ya ampun laki-laki, sama saja!” gerutu Edelwais yang seketika itu pula menjadi emosi. Edelwais langsung teringat Raga yang dengan tega mencampakkannya dan justru akan menikahi Honny. “Aku juga laki-laki, papahmu pun laki-laki. Enggak semua laki-laki seperti Raga, lho, Del. Termasuk Rean. Rean dan Raga beda. Kasus mereka berbeda.” “Tapi katamu, Rean sudah minta izin ke orang tua kamu buat taarufan sama Nanay?”  “Iya. Tapi sebelumnya, Rean juga enggak tahu kalau papahnya jodohin dia sama Gemintang.” Bubu masih bertutur penuh pengertian. “Ya ampun … jadi, wanita lainnya ini, … wanita yang akan menikah dengan Rean itu, Ge-min-tang?” “Sudah, jangan dibahas.” Bubu menatap Edelwais sarat perhatian. Ia menatap Edelwais sambil mengedipkan matanya penuh peringatan. Edelwais mengangguk dan menurut. “Tegur aku, kalau aku salah, ya?” pintanya masih dengan suara lirih. “Saudaraku juga saudaramu juga. Enggak usah setegang itu, apalagi kita juga sudah biasa bareng.” “Tapi tetap saja, Bu. Rasanya jadi beda. Pertemuan sekarang, ada tegang-tegangnya. Oh, iya? Aku ... aku cantik enggak? Aku perlu benerin rias, rambut, apa pakaianku perlu diubah enggak?” “Sudah ... dari semuanya kamu yang paling cantik. Sempurna.” “Ah kamu enggak romantis ah, Bu!” Semakin mereka memasuki kediaman Rafael lebih dalam, semakin besar pula rasa tegang yang Edelwais rasakan. Edelwais sampai menggenggam kedua tangan Bubu yang masih mengendalikan sekaligus mendorong kursi rodanya. Di mana, dunia Edelwais seolah berputar lebih lambat ketika semua mata yang menghuni ruang keluarga di lantai bawah, langsung menjadikan kedatangannya sebagai pusat perhatian. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN