“Aku hanya bisa menghubungimu.” Dari seberang, suara Edelwais terdengar mengeluh.
Mendengar itu, Bubu yang nyaris menandatangani sebuah berkas di hadapannya, refleks mengerutkan bibir sambil tetap menggoreskan pena hitamnya di atas materai.
“Memangnya, kamu mau menghubungi siapa lagi?” ucap Bubu yang kemudian menutup berkas yang baru saja ia tanda tangani.
“Telepon Mumu, deh. Biar kamu cemburu!” balas Edelwais sewot, tapi sukses membuat Bubu mesem.
“Bukannya kamu pengin banget ngegeprek si Mumu? Mana mungkin aku cemburu, ah?” balas Bubu sengaja mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi empuk tempatnya duduk. Kursi yang juga merupakan kursi kerjanya. Ia mencoba menyikapi keadaan dengan sesantai mungkin.
“Iya, sih. Ini saja aku udah lagi pesen geprekan khusus buat jaga-jaga.” Nada bicara Edelwais terdengar semakin ketus.
Bubu hanya mesem sebelum raut wajahnya kembali dihiasi keseriusan sekaligus kesedihan.
“Bu … aku pengin balik ke Indo saja. Lagipula, di sini aku juga tetap enggak ada kemajuan. Mungkin aku memang ditakdirin buat enggak bisa jalan lagi ….”
“Edelwais … jangan bilang gitu.”
“Kenapa? Fakta, kok. Aku udah bosen. Dan aku enggak mau berharap lagi.”
Keluh kesah Edelwais yang terdengar begitu frustrasi, membuat Bubu terpejam pasrah. Berat, Bubu merasa apa yang menimpa Edelwais juga merupakan bagian dari tanggung jawabnya.
“Aku usahain, besok malam ke situ lagi,” ucap Bubu sembari membuka matanya.
“Enggak usahlah. Kamu kan sibuk. Nanti kamu kecapean terus sakit.”
“Enggak apa-apa. Aku enggak akan sakit.” Bubu berusaha meyakinkan.
“Enggak, Bu. Besok pagi juga, aku maunya pulang. Capek. Tiap hari berasa dikurung di dunia lain. Bahkan sekadar suara cicak saja enggak ada.”
“Kalau kamu mau cicak, habis ini juga aku minta orang buat kirim ke kamu.”
“Yang benar saja, Bu. Jelas-jelas aku takut cicak. Intinya, besok juga aku akan pulang.”
“Del … kamu harus tetap di situ. Kamu harus sembuh. Aku pasti usahain sering ke situ, kok.”
“Enggak, Bu … aku capek. Aku sudah terlalu ngerepotin. Aku capek. Udah, aku nyerah ….”
Mendengar Edelwais yang sampai terisak-isak, Bubu juga tak kuasa memaksa. Bubu tidak tega.
“Dua bulan, Bu … aku sudah bikin repot kalian. Aku sudah bikin susah kalian. Jadi biarin aku keluar dari sini. Mungkin ini yang terbaik buat aku,” lanjut Edelwais di tengah isaknya.
Bubu kembali terpejam pasrah kemudian mengangguk. “Oke. Malam ini juga, aku ke kamu.”
“Buat apa?”
“Biar besok, kita pulang bareng.”
“Kamu kan sibuk?”
“Nanti biar Chen yang urus.”
“Chen …?”
“Iya. Biar dia belajar.”
“Bu …?”
“Kamu bikin aku baper ….”
“Kamu kan tukang baper, kayak Mumu!”
“Jangan-jangan, aku sama Mumu kembar, yah, Bu?”
Balasan Edelweis barusan sukses membuat Bubu menahan tawa.
“Kamu ketawa, yah, Bu? Syukurlah … ya sudah. Kamu fokus kerja, ya. Biar semuanya cepat beres dan kamu juga tetap ada waktu buat rehat.
Bubu yang masih menahan tawa dan sampai menggunakan tangan kanannya yang masih memegang pena untuk menutupi mulut, mengangguk-angguk. “Ya sudah.”
“Eh, Bu. Jangan ditutup dulu.”
“Kenapa lagi?”
“Nanti, sebelum kamu ke sini, bawain nasi padang, ya. Aku pengin banget!” Suara Edelwais turun drastis.
“Kamu enggak lagi ngidam, kan?”
“Kalau aku ngidam, berarti kamu harus cepat-cepat nikahin aku sebelum bayi di perutku berubah jadi kambing-kambingnya eyangnya Mumu!”
“Hus!”
“Kamu yang mulai, Bu!”
Setelah percakapan itu usai, mereka tak lagi terlibat dalam sambungan telepon, tiba-tiba saja Bubu teringat hal terakhir yang mereka bahas. Menikah.
“Jika menikah bisa membuat Edelwais menjadi lebih baik, sepertinya kami memang lebih baik menikah. Iya. Lebih baik kami menikah, secepatnya.” Bubu, benar-benar yakin dengan keputusannya.
****
Niat baik Bubu menikahi Edelwais dan langsung disampaikan kepada Rafael, sukses membuat Rafael terbengong-bengong.
“Kenapa begitu buru-buru?” tanya Rafael setelah sempat terdiam menatap Bubu nyaris tiga menit lamanya.
Bubu kemudian duduk di hadapan Rafael. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kerja Rafael yang terbilang mewah bernuansa emas dan berlapis kaca tebal.
“Bahkan aku merasa baru kemarin bulan madu terus Fina ngelahirin Bubu. Tapi kok ini, Bubu tiba-tiba izin nikah? Memangnya, aku sudah setua itu, ya?” pikir Rafael yang masih kebingungan.
Rafael menjadi kerap mengamati sekitar sambil sesekali mengatur napas pelan. Bahkan karena itu juga, ia jadi mendapati pantulan bayangan dirinya di kaca mejanya. Benar, ia tak lagi muda. Beberapa uban tampak bertaburan menghiasi kepalanya. Kenyataan tersebut sukses membuatnya tersenyum geli.
“Kamu mendadak izin nikah gini, Papah jadi mendadak merasa tua.” Rafael masih tertawa geli.
Bubu mengernyit tak mengerti. “Kok gitu? Emang nyatanya sudah tua, kan? Jumlah saja usia Papah,” balas Bubu berusaha meluruskan pemikiran sang papah.
Rafael langsung menatap sinis Bubu. “Gini-gini, Papah awet muda, kali. Papah enggak sakit-sakitan, dan masih kuat aktivitas berat!” elak Rafael dan sukses membuat Bubu tergelak.
“Enggak kebayang kalau yang lain denger, apalagi Mamah!” ujar Bubu di tengah tawanya.
“Kalau Mamah denger, pasti Mamah seneng. Dengan kata lain, Mamah sukses bahagiain Papah!”
“Hahaha ….”
***
Bubu baru saja sampai ruang rawat Edelwais, bertepatan dengan Edelwais yang tengah melamun di atas tempat tidur. Edelwais duduk selonjor ditemani Sunny yang duduk di sofa sebelahnya.
“Kamu beneran datang?” tanya Edelwais terdengar tak bersemangat.
Sunny menyambut Bubu dengan senyum tulus. Ia beranjak dari duduknya, kemudian membiarkan Bubu menyalami sekaligus mencium tangan kanannya dengan takzim.
“Kamu datang sendiri?” tanya Sunny.
“Iya, Tan.”
“Gimana? Semuanya sehat, kan? Baik-baik semua?” Sunny menerima kantong kain berwarna biru pemberian Bubu.
Kantong beraroma khas masakan Padang tersebut Bubu keluarkan dari ransel gendong warna hitam dan kali ini Bubu sisihkan ke nakas.
“Duduk, Bu. Kamu pasti capek. Ini nasi padang pesenan Edel, ya?” ujar Sunny yang berlalu dari sana.
“Iya, Tan.” Bubu mengulas senyum sambil melepas kepergian Sunny.
Sunny melangkah membawa kantong berisi nasi padang yang dimaksud, menuju meja di seberang.
“Aku potong rambut,” ucap Edelwais sembari memasang wajah ceria, tak lama setelah tatapannya dan Bubu bertemu.
Bubu mengangguk sambil mesem. Tak beda dengan Edelwais, ia juga melakukan itu penuh sandiwara. Apalagi, Bubu curiga, alasan Edelwais memangkas rambut panjangnya hingga sepundak, tak lain karena Edelwais sengaja menyakiti dirinya sendiri.
“Kamu enggak mau komentar?” tanya Edelwais sambil mengerucutkan bibir.
Luka dan duka mulai menyertai wajah Edelwais. Bubu bisa melihatnya dengan sangat jelas. Apalagi ketika ia mengalihkan tatapannya ke jemari Edelwais, di mana kuku-kuku Edelwais terpotong tuntas dan tak rapi seperti karena habis digigiti. Bisa Bubu pastikan, Edelwais kembali menyakiti dirinya sendiri.
“Bu …? Kenapa?” tanya Edelwais ragu seiring ia yang memilih untuk menyembunyikan kedua tangannya di balik selimut.
“Papahmu ada, kan?” tanya Bubu lirih sambil menatap Edelwais dengan lebih serius.
Edelwais mengangguk ragu. “Iya. Masih urus berkas-berkas pengobatanku.”
Bubu mengulas senyum sambil mengangguk. “Ya sudah, kita tunggu Papahmu.”
“Memangnya, … mau ngapain? Mau makan nasi padang?” Edelwais masih bertanya dengan hati-hati, selain ia yang juga masih menatap Bubu penuh tanya.
“Yuk siap-siap, kita makan. Ini tadi papahnya Edel juga ada beli makanan. Bentar ya …,” seruan Sunny yang terdengar sarat kasih sayang, sukses mengakhiri agenda tatapan Bubu dan Edelwais.
****
“Meni-kah?” Sandy nyaris tak mampu kembali melanjutkan napasnya, atas permohonan yang baru saja ia dengar dari Bubu. Ia sampai mendadak terengah-engah saking tidak percayanya.
Bubu baru saja meminta izin untuk menikahi Edelwais. Tak tanggung-tanggung, Bubu ingin menikahi Edelwais dalam waktu dekat. Padahal, semuanya sama-sama tahu, Edelwais masih harus menjalani pengobatan intensif, selain Edelwais yang hanya bisa menghabiskan waktunya di kursi roda.
Sandy dan Sunny yang duduk bersebelahan, refleks saling tatap. Kemudian, tatapan mereka teralih kepada Edelwais yang duduk di kursi roda, bersebelahan dengan Bubu. Edelwais bahkan masih memangku piring berisi nasi padang dan masih tersisa seperempat bagian dari porsinya.
Suasana makan malam bersama yang awalnya hangat dihiasi obrolan menyangkut pekerjaan berikut keadaan keluarga Bubu, menjadi diselimuti ketidakpercayaan dalam keheningan yang tiba-tiba berlangsung.
“Om sama Tante, mau ngajuin syarat?” tanya Bubu yang masih menatap Sandy berikut Sunny, penuh keseriusan.
Kebersamaan mereka hanya terhalang oleh keberadaan meja berlapis kaca, terbilang panjang. Sandy dan Sunny duduk di sofa panjang, saling bersebelahan. Sedangkan Bubu duduk di sofa tunggal bersebelahan dengan Edelwais yang mendadak menunduk dan bungkam.
“Bubu apa-apaan, sih? Kok tiba-tiba ngajak nikah? Padahal maksudku ngeledekin dia cuma buat bercanda biar dia enggak kaku-kaku amat,” batin Edelwais yang seketika merasa berkecil hati. “Menikah? Wanita lumpuh sepertiku? Jangankan mengurus orang lain dan menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, mengurus diriku sendiri saja, aku masih kesulitan, Bu!” pekik Edelwais dalam hatinya.
Akankah permohonan yang Bubu minta, dikabulkan oleh Sandy dan Sunny, berikut Edelwais yang akan menjalani?
Bersambung ....