Episode 7 : Terima Kasih, ... Maaf

1783 Kata
Aku menyakitimu (lagi). Dan aku akan semakin menyakitimu, jika aku memintamu menunggu, bertahan untukku. Terima kasih, Nay. Maaf … aku benar-benar minta maaf. Benar-benar tak ada kata lain, selain terima kasih sekaligus maaf. Melepasmu bukan berarti karena aku tidak mencintaimu lagi. Sebab melepasmu adalah caraku membiarkanmu mendapatkan cinta yang lebih. Aku tidak keberatan jika kamu membenciku, tapi aku akan merasa sangat bersalah jika kamu sampai menangis apalagi terluka karena aku. Kamu pantas bahagia dengan pria yang jauh lebih berharga daripada aku. Terima kasih, maaf …. Rean .... Sepucuk surat yang menghiasi kertas putih, sukses mengobrak-abrik kehidupan Nanay. Air mata Nanay terus berlinang. Isak pilu pun menjadi lantunan tak berkesudahan. Susah payah Nanay menahan diri, menahan tangis berikut kesedihannya. Ia merunduk dan terduduk di depan tempat tidurnya seiring tubuhnya yang terguncang pelan. Akhirnya, setelah mendiamkan Rean selama tiga hari terakhir, kabar berikut keputusan yang Nanay tunggu benar-benar datang. Rean melepasnya, dan Rean lebih memilih perjodohan dengan Gemintang. Sakit? Pasti. Namun di sisi lain, Nanay merasakan sedikit kelegaan lantaran wanita yang Rean pilih merupakan wanita baik yang teramat tegar, istimewa. Bahkan Nanay sadar, dirinya tidak ada secuil pun dari keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Gemintang. Bisa Nanay pastikan, ke depannya ia akan menghabiskan waktunya dengan banyak kesedihan. Kesedihan yang akan ia sembunyikan, diam-diam. Layaknya sekarang, setelah mendadak merasa hina dikarenakan mencintai ciptaan Tuhan melebihi cintanya kepada Sang Pemilik Kehidupan, Nanay yang merasa berdosa, menjadi kelabakan sendiri. “Astagfirullah …,” ucap Nanay untuk ke sekian kalinya. Terseok-seok ia beranjak, melangkah menuju kamar mandi meninggalkan sepucuk surat pemberian Rean, di tepi tempat tidur begitu saja. Sepasang mata sipit yang awalnya mengintai Nanay, menjadi menatap tajam sepucuk surat yang Nanay tinggalkan. Chen, dengan dahi yang dipenuhi kerut, bergegas mengakhiri persembunyiannya dari balik pintu kamar Nanay yang sedikit ia buka sekaligus tahan menggunakan tangan kanan. Tanpa menyentuh kertas yang Nanay tinggalkan, Chen membacanya. Membaca kenyataan jika hubungan Nanay dan Rean yang sudah berjalan selama enam tahun terakhir, berakhir dengan perpisahan. Rean melepaskan Nanay dengan alasan yang belum Chen ketahui. Sedangkan mengenai surat yang masih menjadi fokus perhatiannya, Chen yakini merupakan isi amplop warna putih yang sempat Nanay terima dari salah satu ART mereka, ketika tadi mereka baru pulang kerja “Kok bisa, ya? Padahal baru sekitar sepuluh hari lalu, Rean ngajak Nanay seriusan. Bahkan gara-gara itu, semuanya yakin, Nanay akan menikah lebih dulu melangkahi Mas Bubu?” Dalam benaknya, Chen terus bertanya-tanya. Rasa penasaran yang turut disertai kekecewaan, membuat Chen tak tinggal diam. Chen sengaja menunggu Nanay, di depan pintu kamar mandi dan sedari tadi Chen dengar dihiasi kran air yang menyala. Seperti dugaan Chen, mata kembarannya sudah sangat merah, sembam. “Memangnya, masalahnya kenapa? Kenapa mendadak pisah, padahal kalian sudah sepakat menikah?” Chen bertutur tegas, setegas tatapan matanya yang dipenuhi gelora amarah. Sambil menepis tatapan Chen, Nanay berkata, “Belum jodoh, Chen ….” “Ya sudah, kalau itu memang keputusanmu.” Chen mengangguk-angguk paham tanpa mau ikut campur lebih dalam. Ia takut, jika ia sampai melakukannya, yang ada Nanay akan semakin terluka. “Tapi mulai sekarang, kamu harus mulai lembaran baru. Kamu harus bisa move on, jalani hidupmu lebih baik lagi bahkan meski tanpa Rean. Jalanmu dan Rean sudah enggak sama.” Selain bertutur cepat, Chen masih mengangguk-angguk yakin. Dan meski berat, Nanay berangsur mengangguk. “Insya-Alloh, Chen.” Chen kembali mengangguk-angguk. “Bagus!” Nanay mengembuskan napas lega, tapi ketika Chen menawarinya pelukan, ia buru-buru kabur dari sana. “Kebiasaan … sama Mas Bubu atau yang lain, mau. Kok sama aku selalu enggak mau?” protes Chen. “Pokoknya enggak! Lagian, kamu juga sering jail. Takut aku!” Meski Nanay telah meninggalkannya, Chen sengaja berlari dan menyusul, membuat Nanay berteriak ketakutan. Nanay yang sudah meraih mukena dari gantungan sampai kocar-kacir keluar dari kamar. “Mamah ….” Ray geleng-geleng, merasa tak habis pikir pada si kembar yang baginya tak tahu diri. Semua itu terjadi lantaran gara-gara Chen dan Nanay, acara makan malam yang harusnya sudah berlangsung, menjadi tertunda. “Ya ampun, kalian ini. Sudah tua masih main kejar-kejaran. Asal kalian tahu, gara-gara kalian, aku nyaris busung lapar karena nahan lapar.” Ray mengelus-elus perut buncitnya yang sampai terdengar berisik. “Ayo cepat turun. Yang lain sudah nunggu buat makan malam.” Meski Ray paling muda, dari semuanya, Ray juga yang paling sering menyuruh, menerapkan peraturan tanpa terkecuali memarahi kakak bahkan orang tuanya. Layaknya kini, mendapatkan omelan dari Ray, membuat Chen dan Nanay terdiam seketika. Keduanya tak ubahnya murid atau seorang anak yang sedang menerima mandat. Dan setelah Ray berlalu lebih dulu di tengah kesibukan bocah itu mengelus perut menggunakan kedua tangan, Chen memanfaatkan kesempatan kali ini untuk mencium gemas sebelah pipi Nanay. “Chen … kebiasaan!” teriak Nanay sedangkan Chen justru kabur sambil terbahak. Meski berat karena biar bagaimanapun kandasnya hubungannya dan Rean masih membuat Nanay terpukul, demi menjaga perasaan keluarganya, Nanay bergegas turun dengan mukena yang sengaja ia selempangkan di bahu kanan. Acara makan malam sudah dimulai dan dipimpin langsung oleh Rafael. Layaknya Bubu, Fina duduk persis di sebelah Rafael. Tentunya, Nanay segera duduk di sebelah Ray, ia duduk nyaris berhadapan dengan Chen yang masih sibuk senyum-senyum kepadanya. Nanay yakin, kenyataan tersebut terjadi akibat kejahilan Chen beberapa saat lalu yang lagi-lagi asal menciumnya. Ray yang duduk di antara Nanay dan Fina, tengah dibimbing makannya oleh Fina. Karena meski usia Ray sudah menginjak dua belas tahun, Ray yang memiliki tubuh segar lain dari kakak-kakaknya, tetap menjadi bayi mereka. Pun meski sifat Ray kerap melebihi usianya, tak ubahnya orang tua. Mendapati wajah Nanay yang kebingungan sedangkan matanya sembam, Rafael refleks memelankan kunyahannya. Senyum hangat yang awalnya membersamai wajahnya hanya karena melihat kebersamaan keluarganya kompak dalam makan malam, juga seketika sirna. Rafael menjadi menatap Nanay penuh tanya. Hanya sebatas itu tanpa mengutarakan keingintahuannya. “Mah, itu ada duri ikannya,” rengek Ray yang enggan menerima suapan Fina dikarenakan ada duri ikan yang ia maksud. Fina sengaja mengamati dengan saksama dan sampai dibantu oleh Nanay. “Alah, duri aja ngerengek-ngrengek. Biasanya, tulang juga kamu telan!” ejek Chen dan sukses membuat semuanya refleks menahan tawa tanpa terkecuali Nanay yang berhasil memungut duri di ikan dari sendok yang akan Fina suapkan kepada Ray. “Lihat, Nay. Punya keluarga lengkap kompak begini, harusnya kamu bersyukur. Kebahagiaan yang sempurna enggak melulu cinta dari pasangan yang belum tentu membuatmu terikat dalam pernikahan dunia akhirat, kok. Sabar saja. Alloh pasti punya rencana lebih indah. Baik buat kamu, juga Mas Rean. Iya, memang berat. Tapi lebih berat lagi kalau kamu terus-terusan terpuruk. Hargai apa yang punya sebelum Alloh kembali mengambilnya.” Jauh di lubuk hatinya, hati kecil Nanay tak hentinya meyakinkan Nanay. Meski karena kenyataan tersebut pula, hati Nanay menjadi terenyuh. Nanay bahkan tak kuasa menahan air matanya untuk tidak berlinang. Buru-buru ia menunduk sambil terus mengunyah dan diam-diam menyeka air matanya. Rafael yang masih diam dan memang tidak disibukan oleh Ray yang tidak bisa berhenti makan hingga Fina kewalahan, mendapati Chen berikut Bubu yang nyatanya juga memperhatikan Nanay. “Pasti ada masalah,” batin Rafael yakin. **** “Rean dijodohkan. Dengan Gemintang. Dan tiga hari lalu, aku memang sempat mengajak Rean untuk bertemu. Aku meminta Rean untuk memilih.” Meski menyikapi keadaan dengan tenang, Bubu yang berdiri di hadapan Rafael, tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. “Dan Rean memutuskan untuk melepas Nanay. Mereka putus. Rean menyampaikannya melalui surat yang saat kita pulang tadi, Nanay terima dari Mbak Puji,” timpal Chen sembari menerobos masuk kamar Rafael. Bak tersambar petir di siang bolong, Fina yang baru keluar dari kamar mandi langsung mematung. Kenyataan yang baru saja Fina dengar tersebut, benar-benar membuatnya hancur. Air mata Fina tak hentinya berlinang, sedangkan rasa sakit terus menyerang dan semakin lama terasa semakin kuat. Rasa sesak yang Rafael tahan dan sebisa mungkin disembunyikan, seketika membuatnya tak karuan, sesaat setelah ia mendapati Fina. “S-sayang …?” Fina terisak-isak sembari menatap ketiga wajah di hadapannya. “Jangan sampai Nanay mengikuti jejak Edel ….” Ia benar-benar memohon. Fina sangat takut, luka hati yang Nanay rasakan akibat kandasnya hubungan Nanay dengan Rean, membuat Nanay hilang arah dan nekat melakukan tindakan fatal. “Enggak mungkin, dan enggak akan mungkin!” tegas Bubu sembari menggeleng tegas. Fina tetap tidak yakin, selain ia yang merasa sangat bingung bagaimana caranya menarik Nanay dari keterpurukan. Lantaran Fina sampai merunduk bahkan jongkok nyaris terduduk di lantai, Rafael bergegas menyusul. Jarak mereka sekitar lima meter. “Pelan-pelan. Pasti ada jalan.” Rafael merengkuh Fina, meyakinkannya agar tidak larut dalam kesedihan. “Yang Nanay punya itu kita. Mau jadi apa Nanay, kalau kita justru sedih? Kita harus tetap dukung Nanay. Belajar dari apa yang terjadi ke Edel. Kita harus lebih rutin melakukan pendekatan,” lanjut Rafael sambil menatap saksama kedua mata sang istri yang sudah basah sekaligus bergetar. “Sunny dan Sandy enggak kurang-kurang ngeyakinin Edel, Pah!” balas Fina. “Mah ….” Bubu maju dua langkah, menatap Fina penuh pengertian. Fina berangsur menatap Bubu. Sulungnya itu menatapnya dengan memohon. “Nanay sangat menghormati kita. Seperti yang Papah bilang, kita yang Nanay punya. Ibaratnya, kita ini kekuatan sekaligus kelemahannya Nanay. Dan aku janji, aku akan selalu mengawasi Nanay!” ucap Bubu. Di tengah kenyataannya yang terengah-engah, tubuh Fina tergolek lemas ke dekapan Rafael yang seketika mendekapnya semakin erat. Kedua tangan Fina meremmas dadda dikarenakan jauh di dalam sana terasa sangat sesak sekaligus sakit. “Ya Alloh, jangan sampai Nanay mengikuti jejak Edel!” batin Fina sangat khawatir. *** Waktu sudah nyaris pukul dua dini hari ketika Fina dan Rafael diam-diam memantau apa yang Nanay lakukan. Seperti yang mereka duga, anak perempuan mereka akan semakin mendekatkan diri dengan Sang Pemilik Kehidupan ketika sedang tidak baik-baik saja. Di atas sajadah yang tergelar di sebelah kanan tempat tidur sana, Nanay yang membelakangi kedatangan mereka, tengah bertadarus. Baik Fina maupun Rafael memang bahagia, tapi ketegaran Nanay yang selalu berusaha mandiri tanpa mengikutkan mereka ke dalam bebannya, juga membuat mereka terluka. Apalagi sejauh ini, sejak kecil Nanay sudah banyak menderita. “Terima kasih banyak karena kamu selalu jadi sekaligus memberikan yang terbaik, Nay. Maaf, ... maaf karena Mamah belum bisa kasih yang terbaik juga buat kamu. Mamah masih kecolongan dan membuatmu kembali terluka,” batin Fina yang lagi-lagi berlinang air mata. Di belakang Fina yang dirangkul oleh Rafael, Bubu juga terjaga di ambang pintu kamarnya. Ia terdiam dengan kedua tangan tersimpan di sisi saku celana. “Semuanya hanya butuh waktu. Aku yakin itu. Ini baru putus belum menikah. Lebih berat dari apa yang Gemintang rasakan. Apalagi aku yakin, Gemintang pasti sudah berusaha menolak. Ya Alloh Yang Maha Membolak-balikkan rasa!” batin Bubu yang merasa sangat sesak hanya karena memikirkan nasib hubungan Nanay, Rean, berikut Gemintang. “Semuanya pasti akan berlalu. Aku yakin itu,” batin Bubu yang kemudian masuk dan menutup pintu kamarnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN