Brak … tar … treng …. Seruan brankas keperluan montir Pansy yang terjatuh, tak lama setelah kedua mata gadis itu mendapati kehadiran Bubu dan Edelwais, langsung membuat Ray apalagi Mumu, terkejut.
“Gello, ih kamu, Pancy! Ngagetin saja! Kalau aku sampai kenapa-napa, bisa dilaporin ke polisi kamu sama Papieh aku!” omel Mumu yang kelewat geram di mana kedua tangannya juga masih menahan dadaa lantaran refleks.
Berbeda dengan Mumu, Ray yang jaraknya lebih dekat dengan Pansy, memilih untuk langsung memastikan apa yang sempat mencuri fokus perhatian Pansy, sebelum montir cantik itu jongkok dan mengemasi brankasnya.
“Mbak Edel …? Mbak Edel sudah balik?” Ray yang tersenyum semringah bergegas menyusul kehadiran Edelwais dan Bubu. “Ciee ….” Fokus tujuannya langsung teralih pada kedua tangan Edelwais yang menggenggam kedua tangan Bubu, padahal kedua tangan Bubu mencengkeram pegangan kursi roda yang didorong.
“Enggak cuma truk yang gandengan, Mu. Tangan Mas Bubu saja digandeng Edel!” seru Ray sengaja memanas-manasi Bubu yang ia tatap penuh kejailan.
“Potek atiku, Bu!” rengek Mumu nyaris menangis. Matanya sudah sampai berkaca-kaca.
Ray langsung tertawa bahagia menikmati kesedihan Mumu. Lain halnya dengan Edelwais yang langsung salah tingkah sebelum mengulurkan tangan kanannya yang langsung disalami dengan takzim oleh Ray.
“Wah … kulit Mbak Edel jadi putih banget. Sama aku saja berasa cokelat sama s**u. Apalagi kalau sama Mumu?” Ray kembali tertawa lepas, membuat Edelwais menjadi susah payah menahan tawa.
“Kalau sama aku memangnya kenapa, Ray?” raung Mumu.
“Kamu kan ibarat tinta hitam, yah, Mu. Gimana, ya? Aku takut dosa, tapi pengin jujur. Hahahaha!” balas Ray.
“Sudah … sudah. Sana panggilin Mbak Nanay,” tegur Bubu.
“Oke, Mas. Bentar, yah, Mbak Edel.” Ray langsung berlalu dari sana.
“Mas Chen ke mana?” tambah Bubu sengaja berseru lantaran Ray berlalu dengan buru-buru. Ray sampai berlari hingga menimbulkan kebisingan tersendiri mengingat Ray mengenakan sandal jepit.
“Molor lagi kayaknya, Mas!” seru Ray sembari menaiki anak tangga yang menghubungkan ke lantai atas.
“Siapa yang molor? Habis rapat sama Nanay juga!” semprot Chen yang langsung menatap sengit Ray.
“Mas Bubu, … Mas Chen nyeremin, kayak vampir, Mas!” Ray buru-buru putar balik sambil berseru. “Mbak Nanay … kamu disuruh turun, ada Mbak Edel!” Dan ia tak lagi bergabung dengan Bubu maupun Edelwais. Sebab tujuannya justru dapur.
“Si Ray beneran modus banget. Minggat ke dapur, terus nangis-nangis ke emaknya, terus khilaf makan, sampai-sampai, panci sama rice cooker aja ditelan!” cibir Mumu sembari melepas kepergian Ray dengan tatapan kesal.
Padahal, Chen yang mengenakan kolor abu-abu dipadukan dengan kaus oblong putih warna hitam, masih berdiri di tepi terali anak tangga lantai atas. Namun, lantaran tatapan Chen begitu sengit dan terlihat dipenuhi kemarahan, Ray sungguh tidak berani.
“Hai Mbak Edel, apa kabar?” sapa Chen dari atas tak lama setelah mengalihkan tatapannya kepada Edelwais.
Edelwais mengulas senyum. Senyum yang terlampau lepas di antara jawaban yang dibalaskan, hingga tujuan Chen langsung terfokus kepada Pansy. Chen bahkan langsung mendekati sekaligus mengobrol dengan Pansy, membahas perihal rencananya yang ingin memodifikasi motornya.
Meski melihat kebersamaan Edelwais dan Bubu membuatnya merasa sakit, Mumu terpaksa mendekati kedua sejoli itu.
“Itu motor mau dimodifikasi pasti mau buat balap lagi, biar larinya makin kenceng, Bu!” bisik Mumu tak ubahnya syetan yang mengharapkan emosi Bubu meledak.
Seperti yang Mumu harapkan, wajah Bubu langsung dipenuhi keseriusan. Edelwais yang menengadah menatap wajah Bubu, bisa melihatnya dengan jelas.
“Memangnya Chen suka ikut balapan?” tanya Edelwais lirih dan sampai menatap Mumu, berharap, pemuda berkulit hitam itu, mau memberinya jawaban.
Mumu menepis tatapan Edelwais. “Aku enggak mau ngomong sama kamu. Salah siapa kamy enggak mau terima cinta aku!” ucap Mumu sambil melirik sinis Edelwais.
Edelwais refleks menggeleng sambil melirik tak habis pikir Mumu. “Dasar … kesambet enggak sembuh-sembuh!” cibirnya lirih.
“Aku kan kesambet cinta kamu, Del. Dan asal kamu tahu, alasan orang tuaku kasih aku nama Mumu, ya karena aku hanya tercipta untukmu, Del. Mumu … tercipta untukmu, my Edel-edel.” Mumu sampai membungkuk dan berusaha menatap kedua mata Edelwais yang seketika mendekap pinggang Bubu, membenamkan wajahnya di perut Bubu.
“Bawa aku pergi, Bu. Telingaku panas terus perutku jadi langsung mual gara-gara dengar suara Mumu!” rengek Edelwais.
Mendengar rengekan Edelweis, Mumu terbengong-bengong tak percaya. Di mana, Mumu juga mendapati telunjuk tangan kanan Bubu bertumpu di keningnya. Bubu menjauhkan wajah Mumu melalui telunjuk tersebut yang perlahan mendorong kening Mumu.
“Orang kaya memang beda. Meski lumpuh, tetap banyak yang suka. Coba kalau Edel orang biasa, pasti ceritanya beda,” batin Pansy yang diam-diam melirik iri Edelwais, seiring ia yang berlalu mengikuti kepergian Chen ke belakang.
Pansy paham, Chen akan membawanya ke lantai bawah di mana di sana merupakan tempat penampungan mobil berikut motor di kediaman keberadaannya. Namun, satu-satunya orang di rumah tersebut yang memiliki motor memang Chen.
“Kita ke mamah papah, ya. Mereka pasti sedang di dapur.” Bubu mengarahkan kursi roda Edelwais ke arah dapur.
“Iya, … aku juga mau ikut ke dapur,” lirih Mumu masih saja menguntit.
“Ya ampun nih orang beneran enggak berubah!” batin Edelwais yang sebenarnya takut dekat-dekat Mumu, dikarenakan Mumu tipikal nekat yang bisa saja memanfaatkan segala kesempatan hanya untuk mendapatkannya.
****
“Gimana?” Sunny tersenyum hangat sembari membawa nampan berisi potongan buah. Di hadapannya, Edelwais terlihat jauh lebih tenang.
“Ya biasa, Mah. Enggak ada yang berubah. Bubu dan keluarganya, mereka tetap peduli, rame kayak biasa. Termasuk Mumu. Tapi aku makin takut sama Mumu, Mah. Tambah nekat tuh anak!” balas Edelwais dan langsung ditanggapi tawa lepas oleh Sunny yang bergegas duduk di sofa sebelah Edelwais berada.
Keduanya tengah ada di ruang keluarga mereka, setelah sekitar dua puluh menit lalu, Bubu yang kembali mengantar Edelwais, pamit pulang.
“Ayo makan dulu buahnya,” ucap Sunny yang tak segan menyuapi Edelwais potongan buah kiwi yang dibawa.
“Oh, iya, Mah. Si Nanay enggak jadi sama Rean.” Edelwais mengunyah dengan hati-hati.
“Lho … kenapa? Padahal kelihatannya mereka cocok?” Sunny terheran-heran sambil mengunyah pelan potongan buah kiwinya.
“Iya. Tapi Rean dijodohin sama Gemintang, dan dalam waktu dekat, mereka akan menikah.”
“Oalah … Gemintang adik angkat Rean yang suaminya meninggal? Eh … tapikan ... jasad suami Gemintang belum ditemukan meski polisi bilang, semua jasad korban kecelakaan hancur?” Sunny mengernyit ngeri.
Hal yang sama juga terjadi pada Edelwais. “Kok aku jadi parno sendiri, yah, Mah?” ucapnya.
“Parno gimana?” Sunny menatap penasaran sang putri.
“Ya parno saja. Gimana kalau sebenarnya suami Gemintang masih hidup. Terus pas Gemintang sama Rean sudah menikah dan mulai bisa menerima kenyataan satu sama lain, suaminya Gemintang ini pulang?” ucap Edelwais cepat.
“Eh … ini sih bukan parno lagi. Tapi horor, Del!”
“Kok horor, sih, Mah? Maksudku itu, suami Gemintang pulang dalam keadaan sehat! Apalagi kalau aku lihat, pengaruh Om Hans di perjodohan Gemintang dan Rean, terlalu kuat!”
“Duh, Del. Jangan dibahas. Mamah jadi ngeri. Nih sampai merinding. Tapi kalau Mamah jadi Gemintang sih, Mamah tetap enggak mau menikah, atau … minggat saja, mungkin, ya? Lagian kenapa juga Pak Hans terlalu ikut campur urusan pribadi Gemintang? Gemintang kan cuma mantan menantu?”
“Iya, sih. Meski suami Gemintang sudah dinyatakan meninggal lebih dari tigs bulan, gimana, ya? Aku enggak kuat deh, kalau jadi Gemintang.”
Membahas Gemintang, baik Sunny apalagi Edel memang menjadi ngeri sendiri.
****
Bagi Edelwais, memutuskan untuk menjalin hubungan apalagi hubungan serius, harusnya selalu saling berbagi kabar, tetap saling berbagi perhatian walau hanya dari percakapan singkat atau sekadar pesan. Itu juga yang membuat Edelwais tidak tenang. Sebab semenjak Bubu pulang, pemuda itu belum memberinya kabar bahkan meski kini sudah pukul sepuluh malam lewat. Jadilah, Edelwais yang sudah duduk selonjor berselimut di tengah-tengah kasur, dengan punggung menyandar pada sandaran tempat tidur, sengaja menghubungi Bubu.
Satu, dua, hingga sambungan yang terhubung berakhir, apa yang Edelwais dapatkan tidak mendapatkan hasil. Jadilah Edelwais kembali mengulang teleponnya, meski yang ada, nomor ponsel Bubu justru menjadi sibuk.
Telepon yang Edelwais lakukan memang mental, tapi tak lama setelah itu, ponselnya berdering dan itu merupakan telepon masuk dari Bubu.
“Bu …? Kok kamu enggak ngabarin aku?” sergah Edelwais berkeluh kesah.
“Kok kamu belum tidur?” balas Bubu terdengar lirih dan serius.
Edelwais merengut kesal. “Bu … harusnya kalau kamu mutusin buat seriusan, harusnya kamu lebih rutin hubungin aku. Paling enggak, kamu kirim aku pesan atau balas pesan aku.”
“Iya … iya, maaf. Aku belum biasa, Del. Lagi pula kamu tahu sendiri, aku jarang pegang ponsel.”
Edelwais menunduk manja. “Terus sekarang kamu di mana? Masih beresin pekerjaan?”
“Aku lagi di jalan.”
“Nyetir sendiri?”
“Iya.”
“Mau ke mana?”
“Nyari Chen. Tadi dia pergi pakai motor.”
“Maksudnya, balapan kayak yang Mumu bilang, begitu.”
“Ya aku mikirnya gitu.”
“Ya biarin kenapa? Harusnya kamu dukung. Siapa tahu Chen jadi pembalap andal? Profesional? Lagi pula, meski saudara kan enggak semuanya harus satu profesi jadi pebisnis apa pengusaha.”
“Edelwais …?”
“Bubu … aku serius. Aku enggak bermaksud bela Chen.”
“Tapi dunia liar yang Chen ikuti bahaya. Terakhir saja, kaki Chen pincang bahkan sampai sekarang masih. Memangnya kamu enggak merhatiin?”
“Pincang karena jatuh?” Edelwais menduga-duga.
“Dikeroyok!” balas Bubu penuh penekanan.
“Hah …?” Edelwais langsung terdiam lemas.
“Makanya, aku harus mastiin. Aku sudah dapat alamat lokasinya dari Mumu.”
“Tapi kalau kamu kenapa-napa gimana?” Saking khawatirnya, Edelwais sampai menggigit kuat bibir bawahnya.
“Ya doakan saja aku maupun Chen enggak kenapa-kenapa.” Balasan Bubu terdengar sangat pasrah.
“Bubu … kalau gitu aku ikut.”
“Ikut gimana?”
“Ahhh … gara-gara aku lumpuh, aku enggak bisa nyusul! Please, Bu. Jangan macam-macam. Kamu lapor polisi saja. Aku takut kamu kenapa-napa.”
“Del … Del, tenang. Kamu jangan mikir macam-macam. Eh, bentar. Sudah, ya. Aku sudah sampai.”
“Bubu, jangan! Ini aku sudah nangis!”
“Bentar, Del. Bentar lagi aku telepon lagi.”
Bubu langsung mengakhiri sambungan telepon mereka. Membuat Edelwais yang sudah telanjur menangis menjadi terdiam tak percaya.
“Ya Tuhan ….” Edelwais menjatuhkan ponselnya begitu saja. Tatapannya kosong, sedangkan kedua tangannya berangsur menopang dadda. Napasnya terengah-engah, dan Edelwais sungguh bingung harus berbuat apa?
Rasa khawatir tak hanya membuat jantung Edelwais berdetak sangat kencang. Sebab Edelwais juga ketakutan, tubuhnya sampai gemetaran.
“Bu … kamu ini, ya!” isaknya yang juga menjadi menyalahkan keadaannya. “Kenapa sih, aku harus lumpuh? Kalau aku enggak lumpuh, pasti aku bisa nyusul Bubu! Ah … pokoknya aku harus sembuh! Aku harus bisa jalan lagi!”
Edelwais tak hanya membual, sebab keinginannya yang begitu kuat, membuatnya berusaha keras untuk menggerakkan kedua kakinya, sesaat setelah ia menyingkirkan selimut dari sana. Edelwais terus berusaha, apalagi penuturan Bubu perihal Chen yang mengalami pengeroyokan, terus terngiang di benaknya. Jangan sampai, jangan sampai Bubu juga mengalami hal serupa dengan Chen.
“Apa aku telepon polisi saja, ya? Tapi ....” Edelwais takut jika keputusan tersebut juga akan membahayakan Bubu. “Terus, aku harus minta bantuan ke siapa?”
Bersambung ….