Diftan Pov
"Pembunuh! Dasar melepaskan. Aku tidak akan melepaskanmu. Kau layak membusuk di penjara!"
"Tidaaaaaak !!"
Lagi-lagi aku bermimpi buruk, tentang kejadian yang terjadi lima tahun yang lalu.
"Ya Allah, kenapa rasa bersalah ITU Masih Saja menggelayut di hatiku. Rasanya aku Menjadi orangutan Yang memucat Jahat sebelumnya Saat ini, menyembunyikan Sesuatu Yang Harusnya Istri Dan anakku ketahui.
TAPI nyaliku ciut Rasanya untuk review Berkata jujur sebelumnya Saat ini.
TIDAK industri tahu akan Sampai Kapan aku pertimbangan kebenaran ini.
Illyana istriku, mengingatnya sedikit membuat hatiku tenang. Kami baru saja memulai hubungan yang baik, aku tidak ingin merusak semua itu.
Meskipun aku yakin ia adalah perempuan shaleh yang akan menerima segala kekuranganku.
"Ya Allah, sejak kalimat sakral itu diucapkan saat itu juga aku menerima suamiku, baik dan buruknya dia aku ikhlas menerimanya. Aku mencintainya ya Rabb, bukalah senang untuk menerima kehadiranku disisi. Hadirkanlah cinta di harapan untukku."
Masih terngiang doa Illyana di sepertiga malamnya saat itu. Saat aku dengan bodohnya Jangan mengingatnya sama sekali. Aku yang sangat terlena dengan kesenanganku sendiri yang harus dilupakan jika sekarang ada bidadari berhati malaikat yang sekarang senantiasa menghujaniku dengan cinta dan kasih yang ditolak.
Aku senang menjadi pria yang senang hari ini. Sebenarnya sudah dari tiga hari yang lalu aku sudah menyiapkan sesuatu untuk istri yang cantik itu.
"Apa ini Mas?" tanyanya saat aku menyerahkan amplop berwarna merah pada Illyana.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang seperti orang penasaran itu. "Kamu buka dan baca sendiri ya Sayang, aku berangkat dulu." ucapku sukses kemudian menariknya dalam pelukanku sebelum ku kecup keningnya agar aku lebih semangat lagi. Iya siang ini aku harus membahas rapat penting dengan dewan direksi rumah sakit tempatku bekerja. Sebenarnya aku lupa kalau hari ini akan ada rapat penting. Mengingat hari ini adalah jadwal cutiku, jadi aku ingin menghabiskan waktu seharian ini dengan Illyana dan Zidan.
Aku agak terkejut saat sebuah mobil terparkir di depan rumah kami. Aku tahu dengan cepat siapa pemilik mobil itu.
Mau apa lagi dia datang ke rumahku, apa yang kurang jelas aku harus agar tidak menganggu hidupku lagi.
Cindy, dialah yang datang ke rumahku setelah berkali-kali telponnya tak ku angkat. Aku sempat menggenggam tangan Illyana sebelum kami turun dari mobil. Mencoba meyakinkannya? Sebagai jaga-jaga saja nanti di Cindy bicara yang macam-macam tentang aku dan juga dia.
Aku dan Cindy memang pernah menjalin hubungan, tapi itu dulu sebelum semua di rusak sendiri oleh Cindy. Aku tidak bisa membencinya, tapi aku sangat muak jika harus bertemu.
Seusai rapat harus ada beberapa berkas dan laporan yang harus kukerjakan. Ada saja! Padahal hari ini aku benar-benar ingin dirumah bersama istri dan anakku.
Rapat yang sedang berlangsung sampai selesai, dibuka untuk sementara waktu, tidak terasa waktu telah berlalu enam sore, itu berarti lagi akan masuk adzan magrib. "Maafkan aku Sayang, seharusnya untuk magrib ini aku tidak bisa meng-imamimu," gumamku dalam hati.
Ku putuskan untuk mengambil wudhu dan menjalankan Maghrib berhenti setelah memeriksa beberapa laporan yang harus selesei hari ini juga.
Seusai shalat, aku suka kepalaku agak pening, jadi aku memilih untuk rebahan sekali di ruanganku. Yang dimulai hanya berniat istirahat untuk mengurangi rasa pusingku, ternyata aku tertidur hanya satu jam lamanya. Aku tergagap bangun saat lagi-lagi bermimpi tentang kejadian lima tahun yang lalu.
"Tidak. Ini hanya mimpi, semua akan baik-baik saja." batinku dalam hati
Aku memutuskan untuk pulang saja dan beristirahat di rumah, mungkin akan lebih baik.
Pov En d
"Assalamuallaikum,"
"Waalaikumsalam, Mas."
Illyana menyambut Diftan yang baru saja datang dan mencium kembali tangan memuji itu.
Illyana melihat sesuatu yang berbeda dengan yang dilihat, tidak seperti hari-hari kemarin Diftan terlihat lemas dan pucat. Illyana yang sedari tadi sudah menunggu kedatangannya kembali untuk mencurahkan perasaannya dan ingin memeluk Diftan, mengurungkan niatnya itu melihat Diftan yang terlihat lemas dan pucat.
Illyana berpikir mungkin dapat membatalkan Mas Diftan-nya itu istirahat dulu, baru nanti ia akan mengembalikan terimakasih atas apa yang sudah Diftan berikan untuknya tadi siang melalui sepucuk untaian surat cinta.
"Mas, aku bikinkan teh senang ya," tawar Illyana dan Diftan hanya mengangguk.
Diftan memilih duduk di ruang tengah menunggu Illyana. Tapi yang dibuang adalah kertas bekas tahun lalu. Diftan mengambil dan membacanya, lihat menajam dan rahangnya mengeras saat ia membaca isi dari koran tersebut.
Diftan meremas koran itu dan akan membuangnya saat Illyana datang dengan secangkir teh ditangannya.
"Mas, kenapa mau dibuang korannya?" tanya Illyana bingung, karena memang Illyana lah yang membaca koran itu untuk bahan makalah tugas akhirnya dari dosen pembimbing.
"Apa ini Illyana ,?" tanya Diftan dengan wajah dinginnya.
"Itu koran berita lima tahun yang lalu Mas, tentang malapraktek yang dilakukan salah satu dokter saat itu. Dosen pembimbing memberi tugas untuk membuat makalah tentang hukum kasus malapraktek yang masih banyak dilaporkan di negeri ini." Illyana terang tapi malah membuat Diftan menatapnya nyalang.
"Kasihan sekali deh Mas, bayi kecil ini harus menjadi korban karena kecerobohan seorang dokter yang menerima oprasi persalinan izin, bayi tidak berdosa yang belum sempat melihat wajah karena sudah lebih banyak membeli dulu." Illyana memenangkan foto seorang bayi kecil yang ada di koran tersebut tetapi Diftan malah meraih dan meremas kembali koran itu kemudian menyobeknya.
"Mas, kenapa disobek?" tanya Illyana kaget dengan sikap Diftan.
"Dengar ya! Aku tidak suka kamu membahas tentang malapraktek untuk tugas skripsi kamu. Lebih baik kamu segera ganti topik untuk makalah kamu ini." ucap Diftan menatap tajam Illyana.
"Tapi Mas .."
"Aku tidak suka dibantah!" Diftan beranjak meninggalkan Illyana dengan kebingungan yang masih dilindungi. Padahal sejak tadi Illyana sudah merangkai banyak kata yang akan ia ucapkan pada Diftan untuk membalas surat cinta yang Diftan diberikan untuknya.
'Mungkin Mas Diftan sedang capek, nggak diterima aku langsung bercerita tentang tugas akhirnya.' Gumam Illyana dalam hati. Tapi tetap saja ada yang mengganjal di hati Illyana.
Diftan meninggalkannya begitu saja tanpa meminta apa-apa, bahkan teh buatannya pun masih utuh tak tersentuh sama sekali.
Illyana Berbicara Diftan ke kamar saat suara adzan Isya berkumandang. Tapi ia melihat Diftan yang tengah shalat sendiri tanpa menunggunya lebih dulu. Hati Illyana bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan membantah itu. Baru tadi siang ia dihujani kata-kata penuh cinta, kenapa sekarang seakan terasa dihempaskan begitu saja.
'Sabar Ly, jangan berpikiran buruk sama suami sendiri. Mungkin Mas Diftan sedang banyak kerjaan dan pikiran. ' batin hati Illyana.
'Alah, kenapa kesannya mempermainkan sih. Baru tadi siang lalu cinta hanya lewat surat, tapi kenapa sekarang jadi dingin dan cuek begitu. Apa salah kamu Ly, masak cuma gara-gara makalah sampai seperti itu marahnya. ' batin hati Illyana yang lainnya.
"Asthagfirullah, kenapa malah menerka-nerka begini sih. Ampuni aku ya Rabb." ucapnya beristhigfart.
Seusai shalat Diftan langsung berbaring di tempat tidur tanpa menegur Illyana.
Illyana sendiri segera mengambil wudhu untuk shalat Isya '
'Ya Allah, ada apa dengan Mas Diftan, kenapa sikapnya kembali dingin seperti itu. Ya Allah, mudahkanlah segala urusannya berilah ia kesabaran hati selalu, jangan jadikan ia orang yang merugi lagi ya Rabb. ' doa Illyana untuk Diftan seusai shalatny.
**
" D okter melepaskan! Dokter yang sudah menyelesaikan bayi tak berdosa ini dengan izin! Dasar-dasar. Kamu tidak pantas disebut sebagai dokter, tugas dokter itu meolong nyawa seseorang, bukan malah mengubah!"
"Tidaaaaaak !!! Aaaarg .."
"Mas, kenapa? Mas Diftan ,," Illyana tergeragap ketika mendengar Diftan yang berbaring di sebelah berteriak seperti orang-orang yang ketakutan.
Illyana segera mengelus wajah Diftan untuk membangunkannya.
"Isthigfar Mas," ucapnya pada Diftan yang sudah dibuka mata dengan peluh membasahi keningnya.
Tanpa mengatakan apa-apa, Diftan langsung memeluk Illyana dengan eratnya, seolah sedang berlindung dari suatu ancaman.
"Mas, mimpi buruk," Illyana membalas pelukan Diftan tak kalah eratnya, menjawab jika ia ada untuk Diftan.
"Aku menang, aku menang." rancau Diftan di antara isakan yang terdengar.
Hati Illyana bergetar mendegar menyetujui Diftan, ia masih belum mengerti apa yang sedang dilakukan dengan memuji itu. Tapi berteriak lebih tersayat saat mendengar isakan Diftan di pelukannya. Seorang Diftan Aliandra yang terkenal dingin dan cuek sekarang seperti anak kecil yang menangis di pelukan.
"Isthigfar Mas, ada apa sebenarnya? Apa Mas tidak mau berbagi beban hati denganku." ucap Illyana menenangkan.
Diftan melepaskan pelukannya kemudian menangkup wajah Illyana dengan kedua diaktifkan.
"Apa kalau aku jujur dan ceritakan semua padamu, kamu masih mau menerima dan memaafkanku?" ucapnya menatap dalam mata Illyana.
"Insya Allah aku akan selalu ada di samping kamu pun yang terjadi Mas," ucap Illyana meyakinkan Diftan.
"Sungguh .." Diftan mulai menceritakan apa yang dirasakannya saat ini pada Illyana.
Flasback
Rumah sakit daerah tempat Diftan magang dan menjalankan koasnya saat itu terlihat sedang ramai. Para pasien sedang bingung karena para medis sedang melakukan demo besar-besaran. Banyak pasien yang terlantar.
"Dokter, tolong istri saya mau melahirkan." seorang lelaki dengan perempuan di sampingnya yang terlihat memegang kesakitan, meminta tolong agar diundang.
Diftan yang melihat pemandangan itu memiliki kepemilikan dan menghampiri mereka.
"Kenapa Pak?"
"Tolong istri saya mau diterima Dok," ucap lelaki itu.
"Suster, cepat bantu bapak ini ke ruang persalinan!" seru Diftan pada salah satu suster.
"Dokter tolong istri dan anak saya Dok, apa pun yang akan saya lakukan asal mereka selamat." ucap lelaku itu memohon pada Diftan.
"Tapi maaf Pak, ini bukan wewenang saya, saya hanya dokter magang di sini," ucap Diftan bimbang. Di satu sisi ia ingin sekali menolong pasien itu, tetapi disisi lain itu bukan wewenangnya.
Sementara hampir semua dokter dan bidan saat itu mengikuti demo aksi mogok, jika tidak bisa dipindahkan bisa-bisa ibu dan anak dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.
Diftanonton perempuan yang terlihat sudah sangat kesakitan sekali itu.
"Maaf Pak, istri bapak harus melalui oprasi caesar, karena sangat tidak boleh harus normal, ait ketuban sudah habis dan ada pendarahan."
"Tolong Dok, nanti apa pun harus salah satu dari mereka yamg selamat aku akan terima dengan ikhlas, aku tidak akan menyalahkan Dokter." ucap lelaki itu kembali memohon dengan airmata berlinang pada Diftan.
Diftan yang tidak tega akhirnya membantu membantu perempuan itu dengan cara normal. Karena tidak mungkin ia akan melakukan oprasi tanpa prosedur yang belum sepenuhnya ia pahami. Sementara jika persalinan normal, sedikit saja ia sudah paham dengan prosedur itu.
Dengan bantuan salah satu suster Diftan membantu ibu muda itu menerima. Cukup lama, hampir tiga jam, bayi tak jua lahir, hal ini disebabkan cairan ketiban yang sudah habis dulu, hingga bayi agak sulit terdorong keluar.
Akhirnya setelah beberapa jam, bayi lelaki berhasil Diftan keluarkan. Ada rasa lega dihatinya saat itu berhasil membantu sang ibu muda melahirkan bayinya.
Tapi rupanya Diftan, harus menerima kenyataan pahit lainnya saat sang ibu bayi tidak bisa terselamatkan karena kesulitan pendarahan yang cukup parah.
Diftan sangat terpukul bahkan ikut menitikkan airmatanya saat memikirkan fakta bahwa ia menjadi penyebab bayi kecil tak berdosa itu harus ditolak. Diftan sendiri harus kehilangan Mamanya saat ia memutihkan, lalu kenapa sekarang ia harus menjadi penyebab bayi lain harus dipisahkan juga dari semuanya.
"Kau bodoh sekali Li!" ucap Pak Anwar papanya saat itu.
"Maafkan aku Pa, aku pasrah sekarang jika keluarga pasien membawa masalah ini ke jalur hukum. Semua memang salahku, niatku hanya membantunya Pa."
"Membantu! Bodoh sekali, membantu orang dengan mendukung karir dan masa depanmu."
Diftan hanya menunduk tak berani memandang Papany saat itu. Ini memang salahnya, jadi wajar jika ia disudutkan seperti ini.
"Papa akan mengurusmu kembali ke Belanda! Kau akan melanjutkan S2 mu di sana."
"Tapi bagiamana dengan keluarga pasien yang tidak terima."
"Papa sudah urus semua. Mereka mau tutup mulut, lagipula ini tidak sepenuhnya salahmu."
Pikiran Diftan benar-benar kacau saat itu. Tak lama-lama gencar mencari-cari informasi tentang Dokter Ali.
Media menulis Akibat kecerobohan dokter magang berinisial Seorang pasien harus meregang nyawa.
Tidak sedikit yang mempermasalahkan kasus Diftan sebagai malapraktik, padahal yang sebenarnya tidak begitu.
Seminggu sebelum melanjutkan Diftan ke Belanda, keluarga pasien itu mendatangi Diftan dan Papanya mengatakan jika sekarang ayah dari si bayi depresi dan membawa diri. Bayi kecil tidak berdosa sekarang, tidak ada kehangatan ayah dan membiarkan yang memeluknya.
Sementara sanak keluargany tak sanggup harus mengasuh bayi kecil itu, dan memilih akan menyerahkannya ke panti asuhan.
Hati Diftan trenyuh mendengarkan itu semua, untuk itu ia memutuskan untuk mengangkat anak, bayi kecil itu. Dengan merawat dan menyayanginya mungkin sedikit mengurangi rasa bersalah yang menggelayut di hati Diftan.
Zidan Putra Aliandra, begitu Diftan memberi nama bayi kecil itu.
Hingga lima tahun berlalu Zidan tumbuh menjadi anak yang pintar dan penurut. Zidan seakan menjadi penyemangat Diftan selama ini. Lima tahun yang lalu membantah kebenaran ini dari percobaan, hanya Papanya, Angga sepupunya dan Cindy yang pernah dekat yang mengetahui masa lalu Diftan dan Zidan itu.
*Matikan flasback*
Illyana menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Jadi Zidan itu ternyata adalah anak dari pasien Diftan yang meninggal.
"Aku melepaskan Illyana, aku sudah pulih Zidan dari ibu kandungnya." ucapnya lagi masih terus lupa sendiri sendiri.
Illyana juga tidak wajib untuk ikut berpartisipasi. Ia merengkuh tubuh Diftan dan memeluknya dengan erat. Tidak pernah terlintas di pikiran Illyana jika selama ini Diftan menyimpan beban mengingat seseorang.
"Mas, jangan bicara seperti itu, semuanya sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, jodoh rejeki dan maut itu rahasia sang Khalik, kita tidak bisa menyesali apa yang sudah terjadi." ucapnya mengusap rambut lembut Diftan yang kini menangis di peluknya.
"Tapi semua salahku Yaank, seandainya waktu itu aku tidak gegabah, pasti sekarang--"
"Isthigfar Mas, jangan menggugat apa yang sudah terjadi, bisa saja seandainya Mas itu tidak bisa menolongnya segera bisa-bisa bukan cuma bisa yang selamat, bayinya juga bisa ikut tak terselamatkan." ucap Illyana dengan lembut, mencoba menenangkan Diftan.
Pantas saja Diftan terlihat cemas dan kecewa saat tadi melihat makalah tugas Illyana yang membahas tentang malapraktik. Rupanya rekreasi itu menyimpan trauma itu sendiri akan itu.
"Apa yang kamu masih perlu di sisiku saat aku sudah menceritakan semuanya padamu, apa kamu tidak marah karena suamimu ini ternyata tak perlu yang kamu kira."
Illyana menggelengkan tanda tak setuju dengan apa yang Diftan ucapkan.
"Tidak Mas, buat aku kamu tetaplah Suami dan Ayah terbaik yang pernah ada, tapi Zidan bukan anak kandung, tapi aku bisa melihat seberapa besar cinta dan terima kasih sayang kamu yang mendukung untuknya. Aku salut sama kamu Mas, kamu masih dapat membantu dan membesarkan Zidan layaknya anak sendiri. "
Diftan mengeratkan pelukannya pada Illyana. Terima kasih sekali, seakan beban berat yang selama ini dipikulnya terhempas begitu saja.
"Terimakasi karena sudah mau menerimaku, aku mencintaimu Illyana, aku mencintaimu istriku." ucapnya pada Illyana.
Airmata Illyana kembali merebak mendengar kata cinta yang di ucapkan langsung oleh Diftan dihadapannya.
"Aku juga mencintaimu Mas, Demi Allah, aku berjanji akan selalu ada disamping kamu, tidak peduli melawan orang jahat tentangmu, kamu tetap yang terbaik untukku." balas Illyana mengecup kening Diftan, sebelum akhirnya sama-sama saling mendekap erat, seolah tidak ingin ada jarak walau hanya sesenti saja.
Saat kebenaran yang benar terungkap, baik atau buruk kebenaran itu, cinta yang tulus dan ikhlas pasti akan tetap diterima dan sama-sama memperbaiki yang buruk menjadi lebih baik.
#####