7. Melenceng Jauh

1626 Kata
Irawan sudah sering tertinggal dalam acara-acara keluarga seperti ini. Tahu sendirilah bagaimana gila kerjanya pria tampan itu. Tapi ini Amar loh, adik sepupu yang paling dekat dengannya sejak di bangku sekolah dasar. Usia Amar Dwirangga hanya berjarak satu tahun di bawah Irawan, mungkin karena itulah pemuda itu selalu bisa menjadi lawan bicara yang sepadan dengan putra kedua trah Dwisastro itu. Meski sudah bertahun-tahun terpisah jarak karena keluarga besar Amar memilih pindah ke Sumatera Barat, lantaran pekerjaan almarhum ayah Amar yang tak bisa ditinggalkan di sana. Namun, dua pria itu tetap menjalin komunikasi yang sangat intens. Tak jarang Amar mengunjungi Irawan tiap bertandang ke Jambi atau Surabaya. Pun demikian dengan Irawan, yang selalu berkunjung bahkan menginap berhari-hari di rumah Amar ketika ia ada pekerjaan di Padang. Tapi hari ini, kenapa Irawan tak mendengar sama sekali perihal pindahnya sang sepupu ini. "Nanti jangan ajak Amar ngobrol yang berat-berat dulu. Lagi sakit kata tantemu. Sakno (*kasihan), mungkin banyak pikiran plus capek badan juga." pesan Hanami begitu keluar dari mobil sang putra. "Amar sakit?" ulang Irawan. Hanami mengangguk sekali. "Iya, semalam demam. Wes ayo masuk dulu, acaranya udah mau dimulai." Mengekor di belakang sang ibu, Irawan ikut masuk ke kediaman Yema lewat pintu samping yang langsung terhubung ke ruang tengah. Karena acara pengajian didominasi oleh kaum ibu-ibu sepantaran dengan ibunya juga sang tante. Irawan memutuskan menunggu di lantai dua, menuju salah satu kamar yang ditunjuk sang mama adalah kamar milik Amar, sepupunya. "Mar," lirih Irawan saat memutar kenop pintu dan mendorongnya pelan. Hanami bilang sepupunya ini sedang tak enak badan, tentu saja Irawan harus merendahkan suaranya. Hening. Lengang. Tak ada suara Amar yang membalas panggilan Irawan. Begitu melangkah perlahan mendekati tempat tidur berukuran besar di tengah kamar, barulah Irawan sadar kalau sang sepupu memang tak bisa menjawab panggilannya. Bukan karena apa, tapi lantaran pria bernama Amar Dwirangga itu sedang tertidur pulas. Tak ingin menganggu kedamaian Amar di alam mimpi, Irawan memilih duduk sedikit jauh di sebelah jendela besar yang terhubung dengan balkon. Menatap ke kanan dan kiri guna mengamati kamar Amar yang masih sangat berantakan. Beberapa koper belum dibuka, begitu juga dengan tumpukan kardus berukuran besar di belakang pintu. Namun satu hal yang menarik perhatian Irawan hingga membuat pria bermata sipit itu termangu untuk beberapa detik. Foto pra pernikahan Amar dengan pujaan hatinya. Di mana Amar yang kini nampak pucat terlihat begitu bahagia tanpa beban, tatapan matanya yang penuh cinta, menatap lurus pada seorang gadis yang hingga kini pasti masih menghuni relung terdalam di hati seorang Amar. Suara getar ponsel di saku celana Irawan, membuatnya tersadar dan segera mengambil benda pipih itu, lantas melangkah cepat ke arah pintu. Setelah berada di luar kamar, Irawan baru mengangkat telpon yang ternyata dari sekretarisnya. “Iya, Ndi.” “Pak Bos, saking semangatnya nganter Ibu ke salon sampe kelewatan satu lembar buat ditandangani.” jawab Andi tanpa basa-basi. “Berkas yang mana? Nggak ah,” kilah Irawan sambil mengingat-ngingat lagi. “Ada satu halaman yang kelewatan Bos, yang ada di map kuning. Berkas kerja sama dari PT. Lestari Adhiguna.” balas Andi penuh keyakinan. “Ya, itu udah jadi urusan elo lah. Gue lagi sibuk.” seru Irawan sambil melangkah menuruni anak tangga. Ruang makan menjadi tujuannya saat ini, meski sedang ada beberapa saudara yang berkumpul, tak mengurungkan niatnya untuk mencicipi masakan sang tante yang terkenal sangat lezat. “Sibuk luluran? maskeran? atau ngecengin pegawai salon?” cerocos Andi masih belum mengerti bahwa atasannya batal mengantarkan sang mama ke Dimaya Salon. “Asgata. Ngaco!! Gue di rumah tante Yema, di Citraland.” “Nggak jadi nyalon Bos?” Andi belum ingin berhenti menggoda atasannya. “Buruan ke sini, atau elo yang bertanggung jawab penuh jika kerja sama Galeea dan Lestari Adhiguna terancam batal. Karena berkas itu harus segera diterima pihak PT. Lestari besok pagi sekali.” pungkas Irawan tegas. “Eeh, ngambek. Oke Bos, siap laksanakan. Eh tapi alamat rumah tantenya Bos di mana?” “Cari tau sendiri lah, bukan urusan gue. Katanya elo ekspert kan kalo dalam hal mencari informasi.” tantang Irawan secara mendadat mendapatkan ide untuk balik mengerjai sekretarisnya.” “Tapi kan Citraland itu luas Bos.” keluh Andi terdengar kelabakan. “I don’t care, itu masalah lo ya, salah sendiri ngeledek gue terus. Bye, gue mau makan.” putus Irawan lantas mematikan panggilan dari Andi. Tak peduli dengan rengekan pria itu jika nantinya akan tersesat saat mencari dirinya di rumah sang tante. “Duuuh ponakan yang satu ini ya, kapan sih nggak sibuknya. Kerjaan mulu yang dipikirin.” suara Yema saat menepuk punggung Irawan. Irawan yang sedang menyendok salad buah sontak menoleh dan tersenyum lebar hingga sepasang matanya menyipit, ke arah adik sepupu ayahnya itu. “Ehh, Tante.” Irawan mengangguk sungkan, karena sejak masuk rumah ini ia belum bertemu dengan Yema lantaran perempuan paruh baya berkerudung putih gading itu sedang sibuk menjamu tamu pengajian. Setelah meletakkan piringnya lagi, Irawan mendekati Yema untuk mengecup punggung tangan perempuan itu kemudian memberi pelukan hangat. “Sehat kamu, Nak?” tanya Yema sambil menepuk punggung keponakannya. “Alhamdulillah sehat, Tante. Tadi pas aku datang, tante lagi sibuk sama tamu, jadi aku langsung ke atas nyari Amar, eeh ternyata masih molor. Nggak tega banguninnya.” Yema tersenyum samar, lantas mengurai pelukan dari Irawan. “Iya, semalam sempat demam si Amar. Jadi seharian ini sengaja tante kurung di kamar, biar banyak istirahat.” “Kerjaanmu nggak apa-apa ditinggak gini? barusan kok kayaknya udah dicariin sama orang kantor aja nih si Pak Bos.” sindir Yema saat mengulurkan piring berisi salad lagi untuk Irawan. “Nggak masalah kok Tante, di kantor udah ada yang handle.” jawab Irawan tersenyum ramah. “Heleeh, paling juga si Andi yang kamu suruh turun tangan.” Tiba-tiba saja Hanami sudah ikut bergabung bersama Yema juga beberapa kerabat yang lain. Pengajian di depan ternyata sudah selesai. Pantas aja beberapa saudara mulai ikut berkumpul di ruang makan. “Apalagi kalau kamu mendadak pulang gini, Mas.” sambung Hanami lagi. “Pulang mendadak buat ke sini?” Yema menyela lagi. “Awalnya sih, pulang karena bersemangat banget mau nganterin ke salon. Salon yang minggu lalu itu loh, Dimaya.” Hanami menepuk punggung tangan Yema saat keduanya sudah duduk saling bersebelahan di kursi meja makan panjang. Irawan yang masih berdiri, sambil memegangi sepiring salad buahnya, mulai panas dingin karena perasaannya berkata, sang Mama akan memulai aksinya untuk membicarakan tentangnya. “Oalah salon baru yang di Rungkut itu?” tegas Yema. “Iya, yang itu. Yang pemiliknya cuantik’e poll (*banget), imut kayak artis Son Ye Jin itu loh. Padahal ya … tadi pagi aku sudah ke salon duluan buat creambath.” kekeh Hanami melirik sekilas pada sang putra yang sudah mencebikkan bibir. “Sepertinya ada pegawai salon yang mulai menarik perhatian anak jomlo kesayanganku ini, makanya dia sampe semangat banget jemput ke rumah.” Kaan, kann!!! Benar dugaan Irawan sebelumnya. “Mama..!!” Irawan menggeram sambil menggelengkan kepala. “Tuuh kan bener, biasanya kalau Mas Awan udah salah tingkah sampe mendelik-mendelik gitu, firasatku bener, Yem.” sambung Hanami masih kekeuh meyakinkan sekutunya itu. Terkekeh samar, Yema lantas menepuk kursi kosong di sebelah kirinya. Bermaksud membersilakan sang keponakan untuk duduk di sampingnya. “Sini Nak, duduk dulu, duduk dulu.” seru Yema melambaikan tangan pada Irawan yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Irawan menurut saja pada tante kesayangannya ini. Tak seperti sang Mama yang sering meledak-ledak saat meledeknya habis-habisan. Sang tante lebih sabar dalam menghadapi Irawan, keponakan yang sudah seperti putranya sendiri. “Beneran gitu?” tanya Yema pelan, sembari mengusap pundak Irawan. Mengambil napas panjang, pria itu melirik sinis pada Hanami yang masih betah mengerlingkan mata demi menggoda Irawan dari tempat duduknya. “Nggak gitu, Tante. Tertarik sekelebatan aja nggak salah kan? Toh aku pria normal,” bela Irawan menjawab pertanyaan Yema. “Tuuh kan kalo sama tantenya aja mau langsung ngaku, kalo sama Mama jurus berkelitnya banyak banget.” gunting Hanami di sela-sela kegiatannya menyuap urap sayur. Makanan khas Jawa Timur yang menjadi favorit perempuan berdarah Jepang itu. “Aku nggak berkelit Ma,” kilah Irawan lagi. “Lha Mama, modelnya yang maksa banget.” decak Irawan. “Sudah, sudah … ibu sama anak kok yo hobby banget berdebat.” suara Yema kembali melerai Irawan dan Hanami. “Terus, siapa pegawai Dimaya salon yang bikin kamu tertarik itu? Bilang sama Tante. Tante bisa main halus kok, nggak kayak Mamamu yang grusa-grusu.” “Rahasia!” tegas Irawan tanpa menoleh pada Yema ataupun Hanami. Pria jangkung itu justru dengan santai menggulung kemejanya hingga siku, lalu kembali melahap salad buahnya dengan lahap. “Kalau nggak mau bilang, biar Tante tebak sendiri kalau gitu,” Yema menyilangkan satu tangan di depan d**a, lantas tangan yang lain mengetuk-ngetuk dagunya seolah sedang mencoba mengingat sesuatu. “Pegawai salon yang waktu itu ada di bagian depan kan cuma beberapa ya, Mbak?” gumam Yema menoleh pada Hanami. “Kira-kira siapa ya?” Irawan menajamkan telinga, karena kedua ibu-ibu paruh baya itu malah semakin asik saling berbisik membicarakan Irawan. “Masa mbak-mbak yang capster itu ya?” suara Yema terdengar lirih. “Bukan iih, seleranya Mas Awan nggak gitu.” balas Hanami. “Kalau mbak-mbak terapis yang pake kerudung itu?” “Bukan juga deh, itu udah bersuami.” “Ehh Mbak, jangan-jangan yang ….” tiba-tiba Yema berbinar seolah menemukan satu jawaban untuk mereka berdua. “Erica!” seru Yema dan Hanami hampir bersamaan. “Iya bener, mbak-mbak di resepsionis yang manis itu kan?” imbuh Hanami lalu menoleh ke arah sang putra sambil menaikturunkan kedua alisnya. Irawan yang sedang mengunyah suapan terakhirnya, sontak terbatuk-batuk hingga tersedak hebat sampai menepuk dadanya sendiri. Tak menyangka bahwa tebakan sang mama juga tantenya ini melenceng sangat jauh. Padahal yang ada di kepalanya hanya Fawnia seorang, bukan nama Erica yang bahkan baru pertama ini ia dengar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN