Hari Kamis keesokan harinya, Irawan sengaja mempercepat semua pekerjaan di kantor. Mulai pagi hingga siang menjelang, bos besar itu hanya berkutat di depan layar laptop di ruangannya. Bahkan ajakan makan siang di luar dari sang sekretaris juga sengaja Irawan tolak mentah-mentah. Pria itu hanya meminta untuk dibawakan makan siang saja pada sekretarisnya tersebut. Hanya satu alasan klise yang dikemukakan Irawan pada Andi saat itu, sibuk.
Padahal sebelumnya, makan siang seorang diri di kantor biasanya sangat Irawan hindari. Minimal ia akan makan berdua dengan sekretarisnya sambil membahas hal-hal ringan di luar kantor. Tapi khusus hari ini, berbeda. Irawan hanya ingin pekerjaannya cepat selesai. Itu saja. Karena setelah ia melihat jadwal di tablet Andi kemarin sore, ia yakin sore ini sang mama akan mengusiknya lagi untuk diantar ke sana kemari, termasuk ke … Dimaya Salon and Spa. Dan jika saat itu datang, Irawan sudah siap sedia, tanpa ada beban pikiran karena pekerjaan yang belum rampung. Menyenangkan bukan?
Irawan : Buruan bro, perut gue laper.
Irawan mengetikkan satu baris pesan pada sekretarisnya begitu pria bernama Andi Pamungkas itu belum menampakkan batang hidungnya setelah tiga puluh menit berlalu sejak jam istirahat siang.
Andi : Elaaah, tadi diajak makan di luar nggak mau, sekarang laper kan Pak Bos.
Irawan : Buruan balik, atau bonus mingguan lo hangus.
Ancam Irawan pada ketikan terakhirnya. Benar saja, hanya berselang sekitar lima belas menit, Andy sudah muncul di ruangan Irawan dengan satu paperbag berlogo salah satu rumah makan Padang di dekat kantornya.
“Monggo, Pak Bos. Nasi Padang sesuai pesanan njenengan sudah siap disantap.” seru Andi pada sang atasan.
“Oke, thank you. Setengah jam lagi, lo balik ke sini buat tugas selanjutnya ya. Jam dua pas gua mau cabut dari kantor.” titah Irawan setelah mengalihkan pandangan dari layar komputer ke arah seporsi nasi Padang kesukaannya.
“Gitu aja? setelah capek lari-larian demi nasi Padang pesenan Pak Bos, sekarang saya di usir gitu aja?” sahut Andi dengan kening berkerut.
“Emang apa lagi? minta tip?” Irawan balik bertanya.
“Info yang kemaren sore nggak jadi itu, Bos. Ayolah bagi dikit, siapa orang yang Pak Bos pengen cari tahu kehidupannya? Pegawai salon itu tuh, siapa … siapa?” kejarnya makin penasaran.
Andi menaikturunkan alisnya bersamaan sambil tersenyum manis mencoba merayu sang bos agar bersedia melanjutkan cerita tentang seorang gadis yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Pasalnya, kemarin sore Irawan justru membatalkan niat untuk memberi tugas khusus pada sekretarisnya itu untuk mengorek informasi tentang seseorang. Irawan yang terlanjur kesal dengan kecerewetan Andi, langsung meninggalkan orang kepercayaannya begitu saja.
“Males.” jawab Irawan singkat.
“Yah, Bos. Beneran nih nggak butuh bantuan sekretaris serba bisa ini untuk cari tau?”
“Nggak jadi, nanti aja kalau udah urgent banget. Baru gue kasih tugas elo lagi. Sekarang jangan dulu, gue bisa sendiri.” sambung Irawan lantas mulai sibuk melahap nasi Padang lengkap dengan sayuran, rendang daging, dendeng batokok juga gulai otaknya.
“Yakin nih Pak Bos?”
“Yakin Andi, mending sekarang elo balik ke meja lo, cek email dari gue lalu teruskan ke masing-masing kepala divisi. Pastikan juga email sekretaris Pak Yusuf buat jadwal pertemuan minggu depan di Bali.” titah Irawan sembari mengendikkan dagu ke arah pintu. Mengusir halus sekretaris yang pantang menyerah sebelum rasa penasarannya benar-benar terjawab.
“Tap—”
“Gue mau makan siang dulu, saudara Andi.” Irawan mendelik. Aksi yang akhirnya berhasil membuat Andi mengangguk patuh. Setelah mendesah pelan, Andi memundurkan kursinya lantas bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan si Bos besar. Status aman bonus mingguannya lebih penting dari apapun, jadi dia hanya bisa patuh pada putra kedua Pak Adiyatma itu.
Tepat pukul dua siang, Irawan sudah rampung dengan semua kegiatannya di kantor. Begitu ia keluar dari ruangan kerjanya yang luas, pria tampan itu mendekati meja kerja Andi dan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya untuk mendapatkan atensi sekretarisnya.
“Gue pulang, Ndi.” Irawan membuka suara.
Andi mendadak tergeragap begitu menyadari atasannya sudah berdiri di depan meja kerjanya. “Eeh, Bos.” mata pemuda itu melirik cepat ke arah jam digital yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Masih jam segini, Bos.”
“Mama gue telpon nggak diangkat, jadi ya mending gue aja yang pulang ke rumah, mau ngingetin jadwal ke salon.”
“Eh, kok..” Andi memicingkan mata curiga.
“Gak usah kepo!” pungkas Irawan lantas berjalan tenang meninggalkan meja Andi begitu selesai berpamitan.
Menyusuri jalan utama kota yang tak terlalu macet, Irawan berhasil sampai rumah megah kedua orang tuanya di daerah Surabaya Barat hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Setelah memarkirkan mobilnya secara asal, Irawan bersiul ringan saat berjalan masuk melewati pilar pilar besar di depan pintu utama.
“Assalamu’alaikum.” seru Irawan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
“Wa’alaikumsalam. Ehh, Wan … tumben jam segini nongol di rumah? Mampir sehabis meeting di luar?” sang ayah yang sedang memberi makan ikan di aquarium besarnya langsung menoleh ketika mendengar suara putra keduanya.
“Nggak ada jadwal meeting Pa, lagi longgar aja. Sibuk lagi minggu depan mau ketemu investor di Bali.” jawab Irawan seraya berjalan mendekat dan mengecup punggung tangan Adiyatma Dwisastro. “Sehat Pa?”
“Alhamdulillah, ya gini ini. Asal nggak sampe terlalu capek atau telat obat ya sehat segar bugar gini, Wan. Kalo telat control atau obatnya kelupaan ya bisa ndredeg kayak yang dulu itu.” jawab Adiyatma santai.
“Ya jangan sampe kelupaan obat kalo gitu Pa. Dijaga kesehatannya.”
“Nggak pernah kelupaan, Wan. Kamu kayak lupa aja gimana mamamu itu kalau lagi bawel masalah jam makan, obat, vitamin, check up rutin. Udah kayak punya alarm hidup sendiri.” kekeh sang ayah lantas duduk di sofa panjang berwarna keemasan di ruang tengah.
“Aah iya, Pa. Mama mana? Bukannya hari ini jadwalnya ke salon? biasanya dari siang udah ribut banget gangguin Andi kalau telponku lagi mode silent.”
Mengerutkan kening sekilas, Adiyatma mengarahkan jari telunjuknya ke arah atas, memberi isyarat kalau sang istri ada di lantai dua rumahnya.. “Salon apa? Mama lagi siap-siap di atas. Lha wong Papa tau sendiri kalau mamamu ngajuin jadwal ke salonnya jadi tadi pagi. Soalnya mau ke rumah tante Yema, ada acara pengajian sore ini.”
“Tante Yema?” Irawan menegaskan lagi.
“Iya, Amar udah dateng dari Padang. Akhirnya mau diajak pindah ke Surabaya sini.” sahut Adiyatma penuh yakin. “Tuuh, tanya sendiri sama Mama.” imbuh pria paruh baya itu sembari menunjuk ke arah tangga melingkar dengan dagunya.
Tak jauh dari tempat keduanya duduk santai, Hanami yang sudah tampil anggun dan elegant menuruni anak tangga satu persatu. Tersenyum sumringah begitu tahu putra keduanya berkunjung ke rumah, perempuan asal Jepang itu mempercepat langkah kakinya.
“Pasti ngomongin Mama nih, pada liat ke sini semua?” seru Hanami sambil meringis lebar.
“Di cari anak jomlomu nih Ma, katanya mau dianter ke salon.” kekeh Adiyatma melirik ke arah Irawan yang memasang raut wajah tak terbaca.
“Salon?” ulang Hanami, sang Mama, begitu beliau sampai di anak tangga terakhir.
Irawan mengangguk tegas. “Sore ini bukannya jadwal Mama ke … Dimaya salon yang biasanya itu?” tanya Irawan sedikit ragu.
“Harusnya sih sore, tapi khusus hari ini, Mama ganti pagi, soalnya tantemu ngadain acara pengajian di rumahnya yang di Darmo. Amar kan kemarin datang, makanya tantemu itu langsung dadakan ngadain syukuran.”
Amar adalah putra tunggal Yema, yang tak lain adalah adik sepupunya juga dari pihak sang ayah. Entah karena terlalu sibuk bekerja atau apa, sampai-sampai Irawan melewatkan berita kepindahan saudara sepupunya ini. Karena yang ia tau, Amar sendiri adalah pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang digital yang sudah sangat dikenal di kota Padang dan Palembang.
“Yaah, kok nggak ngabarin kalau ke salonnya tadi pagi. Tau gitu tadi pagi aku anterin kan?” gerutu Irawan memanyunkan bibir.
“Apa? gimana-gimana? Mama nggak salah denger kan kalau kamu malah nawarin diri nganter Mama, Mas?” Hanami menepuk keras paha Irawan sampai putranya itu mengaduh kesakitan.
“Auuww, Mama.” Irawan langsung menangkap telapak tangan Hanami dan membawa ke keningnya. “Sakit.” sambungnya sambil mengusap pelan bekas pukulan tangan sang ibu.
“Habisnya kamu kalo ngomong mendadak aneh, Mas. Mama takutnya kamu kesambet aja pas di perjalanan tadi.” balas Hanami tanpa rasa bersalah.
“Ya nggak lah, Ma. Anakmu ini sholeh, nggak ada jin yang berani ganggu aku.” bela Irawan percaya diri.
Melirik putranya dengan tatapan curiga, Hanami kembali berkata. “Lha terus kok *dungaren (*tumben), kamu malah menawarkan diri buat nganter-nganter Mama ke salon segala. Biasanya ada aja alasan ini itu segambreng buat nolak Mama.”
“Ckk, mana ada sih. Mamaku yang cakepnya udah kayak puteri Indonesia gini, siapa yang berani nolak perintahnya?” Irawan bermulut manis lantas merangkul pundak Hanami erat.
“Heleeh gombal!! Ya cuma kamu, Mas, yang berani nolak-nolak Mama.” cerca Hanami sambil menekan puncak hidung sang putra.
Tergelak kencang, Irawan kembali menahan tangan jahil sang ibu yang sering berbuat sesuka hatinya ini. “Nggak akan Ma. Mulai sekarang aku nggak akan nolak-nolak permintaan Mama lagi. Mau minta aku antar ke Saturnus juga hayuk aja, yang kemaren itu anggap aja aku lagi khilaf ya.”
Memutar posisi duduknya hingga saling berhadapan dengan Irawan, Hanami mengangkat tangan lantas meletakkan telapak tangan kanannya tepat di atas kening sang putra. Memastikan bahwa putranya baik-baik saja, tidak sedang melantur akibat demam atau sakit kepala.
“Bentar deh, bentar. Kamu nggak lagi sakit kan, Mas?” tanya Hanami khawatir.
Irawan memberi gelengan cepat sebagai jawaban. “Aku sehat, Ma.”
“Nggak lagi pusing?” tebak Hanami lagi?
Irawan menggeleng lagi.
“Migrain gitu?”
Lagi-lagi Irawan menggeleng.
“Atau habis kejedot pintu kantor gitu?” pertanyaan aneh dari sang mama justru membuat Irawan terkikik hingga menunduk dalam.
“Astaga Mama, nggak ada yang kayak gitu. I’m fine.” tegas Irawan menggenggam erat tangan sang Mama.
“Tapi kok … kayak aneh aja gitu, kalau sampai mendadak kamu pengen nganterin Mama nyalon segala.” Hanami masih memasang wajah curiga.
“Hemmm, ya kali aja Irawan butuh refreshing Ma, kerjaan di Galeea itu kan banyak banget, menguras pikiran sekali, pokoknya nggak ada habisnya. Kamu tau sendiri perihal itu.” Adiyatma yang tadinya diam, kini ikut mengungkapkan pendapatnya.
“Tuuh, Papa aja tau, Ma. Bosen di kantor liatin berkas terus.” sahut Irawan sedikit lega karena kalimat sang ayah.
“Atau mungkin … di salon langganannya Mama yang baru itu, Irawan lagi ngincer cewek bening yang bikin dia mendadak berubah gini ya Ma?” sambung Adiyatma santai bahkan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
Bertepuk tangan sekali, Hanami langsung membolakan mata seolah teringat sesuatu. “Astagaaaa, kenapa Mama baru nyadar ya, Pa. Jangan-jangan kamu semangat mau nganter Mama ke salon karena mau lihat seseorang ya?”
“Eng- enggak kok, bukan gitu.”
“Halah, kalo kamu mendadak gagap dan wajahnya merah gini. Berarti tebakan Mama bener seribu persen, percaya deh, kamu itu mudah ditebak kalo sama Mama. Nggak usah ngelak lagi kamu, Mas.” Hanami menjawil pipi Irawan yang mendadak memerah.
“Wes kah (*sudahlah), nggak usah dibahas, ayo berangkat ke rumah Tante Yema. Aku yang antar.” Mengalihkan pembicaraan, Irawan lantas berdiri sambil menggandeng pergelangan tangan sang mama.
***