8. Bukan Dia

1978 Kata
Dalam dunia bisnis, Irawan lebih dikenal sebagai orang yang fleksibel dibandingkan konstan. Meski menggantikan posisi sang ayah sebagai petinggi Galeea Construction, pria dengan tatapan teduh itu sangat cepat dan mudah bergaul dengan kolega Adiyatma. Termasuk saat ini ketika ia tengah di berada di Denpasar Bali untuk penandatanganan kerja sama dengan salah satu investor kenalan ayahnya. "Nak Irawan masih single ya? " tanya Pak Subagyo, investor dari perusahaan Lestari Adhiguna seusai pertemuan mereka. Irawan tersenyum sumir. Sebenarnya mulai merasa tak nyaman jika ada rekan kerja yang mengorek kehidupan pribadinya. "Karena saya belum pernah mendengar lagi Pak Adiyatma menggelar pernikahan putranya, setelah dua tahun silam. Pernikahan Seno, putra sulungnya." lanjut pria paruh baya yang mengenakan kemeja berwarna abu-abu tersebut. "Iya benar, Pak. Papa memang belum mantu lagi setelah pernikahan Mas Seno." jawab Irawan tersenyum santai. "Kalau kamu Nak? Kapan rencana menyusul masmu menikah?" pertanyaan rekan bisnis Irawan semakin kemana-mana. "Belum waktunya Pak," balas Irawan setelah menyesap teh chamomile yang baru saja disuguhkan pramusaji restoran. "Kalau belum ada calon pendamping, saya bisa kenalkan Nak Irawan dengan putri saya. Dia baru lulus S2 dari Inggris, sedang buka butik di Denpasar, bulan lalu juga terpilih menjadi salah satu finalis Puteri Indonesia mewakili Bali." Kaan? Ujung pembicaraan yang paling membuat Irawan jengah akhirnya muncul juga. Nama besar yang ayah kadang memang menjadi magnet tersendiri bagi pengusaha lainnya untuk menjalin kerja sama. Bukan hanya dari jalur yang semestinya. Namun ada juga yang mencoba peruntungan dengan saling menjodohkan putri-putri mereka dengan putra Adiyatma Dwisastro. "Saya sudah ada calon, Pak." Dusta Irawan guna menghentikan niatan Pak Subagyo untuk mengenalkan putrinya. Berbohong demi kebaikan tentu tak ada salahnya kan? Toh kedua orang tuanya juga tak pernah memaksa ketiga putranya untuk mengenal putri dari kolega mereka. Tak ada pernikahan bisnis dalam kamus Adiyatma dan Hanami, salah satu hal yang sangat Irawan syukuri selama ini. Dua tahun silam, Senopati Dwisastro (kakak sulung Irawan) juga menikah dengan sang istri yang atas pilihannya hatinya sendiri. Tak ada campur tangan kedua orang tua mereka. Adiyatma dan Hanami hanya bisa memberi restu dan doa untuk kebahagiaan semua putranya. Menghembuskan napas panjang, Pak Subagyo yang merupakan rekan bisnis juga sahabat dekat ayah Irawan itu hanya mengangguk-angguk pelan sambil memasang wajah sedikit kecewa. Raut wajah yang sangat kentara di sepasang mata Irawan. "Aah, begitu rupanya." jawab beliau lirih. "Pupus berarti ya harapan saya berbesan dengan Adi." sambung Pak Subagyo dengan nada bercanda. "Bapak bisa saja. Kita tetap bisa berbesan untuk perusahaan kita, Pak." pungkas Irawan lantas melanjutkan lagi acara makan siang berbalut bisnis ini. Tak sampai satu jam setelahnya, Irawan kembali ke hotel mewah tempatnya menginap selama tiga hari di Denpasar. Andi yang mengekor di belakang pria itu. "Untung aja deal sama Pak Subagyo hari ini cepet, Ndi." seru Irawan saat melonggarkan dasinya. Kedua pria itu baru saja masuk kamar hotel. “Jengah gue.” "Kenapa? Ada kesepakatan yang kurang sreg di antara kalian?" Irawan menggeleng mantap. "Bukan soal kesepakatannya." "Lalu?" Andi yang sedang merapikan berkas d ke dalam map-map besar menatap lurus ke arah atasannya. "Masa beliau mau nyodorin putrinya buat dikenalin ke gue coba." jawab Irawan lantas melesakkan bokongnya ke sofa tunggal di tengah ruangan. "Buat?" "Ya gitu deh, ngarep jadi besan papa katanya. Kan basi banget. Lagu lama." decak Irawan sebal. "Kali aja cuma pengen dikenalin, Bos. Positif thinking aja bisa kan?" Menggeleng sambil tersenyum miring, Irawan menuang infuse water yang baru ia ambil dari kulkas kecil di sampingnya. "Udah kebaca gelagatnya lah, Ndi. Lo kayak nggak tau aja." "Ya apa salahnya sih, lo juga jomblo, Bos. Siapa tau cocok, terus bisa lanjut sampe nganu nana nina." Andi menggerakkan kedua telapak tangannya membentuk gerakan tak senonoh. "Otak lo anjirr," Irawan melempar tutup botol yabg dipegangnya hingga tepat mengenai pelipis sang sekretaris. "Eeh, iya ding. Elo kan udah punya cemceman pegawai di salon favorit Bu Sastro itu ya." ujar Andi lantas tergelak kencang. Irawan hanya melirik sekilas. Dan karena itu adalah Andi, sahabat dekat yang merangkap sekretarisnya sendiri, maka Irawan tak mempermasalahkan jika Andi menertawakan dirinya. Sudah sangat biasa. Apalagi saat keduanya sedang berbincang di luar jam kerja seperti ini. "By the way, Ndi. Acara di Uluwatu besok, bisa gue skip aja nggak sih? Gue mau balik ke Surabaya aja." Irawan yang duduk bersandar di sofa sambil meluruskan kaki di atas meja, menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel. Memeriksa jadwalnya untuk keesokan hari. Masih ada satu acara pembukaan hotel milik keluarganya di sekitar Ungasan Uluwatu. Karena sang ayah tak memungkinkan untuk hadir, maka Irawan lah yang wajib menggantikan beliau. "Woii jangan ngadi-ngadi lo, Bos. Besok acara penting, undangan sudah disebar ke banyak pengusaha juga pejabat Bali. Kalo elo sebagai wakil Pak Adiyatma gak dateng, bisa ancur reputasi perusahaan. Gak mau kan lo!" ancam Andi memang ada benarnya. "Ckkk, acara gunting pita doang, Ndi. Lo juga bisa gantiin gue buat gunting tuh pita." decak Irawan lantas menyugar rambut tebalnya. "Lo kira pita k****t bisa asal gue gunting, jangan ngaco ah. Lagian ngapain sih keburu banget balik ke Surabaya? Elo nggak ada jadwal kerjaan lain kok selain di Bali." "Bukan jadwal kerjaan, tapi besok jadwal mama ke salon." "Aseem!! Orang telat puber ya gini nih, bucin udah nggak pada tempatnya. Kerjaan sampe disepelekan macem ini." "Gue nggak sepelekan ya?" Irawan mengangkat jari telunjuknya. "Gue cuma berandai-andai, andai bisa gue skip." tegas Irawan lagi. "No way! Alias nggak bisa. Dari pada lo skap skip skip skip, mending lo bilang ke gue, siapa nama cewek di salon itu. Dan hanya dengan jentikan jari ...." Dengan percaya diri Andi menjentikkan dua jarinya ke depan sang atasan. " Gue bisa bawa cewek itu ke Uluwatu besok, langsung ke dalam kamar Bos kalau perlu. Plus langsung pakai lingerie siap di nganu, itu pun kalau lo mau." "Anjirr otak lo belum sembuh juga!" Irawan bangkit dari tempatnya duduk lantas melemparkan bantal besar ke arah Andi yang memasang wajah konyol. Meninggalkan Andi, lebih baik Irawan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Dari pada harus membayangkan ide sekretarisnya itu membawa Fawnia ke Uluwatu. Atau bahkan ke ... kamarnya hanya dengan memakai … lingerie? "Andi sialan!!" gerutu Irawan dari bawah kucuran shower. *** Irawan kira hanya minggu lalu ia melewatkan jadwal perawatan sang mama ke Dimaya salon. Okey make it clear, sebenarnya bukan jadwal nyalon sang mama yang enggan ia lewatkan, namun kesempatan untuk bertemu dengan pemilik salon itu lah yang tak mau pria itu sia-siakan begitu saja. Nama Fawnia Afsheen masih kuat terpatri dalam benaknya hingga kini. Sorot mata dan senyuman hangat dari gadis itu benar-benar menjadi candu yang mampu membuat Irawan untuk selalu kabur dari tumpukan pekerjaan atau dari pertemuan-pertemuan dengan kolega bisnisnya. Andai bisa, tentu sudah Irawan lakukan tanpa harus memikirkan bagaimana perusahaan milik ayahnya ini. Namun tanggung jawab yang ia emban tak bisa begitu saja ia tinggalkan demi mengejar gadis yang mendadak menjadi pujaan hatinya. Irawan harus lebih bersabar lagi. Setidaknya minggu depan pria jangkung itu sudah memastikan jadwalnya tak terlalu penuh seperti bulan lalu yang seolah tak mengijinkannya untuk bersantai barang sejenak. Setelah pertemuan di Bali, dilanjutkan lagi dengan pekerjaan di Bandung lalu disambung dengan rapat akhir tahun dengan jajaran direksi Galeea yang dilaksanakan di Singapura, dan sekarang ia sedang berada di Batam untuk memeriksa pekerjaannya sendiri sebagai pemilik Worley Group, perusahaan yang nekat ia dirikan beberapa tahun silam. “Besok aku udah balik ke Surabaya, Ma. Sekalian ambil cuti, capek banget beberapa minggu ini. Mama mau nitip apa?” tanya Irawan saat tersambung dengan panggilan telpon dari Hanami. “Katanya kamu capek? Mama nggak jadi deh mau pesen-pesen oleh-olehnya?” jawab Hanami dari seberang sana. “Buat Mama apa sih yang enggak. Buruan bilang mumpung aku masih ada di Batam loh,” tawar Irawan sekali lagi. “Mau bingka bakar atau otak-otak buatan Nenek? enak banget nih, kebetulan Nenek tadi masak bikin otak-otak banyak banget.” “Beneran nenek buat otak-otak lagi?” “Iya beneran, cucu kesayangannya datang. Udah jaminan pasti ada otak-otak ikan cumi di rumah Nenek.” jawab Irawan jumawa. Dari ketiga putra Dwisastro memang hanya Irawan yang paling sering berkunjung ke rumah orang tua Adiyatma tersebut. Bukan sehari dua hari, namun hampir satu tahun sejak Irawan mendapatkan proyek untuk membangun pusat perbelanjaan di kota tersebut. “Ck, pedenya. Ya udah Mama mau kalau otak-otak buatan nenek, bawain yang banyak ya. Tapi jangan suruh nenekmu bikin lagi, yang udah ada aja kamu bawa ke sini. Kasian kalau nenek repot masak lagi.” pesan Hanami langsung diangguki sang putra. “Yakin itu aja? Bunga Rosella kering gimana?” Irawan melirik ke arah halaman rumah sang kakek, di mana banyak berjajar nampan berukuran besar yang di atasnya dilapisi kasa untuk mengeringkan bunga Rosella yang sudah dirajang kecil. Kakek dan Neneknya memang memilih membudidayakan tanaman herbal ini untuk kesibukan di masa tua, namun keduanya tak menyangka kalau hasil perkebunan tanaman semusim itu kini bisa dijadikan bisnis yang sangat menguntungkan. “Hmm, stok Rosella masih banyak banget di rumah, kan mau dikirimi nenekmu juga dua minggu lalu.” jawab Hanami lagi. “Selama cuti besok aku nginep di rumah aja ya, males ke apartment. Ntar di ganggu Andi masalah kantor.” “Kamu nginep di rumah sendiri pake ijin segala, Mas. Nginep ya langsung nginep aja, daripada kamarmu di sini nganggur terus kan?” “Iya, Mama juga jadi enak kan, bisa manfaatin aku buat jadi supir kemana-mana. Aku siap nganter.” pancing Irawan dengan maksud terselubung. “Nggak perlu, Mas. Kalau kamu mau habiskan waktu cuti buat istirahat, ya istirahat aja. Mama kan bisa sama supir aja kalau ada perlu keluar. Lagian mama juga udah nggak terlalu sibuk kok. Mama udah keluar dari arisan-arisan berbalut gossip para sosialita itu, jadi palingan mama cuma keliling ke yayasan sama ke salon aja. Kuku mama patah, mau dibenerin aja.” Dari suara manjanya, Irawan bisa membayangkan kalau sang mama sedang memperhatikan nasib kukunya kini. “Aku bisa antar, Ma. Sama aku aja ya besok, nggak boleh nolak kalau anaknya mau berbakti.” kilah Irawan lagi. “Berbakti dengan maksud terselubung ya, Mas. Ha.. ha… ha..” gelak tawa Hanami pecah sudah. Sampai membuat Irawan sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. “Iya udah kalau kamu maksa, Mama juga gak bisa nolak. Sampai ketemu besok pagi ya my Hansamu (*ganteng dalam bahasa Jepang).” putus Hanami meski masih terdenger kekehan kecilnya. Dan benar saja, keesokan harinya Irawan sukses meyakinkan sang mama kalau dirinya tak mengalami kelelahan yang berarti setelah perjalanan udaranya dari Batam menuju Surabaya. “Batam – Surabaya mah kecil Ma, nggak akan bikin aku capek.” seru Irawan dari balik kemudi. Di mana ia sedang dalam perjalanan mengantarkan Hanami ke Dimaya salon. “Apalagi tadi begitu nyampe rumah aku langsung molor sampai siang.” “Iya deh percaya, kamu kan ngeplek sama Papa. Kayak nggak ada capeknya kalau kerja.” jawab Hanami saat menoleh sekilas ke arah sang putra. “Demi masa depan, Ma.” sahut Irawan asal. “Masa depan sama siapa? lha wong kalau masalah cewek kamu jiper duluan sekarang, nggak bisa gercep.” ledek Hanami. Irawan tergelak saja dengan komentar tersebut, karena tak sepenuhnya salah. Sejak kegagalan hubungannya dengan Anne beberapa tahun lalu, Irawan seolah menutup rapat hatinya. Sampai sekitar satu bulan lalu, saat ia melihat gadis cantik dengan tampilan sederhana yang bisa menggetarkan lagi sanubarinya. Fawnia, pemilik Dimaya salon and spa yang sosoknya kini terjaring netranya. Saat mobil Irawan terparkir di halaman salon, pria itu melihat Fawnia berjalan berdampingan dengan rekannya, dan baru saja memasuki salon. “Ya, masa depan sama seseorang lah, Ma. Nggak mungkin kan aku sendirian terus.” jawab Irawan tanpa menoleh pada sang Mama, karena matanya masih terpaku pada sosok Fawnia yang baru saja menghilang di balik pintu kaca. “Ckk, matanya melotot terus.” Hanami menepuk lengan Irawan saat mobil yang ia tumpangi sudah benar-benar berhenti. “Nggak sabaran banget ketemu Erica ya? tenang saja nanti Mama mintakan nomor ponselnya. Siapa tau dia mau jadi masa depanmu!” “Astaga Ma, bukan dia!” pekik Irawan kencang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN