PART. 5 KEPUTUSAN RIANA

952 Kata
Riana tiba di pencucian mobil tempatnya bekerja, Aida menatap baju Riana yang kotor. "Ya Allah, kamu kenapa, Na?" Seru Aida cemas. "Tadi aku jatuh, Da. Alhamdulillah, cuma lecet sedikit saja," jawab Riana. Aida, dan Riana duduk di kursi yang ada di depan pintu pencucian, pintu belum dibuka oleh Dayat, boss mereka. "Bos kemana?" "Belum datang, tadi malam Bos menginap di Banjarmasin. Ada acara di gereja katanya." "Ooh" "Kamu naik motornya sambil melamun ya, Na?" "Emhhh," Riana hanya menjawab dengan senyum pahitnya. "Kalian bertengkar lagi?" Aida tidak puas dengan jawaban sahabatnya. Riana menundukan kepala. "Mas Zainal, ingin menikah lagi, Da." "Apa? Dasar suami tidak tahu diri. Istri satu saja belum sanggup menapkahi, masa sok ingin kawin lagi!" seru Aida tanpa bisa menahan kemarahannya. "Lalu, apa kamu diam saja, Na? Apa kamu setuju? Ayolah, Na, jangan lemah! Minta pisah saja sama suami b******k seperti itu!" ujar Aida berapi-api. Untungnya, di sana hanya ada mereka berdua, karyawan lainnya belum datang, karena mereka sudah tahu, kalau akan bukan agak siang dari biasanya. "Aku sudah minta cerai, Da." "Lantas, apa yang dikatakan si Zainal b******k itu!?" "Dia bilang, kapanpun aku minta cerai, dia siap menceraikan aku," jawab Riana dengan suara lirih. "Bagus!" Aida mengangkat kedua jempolnya di hadapan Riana. "Lalu tunggu apa lagi, Na, keluar saja dari neraka dunia yang menyiksamu itu. Gugat cerai si Zainal itu ke Pengadilan Agama secepatnya!" Riana menatap Aida, ia menggelengkan kepala. "Tidak semudah itu, Da. Proses cerai tidak segampang saat kita mengurus surat untuk menikah. Perlu waktu yang panjang untuk prosesnya. Tidak cukup satu atau dua bulan, Da," ujar Riana, karena Riana pernah mendengar cerita tetangganya soal itu. "Lantas, kamu ingin menyerah, begitu? Ayolah, Na, jangan biarkan dirimu jadi b***k Zainal, dan keluarganya. Apa lagi yang ingin kamu pertahankan, tidak ada alasan untuk tetap bertahan, Na, tidak ada!" Aida sangat berapi-api mengompori sahabatnya. "Apa aku pantas bahagia, Da? Terlalu banyak kesalahan yang sudah aku perbuat. Apa yang terjadi pada diriku saat ini, adalah balasan atas dosa-dosaku dulu." "Na, kamu sudah bertobat, kamu sudah menyesali semua perbuatanmu. Kamu pantas untuk bahagia, sangat pantas! Jangan hukum dirimu seperti ini, Na, aku mohon, tinggalkan saja Zainal, dan keluarganya!" Aida menatap Riana. Riana diam, pikirannya maju mundur dalam mengambil keputusan. Aida menggenggam jemari Riana. "Aku memang hanya orang lain bagimu, Na. Tapi hatiku sakit, setiap kamu bercerita tentang sikap Zainal padamu. Aku ingin kamu bahagia, Na. Kamu pantas untuk bahagia, kamu wanita baik-baik, hanya saja, dulu kamu pernah salah langkah. Tapi, sekarang kamu sudah menyadari, dan menyesali kesalahanmu. Ayolah, Na, bangkit, cari kebahagianmu, jangan hanya pasrah pada nasib yang mempermainkanmu." Riana menolehkan kepala, ditatapnya wajah Aida. Ada ketulusan yang bisa ia rasakan, terpancar dari wajah, dan sorot mata sahabatnya. "Aku pergi dulu ya, Da, katakan pada Bos, aku ijin dulu hari ini." Riana bangun dari duduknya, Aida ikut bangkit juga. "Mau ke mana, Na?" "Ke Pengadilan Agama, aku rasa, aku harus tahu lebih jelas tentang prosuder menggugat cerai," jawab Riana. Senyum tersungging di bibir Aida, lalu dipeluknya tubuh Riana. Aida terisak di atas bahu Riana. Aida sadar, mungkin ia salah, karena justru bahagia di atas niat perceraian Riana. Tapi itu melegakan perasaannya, ia sangat berharap Riana bisa bahagia seperti dirinya. Aida melepaskan pelukan, diseka air matanya. "Pergilah, sebuah keputusan, sebuah perubahan, dan sebuah pilihan, pasti akan ada akibat yang mengikuti. Tapi, aku yakin kamu kuat, Na, sekuat dirimu selama ini menahan dera derita dari pernikahanmu." Aida menepuk pipi Riana pelan. "Terima kasih, Da, aku pergi ya, assalamuallaikum." "Waalaikum salam, hati-hati ya, jangan sampai jatuh lagi." "Siip," Riana mengacungkan satu jempolnya pada Aida. Hati Riana sudah mantap sekarang, ia ingin menjawab tantangan Zainal tadi pagi. Zainal pasti berpikir, ia tidak akan berani mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. *** Riana memarkir motornya, di halaman belakang kantor Pengadilan Agama. Banyak mobil, dan motor yang parkir di area yang bertuliskan 'khusus parkir yang berperkara'. Itu artinya, semua motor, dan mobil yang parkir di area itu, adalah milik orang yang berperkara di Pengadilan Agama. Riana masuk ke dalam, ia langsung menuju meja yang di atasnya ada tulisan 'pengaduan'. Seorang pria usia empat puluhan, berseragam hijau yang duduk di belakang meja, berdiri untuk menyambutnya. Riana menyampaikan maksud kedatangannya. Beberapa pertanyaan dilontarkan petugas Pengadilan Agama padanya. Pertanyaan seputar, alasan ia menggugat cerai, kapan terakhir ia dan Zainal berhubungan suami istri, sudah berapa lama mereka pisah ranjang, ataupun pisah rumah. Semua dijawab Riana dengan sejujurnya. Petugas Pengadilan menyarankan, agar Riana datang lagi setelah tiga bulan. Karena gugatan hanya bisa dilakukan, tiga bulan setelah mereka pisah ranjang. "Jadi tidak bisa langsung mengajukan gugatan ya, Pak?" "Bisa saja, Bu, tapi kalau syaratnya tidak terpenuhi, takutnya hakim tidak akan mengabulkan gugatan Ibu. Itu akan membuang waktu, dan uang ibu. Saran saya, penuhi dulu secara lengkap persyaratannya." "Begitu ya, Pak?" "Ya, dan saya sarankan juga, kalau niat Ibu sudah bulat untuk bercerai, sebaiknya pisah rumah, Bu. Karena kalau masih satu rumah, kemungkinan kumpul lagi satu ranjang pasti ada. Karena kalau itu terjadi, semua akan dihitung dari awal lagi, waktu yang tiga bulan tadi itu, Bu." "Ooh, begitu ya, Pak. Terima kasih atas penjelasan, dan sarannya, Pak. Saya permisi dulu, assalamuallaikum" Riana menjabat tangan petugas Pengadilan Agama itu, sebelum ia bangkit dari duduknya. Hati Riana kembali meragu, waktu tiga bulan itu tidak sebentar, apapun bisa terjadi dalam waktu tiga bulan. Ada rasa takut untuk meninggalkan rumah, takut kalau Zainal akan bertindak emosional, dan mencoba mengintimidasinya. "Awww, Allahu Akbar!" Riana berseru, karena ia kembali terjatuh seperti pagi tadi, tapi bukan karena lobang di jalanan, melainkan karena tambalan jalan yang tidak rapi. Dua orang pria menolongnya seperti pagi tadi. Riana mengangkat wajah, ingin mengucapkan terima kasih pada penolongnya. Tapi tatapan matanya membesar, saat melihat siapa orang yang sudah menolongnya. BERSAMBUNG 60 komen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN