PART. 4 MINTA CERAI

934 Kata
**AUTHOR** Ibu Zainal mendatangi Riana, yang mengeluarkan motor dari dalam rumah, karena Riana ingin berangkat bekerja. "Na!" "Ya, Bu." "Ingat ya, kamu harus menandatangani surat untuk Zainal menikah lagi!" "Maaf, Bu, aku tidak ingin dimadu, kalau Mas Zainal ingin menikahi wanita lain, dia harus menceraikan aku dulu," jawab Riana tegas, ditantang tatapan tajam ibu mertuanya. "Ohhh, kamu berani melawan ya sekarang, Na, sudah merasa hebat ya? Kamu itu harus sadar diri, kamu itu mandul, Na, mandul!" "Aku tidak mandul, Bu. Aku tidak mandul, aku bisa punya anak, bisa! Tapi, yang jadi masalah, sanggupkah Mas Zainal menafkahi aku, dan anakku? Bisakah dia bekerja seperti pria lain. Ibu tahu sendiri, Mas Zainal itu tidak bisa bekerja ikut orang lain, karena dia cuma mau mengerjakan apa yang dia suka! Bukan apa yang semestinya menjadi kewajiban sebagai kepala rumah tangga!" "Heeh, ada apa? Kenapa pagi-pagi bertengkar!?" Zainal yang baru bangun memukul daun pintu. Ia berdiri di ambang pintu, dengan hanya menggunakan sarung yang tergulung di pinggangnya. "Istrimu ini mulai berani, Nal. Mulai bertingkah dia, dia tidak mau menandatangani surat persetujuan untuk kamu menikahi Halwa. Dengan sombongnya dia berkata, lebih baik kamu ceraikan, dari pada harus dimadu." Ibu Zainal mengadu pada anaknya. Zainal mendekati Riana, dicengkeramnya dagu Riana. "Jadi kamu ingin minta cerai? Oke, kapanpun kamu ingin cerai akan aku sanggupi. Bawa saja suratnya ke sini, akan aku tanda tangani. Kita lihat, apa kamu berani melakukannya, Riana, ataukah hanya omong kosongmu belaka!?" Zainal tampaknya sangat yakin, kalau Riana tidak akan berani melakukan hal itu. Zainal tahu, hati Riana lemah, ia tidak akan berani hidup sendirian, jauh dari orang tua, dan keluarga yang sudah membuangnya. "Ingatlah!" Zainal mengacungkan jari telunjuknya pada Riana. "Siapa yang mau menikahimu, Riana? Perawan tua, tidak ada istimewanya, cantik tidak, seksipun tidak, berpendidikan tinggi juga tidak. Tidak ada yang bisa kamu banggakan dari dirimu!" Riana hanya diam, hingga Zainal melanjutkan. "Cuma aku yang bersedia menikahimu, cuma aku! Dan sekarang, kamu meminta cerai dariku. Oke, kita lihat, apa kamu akan bisa mendapatkan suami lagi." "Mana ada pria lain yang mau sama dia, wanita mandul!" seru ibunya Zainal. "Cukup! Aku tidak mandul, aku tidak mandul!" Riana tidak ingin lagi melanjutkan pertengkaran mereka, ia nyalakan motor, lalu pergi meninggalkan rumah. Rumah yang ia bangun dengan jerih payahnya, meski tanah tempat rumah itu dibangun adalah milik mertuanya. Hati Riana terasa sakit luar biasa, kemesraan yang ditunjukan Zainal semalam padanya, sudah tidak lagi ada bekasnya. Zainal selalu cepat berubah sikapnya, tidak bisa ditebak apa yang ingin dilakukannya. Tak ada air mata lagi untuk kepedihan hatinya, yang ada hanya sesak di d**a, yang tidak bisa menguap, dan menjadi bulir air mata, sebagai pelampiasan luka hatinya. Riana sangat yakin ia tidak mandul, karena ia pernah hamil. Hamil dari benih yang ditanamkan Zainal sebelum mereka sah menjadi suami istri. Tapi, Zainal memaksanya menggugurkan kandungan, yang baru berusia dua minggu. Karena Zainal tidak ingin, hal itu menjadi aib yang harus ditanggung seumur hidup. Bodohnya, Riana mau saja melakukan apa yang menjadi keinginan Zainal. Sekarang, Zainal mengulangi kesalahan yang sama, tapi ia bersedia menerima anak Halwa, hal itu sungguh menyakitkan bagi Riana. Sekarang Riana baru merasakan akibat, atas apa yang sudah dilakukan di masa lalunya. Allah tidak lagi memberinya kepercayaan untuk memiliki anak. Karena dulu, ia pernah membuang janin yang tumbuh di dalam rahimya. Kehadiran Zainal dalam hidupnya, sudah menjungkir balikan semua yang diajarkan orang tuanya. Riana sendiri tidak mengerti, kenapa ia selalu bisa takluk di bawah kehendak Zainal. Ia selalu luluh oleh bujuk rayu Zainal, meski ia sadar, Zainal tidak pernah berubah. Zainal selalu egois, dan selalu merasa, dialah yang paling benar, dan Riana selalu salah. Zainal tidak pernah menghargai jerih payahnya, dalam menghidupi rumah tangga mereka. Sehingga mereka bisa memiliki rumah, dan memiliki dua buah motor. Zainal hanya pandai menadahkan tangan padanya, untuk memenuhi kebutuhannya. Riana menyadari, Zainal pria yang tidak bersyukur, atas apa yang dimiliki. Ia tahu semua ini salah, ia ingin berontak melepaskan diri. Tapi pikiran bahwa ini adalah balasan atas semua dosanya, dan menjadi takdir yang harus ia jalani, selalu membuat hatinya meragu. Hatinya selalu melemah, ia merasa tidak pantas untuk bahagia. Karena sudah menyakiti kedua orang tuanya, menyakiti istri dari pria yang dulu pernah berselingkuh dengannya, dan sudah membuang janin yang tumbuh di dalam rahimnya. "Awww, Allahu Akbar!" Riana jatuh tertimpa motornya, karena melamun ia tidak menyadari ada lubang cukup besar di depanya. Dua orang ke luar dari mobil yang berhenti di dekatnya, dan membantu Riana untuk bangun. "Lenganmu luka, sebaiknya kamu ke rumah sakit," ujar salah seorang dari dua orang yang menolongnya. "Tidak perlu, Pak. Hanya luka kecil, terimakasih atas bantuannya." Riana menatap orang yang menolongnya, ia harus mendongakan kepala agar bisa menatap wajah orang itu. Sementara, orang yang satu lagi, membawa motor Riana ke tepi jalan. "Kamu ingin ke mana?" "Saya mau ke tempat kerja, Pak" "Ehmm, begini saja, saya antar kamu, biar supir saya yang bawa motor kamu, bagaimana?" "Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja, terima kasih," tolak halus Riana. "Kalau begitu lukamu saja saya obati ya, ada obat luka di dalam mobil saya," tawar pria itu sopan pada Riana. "Terima kasih, Pak, tidak perlu repot-repot. Saya permisi, sekali lagi terima kasih atas bantuannya." Riana menganggukan kepala, dan berusaha tersenyum pada orang yang menolongnya. Ia mendekati motornya, penolongnya yang satu lagi tengah membenarkan spion motornya. "Terima kasih, ya Pak, sudah menolong saya. Saya permisi." Riana menaiki motornya. "Sebaiknya di bawa ke bengkel motornya, Mbak." "Iya, Pak, terima kasih banyak ya, Pak, atas bantuan, dan pertolongannya." Riana bersyukur, karena tidak terjadi hal serius pada dirinya, juga pada motornya. Riana kembali menjalankan motornya, tapi kali ini dengan sangat hati-hati tentunya. BERSAMBUNG 50 komen saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN