Ngidam

1757 Kata
Daging sapi Kobe tentu saja ada jika di restoran mewah yang terdapat di ujung jalan dekat rumah sakit. Tapi untuk kesana, Hans tentu saja harus pikir-pikir dulu. Pergi ke restoran tersebut tentu saja tidak akan cukup dengan hanya membawa satu atau dua juta rupiah saja. Hans kembali memijat pelipisnya, merasa kesal dengan wanita yang masih menangis sesenggukan didepannya ini. "Biar aku beli sendiri kalau kamu nggak ada uang, kamu cukup anterin aku aja." Inilah yang tidak Hans sukai, Jessica selalu saja mengandalkan powernya jika Hans tidak mampu menuruti kemauannya. "Emangnya harus daging Kobe ya? Nggak bisa gitu makan daging yang lain yang harganya lebih murah selain daging Kobe?" Tanya Hans dengan wajah lelahnya. Menghadapi para pasiennya saja sudah cukup melelahkan, apalagi sekarang ia harus menghadapi Jessica dengan segala tingkah manjanya, Hans rasanya ingin sekali mengubur dirinya hidup-hidup sekarang. "Kan aku udah bilang, kalau kamu nggak mampu beliin, aku bisa beli sendiri." Jessica masih kekeuh, sedangkan Hans kini mulai jengah. Hans sungguh tidak suka jika Jessica terlalu merendahkannya seperti ini, bukannya tidak mampu beli, Hans hanya sayang sekali dengan uangnya, uang jutaan rupiah hanya untuk membeli seporsi menu daging sapi, yang benar saja? "Saya masih sibuk, beli sendiri sana kalau kamu memang masih kekeuh ingin membelinya." Tutur Hans membuat Jessica tak percaya dengan apa yang pria itu katakan. "Kamu tega? Aku tuh lagi ngidam sekarang." Ujar Jessica. "Jangan jadikan ngidam sebagai alasan, didalam dunia kedokteran istilah ngidam itu nggak pernah ada. Ngidam hanyalah sebuah mitos, jadi jangan bertindak konyol dengan mengatakan ngidam sebagai alasan untuk menutupi semua keinginan kamu. Saya akan menyuruh satpam untuk mengantar kamu." "Nggak perlu, aku bisa sendiri." Ungkap Jessica dengan lesu, tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Katanya dokter, tapi kenapa Hans begitu tega seperti ini padanya. Iya semua ini salah Jessica, gara-gara Jessica dokter Obgyn itu jadi terjebak bersamanya. Tapi apakah tidak ada simpati sedikitpun yang dimiliki oleh Hans sebagai seorang dokter? Kenapa Hans malah begini. "Baguslah kalau kamu bisa pergi sendiri, saya akan tunggu di ruangan saya sampai kamu kembali. Satu hal yang perlu kamu ingat, kehidupan kamu sekarang udah beda banget, udah nggak kayak dulu lagi. Sekarang itu nggak semua keinginan kamu bisa terpenuhi, jangan pernah samakan kehidupan kamu yang dulu dengan yang sekarang. Semuanya udah nggak sama lagi, kamu harus belajar hidup sederhana mulai sekarang, seperti suami kamu, mengerti!" Setelah mengatakan hal itu, Hans pun segera pergi meninggalkan Jessica. Jessica menatap kepergian suaminya yang tak menoleh sedikitpun kearahnya. Wanita itu kembali menangisi nasibnya, ia hanya ingin makan daging sapi Kobe, memang apa salahnya? Kenapa terkesan tidak boleh, padahal Jessica masih mampu membelinya. Tapi kan, tapi sekarang ia sudah menjadi istri Hansel yang itu artinya ia harus menuruti semua perkataan sang suami. Syukur-syukur Hans masih mau menikahinya, tapi sekarang, Jessica malah semakin ngelunjak dan meminta lebih. Uang yang Hans berikan sudah Jessica belikan semua dengan makanan yang ada di kantin MMC tadi. Sekarang ia hanya membawa uang lima puluh ribu saja, kira-kira uang lima puluh ribu bisa digunakan untuk membeli makanan apa? Ingin sekali rasanya Jessica menghubungi Alma dan meminta bantuan. Tapi mengingat Hans, membuat Jessica kembali mengurungkan niatnya. "Papa kamu nggak ada uang, jangan meminta lebih. Jangan mengharap apapun juga dari dia. Sukur-sukur dia mau tanggung jawab, semua ini emang salah mama, tapi kamu itu bukan kesalahan." Gumam Jessica sambil mengusap perutnya yang masih rata. Ia sedih, tentu saja. Dulu hidupnya serba mewah dan berkecukupan tapi sekarang ia harus berhemat dan hidup sederhana seperti Hans. Saat menoleh kekanan, Jessica tak sengaja melihat kedai ramen bertuliskan harga tiga puluh ribuan, makan ramen tidaklah buruk, meskipun ramen murahan, tapi mulai sekarang Jesicca harus mulai bisa membiasakan diri dengan harga-harga murah. *** Alma gelisah memikirkan keadaan sang adik, ibu beranak satu itu tampak mencoba menghubungi nomor Jessica yang tidak aktif. Alma mendengus beberapa kali, merasa khawatir dan cemas sejak kemarin ia meninggalkan Jessica bersama dengan suaminya dr. Hans. Iya sih Hans itu pria yang bertanggung jawab, tapi mengingat status sosial yang dimilikinya membuat Alma merasa was-was. Gaya hidup Jessica begitu Hedon selama ini, segala sesuatu yang wanita itu inginkan harus selalu terpenuhi. Kedua orangtua Alma begitu memanjakan Jessica sejak kecil karena ketika kecil fisik Jessica tergolong lemah. Ia mudah lelah dan sakit jika kecapekan dan Alma benar-benar khawatir jika adiknya sampai sakit karena kelelahan mengurus pekerjaan rumah yang tidak pernah ia lakukan. "Gimana Bu? Masih belum ada kabar ya?" Tanya salah satu asisten Alma. "Belum Ti, saya takut Jessi sampai kenapa-kenapa, apalagi nggak ada pembantu sama sekali di apartemen kecilnya dr. Hans." Jelas Alma pada Titi. "Kalau non Jessi lapar gimana Bu? Biasanya kan non selalu makan makanan mewah, kalau dengar dari cerita ibu kayak begitu, saya jadi khawatir kalau non Jessi kelaparan, emang non bisa makan makanan biasa? Apalagi sekarang non lagi hamil Bu." Ungkapan Titi membuat Alma jadi semakin khawatir. Ini bukan hanya soal masalah gaya hidup, tapi juga kebutuhan hidup. Sejak kecil Jessica sudah terbiasa makan makanan restoran mewah, lalu sekarang wanita itu harus dipaksa tinggal dengan suaminya yang seorang dokter miskin. Akan jadi seperti apa hidup Jessica jika seperti ini. "Haduuuh... Nggak tau deh Ti, kamu bikin saya makin cemas aja. Setelah ini saya mau hubungin suami saya, biar dia tanya sendiri sama Hans. Saya nggak enak kalau harus tanya langsung ke dia. Dia itu sok cool banget, saya jadi agak gimana gitu." Alma menghela nafas berat, mengusap wajahnya frustasi. "Iya Bu, maaf kalau saya udah bikin ibu makin khawatir. Semoga aja non Jessi baik-baik aja dan makan dengan baik ya Bu." "Iya Ti, meski feeling saya nggak enak, tapi saya berharap semoga ucapan kamu semuanya benar." *** Sudah dua jam Hans menunggu, namun istrinya itu tak kunjung kembali ataupun memberikannya kabar. Ah sial, kenapa sekarang ia yang jadi khawatir seperti ini? Hans lalu mengambil ponselnya, mencoba menghubungi nomor Jessica tapi sayangnya nomornya tidak aktif. Hari sudah semakin sore dan hal itu membuat Hans semakin cemas. Dokter tampan itu lalu bergegas membereskan segala peralatannya dan segera pergi untuk mencari keberadaan istrinya yang sangat merepotkan itu. "Hans!" Sapa Noctis pada juniornya itu. Hans dan Noctis memang cukup dekat karena satu profesi, bukan hanya dekat sebagai rekan sejawat, tetapi Hans sudah menganggap Noctis seperti keluarganya sendiri. "Ya dok?" "Ada apa? Kenapa buru-buru? Kamu bisa pakai mobil saya kalau memang ada kepentingan mendadak." Tawar Noctis pada Hans, meminjamkan kendaraannya kepada Hans memang sudah biasa Noctis lakukan, dan hal itu tentu saja tak membuatnya keberatan sama sekali. "Nggak perlu dok, terimakasih banyak untuk tawarannya. Tadi saya bawa motor kesini." Jelas Hans. "Tumben?" "Ya gimana ya, sekarang saya udah nggak sendiri lagi, tadi istri saya ikut kesini, jadi saya sewa motor." "Kapan-kapan kamu ajak Jessica ke rumah, Stella pasti akan senang kalau kamu datang bawa istri kamu." "Ah itu... Iya dok, akan saya usahakan. Nanti kalau mau main ke rumah dokter akan saya kabari." "Hm." Angguk Noctis dengan senyuman hangat. "Saya duluan ya dok! Saya mau cari Jessi." Pamit Hans. "Iya, hati-hati." Seru Noctis, melihat Hans akhirnya menikah membuat Noctis turut senang dan bahagia. Terlebih lagi Hans menikah dengan adiknya Alma, istri dari dr. Bayu sahabat Noctis. Bagi Noctis Hans dan Jessica adalah pasangan yang sangat cocok, tapi dia tidak pernah tahu jika mereka berdua memiliki perbedaan sifat yang sangat bertolak belakang. *** Sejak tadi Jessica berusaha untuk memakan ramen yang ia pesan dengan susah payah. Demi Tuhan ia merasa begitu mual hanya dengan melihatnya saja, padahal secara tampilan ramen itu terlihat enak, tapi dimata Jessica, ramen itu terlihat begitu memuakkan. "Ya ampun... Makanan apaan ini?" Untuk kesekian kalinya Jessica mengeluh seraya meludah beberapa kali, hal itu tentu saja tak luput dari tatapan para pengunjung yang sejak tadi memperhatikan dirinya karena merasa familiar. "Aku beneran nggak kuat, aku... Hoek!" Jessica langsung muntah ditempat, ia tak tahan dengan bau kari yang begitu menyengat dihidungnya. Sang pemilik kedai yang tak sengaja melihat itu pun langsung bergegas menghampiri Jessica dengan penuh amarah. Brak! Si pemilik kedai langsung menggebrak meja milik Jessica sehingga membuat wanita cantik itu terkejut bukan main. "Kalau nggak niat beli nggak usah beli neng, dipikir kedai saya ini toilet umum apa pakai muntah-muntah sembarangan? Pergi sana pergi! Ganggu pelanggan yang lain aja. Udah nggak usah bayar, pergi!" Si pemilik kedai yang tersulit emosi langsung mengusir Jessica, membentak Jessica didepan umum sehingga membuat wanita itu merasa malu dan ketakutan. Demi Tuhan baru kali ini ia diperlakukan seperti ini, seumur-umur Jessica selalu disanjung-sanjung dan dipuji banyak orang. Tapi sekarang, sekarang ia malah terlihat begitu hina dimata semua orang. "Mami..." Gumam Jessica seraya mengusap lelehan airmatanya. Demi Tuhan ia hanya lapar dan butuh makanan, tapi kenapa rasanya sulit sekali untuk mendapatkan makanan yang cocok untuk ia makan. "Pergi sana! Pergi!" Pemilik kedai itu terus mengusir Jessica yang masih tampak berusaha untuk berdiri karena tiba-tiba saja kepalanya begitu pusing dan pandangannya menjadi kabur. "Saya nggak nyangka sama sekali kalau pak Mamat punya sifat seperti ini sama perempuan." Itu suara Hans, Hans yang sejak tadi mencari-cari keberadaan sang istri akhirnya bisa menemukannya di kedai ramen yang biasa ia kunjungi. Hans melihat bagaimana pemilik kedai memperlakukan istrinya dengan sangat keterlaluan didepan khalayak umum. Sedangkan semua orang hanya diam saja melihat istrinya dibentak-bentak seperti itu. "P-p-pak dokter." Pria bernama Mamat itu tentu sangat terkejut melihat pelanggan setianya berkata seperti itu kepadanya. "Ambil uang ini!" Hans menyerahkan uang seratus ribu kepada Mamat. "Saya nggak akan pernah kembali kesini lagi setelah pak mamat membentak-bentak istri saya didepan umum. Ayo Jes!" Hans tahu kondisi Jessica yang lemas, maka oleh sebab itu ia pun segera memapah tubuh istrinya itu yang masih menangis sesenggukan. Sedangkan semua orang tampak melongo saat melihat dokter tampan itu membawa istrinya pergi meninggalkan kedai. Setelah berada diluar, Hans tampak memperhatikan Jessica yang masih menangis sambil memegangi perutnya. Hans tentu saja langsung memasang wajah cemasnya dan memeriksa keseluruhan badan Jessica. "Kamu berkeringat dingin, suhu tubuh abnormal, denyut nadi." Hans langsung memegang tangan kiri Jessica. Denyut nadi Jessica berdenyut lebih cepat dari biasanya. "Seratus lebih permenit Jes ini nggak normal, kamu..." Tatapan Hans terkejut ketika ia melihat Jessica yang sejak tadi hanya diam saja sambil menangis sesenggukan. Sejak tadi wanita itu hanya mengumamkan kata mami dan mami seolah hanya maminya saja yang ia butuhkan saat ini. "Mami, hiks. Aku, aku, aku cuma lapar, aku mau makan dok." Gumam Jessica dengan tangisan pilu membuat Hans merasa sangat bersalah dan menyesal karena sudah membiarkan istrinya sendirian. Hans harusnya sadar jika Jessica bukanlah orang sembarangan seperti kebanyakan orang lainnya. Dan Hans seharusnya tak lepas tangan begitu saja sebagai seorang suami, terlebih lagi sekarang Jessica sedang mengandung anaknya. Tapi lagi-lagi rasa benci dan amarah yang masih menguasai membuat Hans menutupi segala rasa kemanusiaan yang ia miliki terhadap Jessica.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN