"Kenapa harus aku?"
"Karena kau seorang Pemimpin, Biola."
DEG!
*
*
*
Sungguh, aku sangat kaget mendengar jawabannya, mana mungkin wanita bodoh sepertiku ditakdirkan sebagai pemimpin? Lagipula, siapa yang akan kupimpin? Gerombolan semut merah? Atau kumpulan kambing?
Entahlah, aku masih belum mengerti dengan hal itu, tapi yang pasti, aku masih memikirkannya sampai saat ini.
"Ayah?" panggilku sekali lagi dengan tatapan dingin.
"Ada apa, Biola?"
"Kenapa Ayah mempunyai telinga seperti seekor kucing dan memiliki ekor yang lebat? Lalu, apa nama tempat ini? Kenapa semuanya padang rumput? Bagaimana Ayah dapat melakukan sihir yang tadi itu? Dan juga, kenapa Ayah bisa jatuh cinta pada Ibu?"
Semua pertanyaan itu sepertinya membuat Ayahku melototkan matanya.
Dia mengangkat bahunya dan dengan nada yang pelan ia menjawab, "Ini yang aku suka darimu, Biola, kau tidak segan-segan bertanya jika tidak mengerti terhadap sesuatu, kau tahu, itu persis seperti sifatku saat remaja. Dulu, aku selalu bertanya hal apapun dengan menggabungkannya dalam satu kalimat sehingga lawan bicaraku sampai terdiam seperti orang d***u, hahahah!"
Aku mengembungkan kedua pipiku, kukira dia akan menjawabnya, ternyata hanya kata pengantar. Melihatku seperti itu, Ayahku paham.
Dia kembali melanjutkan perkataannya, tentu saja, dengan senyuman hangat seperti biasanya.
"Baiklah, kau akan mendapatkan jawaban dari semua pertanyaanmu, Biola. Kenapa penampilanku aneh seperti ini? Hahahah, seharusnya kau tahu, aku ini, kan Ayahmu? Oh, baiklah, aku jawab. Mengapa tumbuh telinga dan ekor disertai bulu yang lebat di tubuhku, itu karena diriku keturunan Kanochi.
Kanochi?
Ayahku kembali berkata.
"Tanah yang kaupijakki ini merupakan Alam bawah sadarmu, aku berdiri di hadapanmu sebenarnya bukanlah diriku yang sebenarnya, ini hanyalah bayanganku. Sebelum kau lahir, aku menanamkan sihir kecil padamu, berjaga-jaga jika diriku sudah meninggal, kau masih dapat bertemu denganku, Biola."
DEG!
Tunggu, sepertinya ada sesuatu yang janggal pada penjelasan ini? Menurut yang kusimak, jika Ayahku sudah pergi, maka aku akan tetap bisa bertemu dengannya dan itu artinya, Ayahku sudah mati?
"Ayah! Itu artinya, sekarang kau telah ...," Aku tidak melanjutkannya, karena Ayahku langsung menganggukkan kepalanya, dalam artian, dia mengiyakan apa yang kupikirkan. "AYAH!?"
Aku langsung berlari dan mendekapnya, tangan kekarnya kembali memelukku, cairan kental keluar dari ujung-ujung mataku.
Aku menangis tanpa suara.
"Apakah bisa kita lanjutkan? Aku masih punya jawaban lain yang akan membuatmu terkejut, Biola," ucap Ayahku sembari mengusap air mataku dengan penuh kasih sayang.
Lalu, Ayah kembali bersuara, sementara diriku masih tetap dipelukannya, kepalaku menyentuh dadanya yang bidang. Kedua tanganku memeluk badannya. Sungguh, aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.
"Biola, tadi kau bertanya, kenapa aku dapat melakukan sihir aneh itu, dimana diriku menampilkan sebuah layar kepadamu. Sebenarnya, Ayahmu ini terbilang payah jika melakukan sihir, bahkan, Ibumu selalu mengejekku, hahah, kalau diingat-ingat, ternyata dulu aku ini sangat bodoh ya? Hahaha!"
Aku masih terdiam mendengar apa yang Ayah katakan, kedua mataku memperhatikan bulu-bulu lembut yang tumbuh di tangannya. Walau telingaku masih tetap fokus mendengarkan apa yang dikatakan Ayah.
"Lalu, kenapa Ayah dapat melakukan sihir itu?" tanyaku memecah tawanya lebih lebar.
"Hahahahah, Biola, ternyata kau itu lucu juga ya? Hahahaah, begini, biar Ayah jelaskan padamu, sihir yang kutunjukkan barusan merupakan hasil dari kerja kerasku selama masih hidup, kau pasti tahu, semua hal yang mustahil pasti terjadi jika dilakukan dengan kerja keras! Hahaha! Itu yang kutahu, dan aku percaya akan hal itu."
Ayah melepaskan pelukanku, jemarinya menegakkan kepalaku yang tertunduk lesu, dan kedua mataku menatap bola matanya yang jernih dan lembut.
"Biola, untuk pertanyaan yang terakhir, aku tidak bisa menjawabnya."
DEG!
"Eh?" Aku menaikkan alis penasaran. "Kenapa seperti itu?"
Ayah memasang wajah salah tingkah, kalian pasti tahu persis bagaimana penampilan orang yang sedang seperti itu, mukanya memerah dan tubuhnya bergerak diluar kendali.
"Berhubung kita tidak akan bertemu lagi, baiklah, Ayah akan menjawabnya," kata Ayahku penuh keterpaksaan. Melihat wajahnya yang seperti itu, aku terkikik.
"Jawablah, kau tidak ingin mengecewakan Putrimu, bukan?"
Mendengar hal itu, Ayahku tertegun. "Te-tentu saja, aku tidak akan mengecewakanmu,"
"Jadi, bagaimana Ayah dan Ibu bisa saling mencintai? Hal apa yang membuat kalian dipertemukan? Dan kenapa kalian membuangku?"
DEG!
Bisa kulihat, Ayah sedikit terkejut dengan kata 'membuang' pada pertanyaanku, dia memberikanku senyuman lirih.
"Biola, mengenai bagaimana diriku dan Elsa saling mencintai, itu sangat mudah untuk diceritakan."
Flashback
Keyno Margareth P.O.V
"APA!? KENAPA AKU HARUS DUDUK BERSAMA WANITA INI? KENAPA HARUS DIA!?" Aku menggebrakkan mejaku, diriku saat ini sedang marah sekali, tentu saja, itu karena, seorang wanita tiba-tiba duduk di sampingku. Sontak, semua teman-temanku menolehkan perhatiannya padaku, termasuk Tyamo Vandertink - Guru yang sedang mengajar di kelasku saat ini.
"Oh, ayolah Key-key~ kau tidak perlu marah seperti itu, lagipula, wanita itu cantik, lihatlah, dia memiliki kristal di dahinya," ucap salah satu sahabatku yang duduk di depanku, Villio Finiggan namanya. Rambutnya merah, dia duduk bersama seorang pria pemarah, Summer Xio.
"Berisik!" pekik Summer Xio padaku. Aku menatapnya.
"Kau yang berisik! Ini kewajibanku dalam hidup! Apa kau tidak suka! Hah! Cepat katakan!" Aku naik ke atas meja dan mencengkram kerah baju Xio, sementara Villio hanya diam saja melihat hal itu, dia sudah biasa memandang pertengkaran ini.
Namun, Tyamo Vandertink - Guru wanitaku yang berambut putih menegakkan kepalanya memandang perkelahianku.
"KEYNO!" teriak Guruku dengan sangat kencang, seketika ruangan kelasku sepi mendadak. Aku menatap wajah guruku yang killer itu. "MAJU!" perintah yang dikatakannya langsung kuturuti.
Kulepas cengkraman pada kerah baju Xio dengan wajah bringas. "Kubunuh nanti kau, Xio!" bisikku pada Xio dengan wajah mengintimidasi, Mendengar hal itu, dia tersenyum meremehkan.
"Dasar payah!" Tiba-tiba, sebuah suara yang lembut dan indah kutangkap dari arah wanita yang sedang duduk diam itu, apakah itu suaranya?
"Kau tadi bilang apa?" Aku menuruni meja dan menatap wanita berambut pink panjang itu, dia sangat tidak peduli terhadap apapun, buktinya, dia tidak bicara sampai akhirnya aku mendengar suaranya, pertama kali.
Kepala cantiknya menoleh padaku, pandangan kami bertemu. Dia menatapku. "Kubilang, kau itu payah, i***t, dan dungu." ucapnya dengan senyuman cantik.
Kedua pipiku merona, memerah dan tidak tahu kenapa, jantungku berdetak lebih kencang. Apa ini?
"SEDANG APA KAU DISANA? CEPAT KEMARI, BODOH!" Guruku langsung kembali berteriak. Aku meninggalkannya, berjalan dan berdiri di samping kanan Tyamo. "SEKARANG! HUKUMAN APA YANG PANTAS KAUDAPATKAN KARENA TELAH BERBUAT ONAR DI JAM PELAJARANKU!? HMMM?"
Tyamo memajukkan bibirnya padaku, percikan-percikan air ludah mengenai wajahku. Bisakah dia kecilkan suaranya? Itu sangat mengganggu pendengaranku, walau aku juga sering melakukannya.
"Bagaimana kalau kita buat Keyno menyatakan cintanya pada wanita itu! Hahahaha!" Sebuah suara yang berasal dari seorang gadis berambut jingga dengan buah labu di atas kepalanya membuatku terhenyak. Charlotte Finiggan, itulah namanya. Dia sangat menjengkelkan.
"Menurutku itu ide yang bagus! Ayolah, aku sangat penasaran!" Villio menyetujui apa yang dikatakan Charlotte, oh s**l. Mereka itukan sepasang kekasih, tentu saja Villio setuju dengan ide Charlotte. s**l.
"Memangnya kalian itu siapa? Mempermalukanku pada hari pertama sekolah disini!" Wanita berambut pink itu membuka mulutnya, menolak akan ide Charlotte. Sementara yang punya ide barusan terkejut.
"Hey! Kenapa kau tidak suka!?" Charlotte berdiri, berkacak pinggang menghadap anak baru itu. "Kau mau bertarung denganku? Gadis permata? Hahahah!" Charlotte mengejek gadis itu.
BUAG!
PRAY!
Semua orang dalam kelas terkejut dengan aksi yang dilakukan wanita misterius itu, dia langsung meloncat dari meja ke meja dan menendang wajah Charlotte sampai dia terlempar keluar kelas lewat jendela kaca.
Aku menahan napas memandang hal barusan, seluruh tubuhku bergetar, dan detak jantungku berdetak lebih kencang ketika kedua mata dinginnya menatapku. Wanita itu tersenyum tipis padaku. Dia langsung meloncat pada jendela yang telah pecah. Ia pergi keluar.
"ASTAGA! DIA MONSTER!"
"WANITA ITU MENGERIKAN!"
"SEBENARNYA DIA ITU SIAPA SIH!?"
"AKU TAKUT!"
Seluruh teman-temanku terkejut dan berteriak-teriak setelah keberadaan wanita pink itu tiada. Bahkan, Tyamo selaku pembimbing saat ini, dia tidak bisa berkata apa-apa selain diam seribu kata.
Wanita itu membuatku tertarik!
*
*
*
*